Oleh: Ulfah Sari Sakti, S.Pi (Jurnalis Muslimah Kendari)
Ditengah kesibukan masyarakat yang semakin tinggi serta tingkat pendapatan sebagian masyarakat yang melebihi pemenuhan kebutuhan hidupnya, pariwisata menjelma menjadi suatu kebutuhan. Dengan demikian, pengelolaan pariwisata dengan baik mampu menyumbang bahkan menopang ekonomi/pendapatan suatu daerah dan negara Demikian pula potensi pariwisata di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), diharapkan dapat dikelola secara maksmial untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPD GIPI) Sultra, Ir Hugua, sektor pariwisata merupakan arah pembangunan paling ideal bagi daerah ini. Sebab selain tidak merusak lingkungan dan menjaga kultur budaya, keunikan yang dimiliki Sultra tidak ada dibagian dunia lainnya, sektor pariwisata juga dapat menggerakkan ekonomi masyarakat dari berbagai sektor.
Untuk pemandangan alam, Sultra punya segtiga karang dunia di Kab. Wakatobi, Goa Liangkabori di Kab. Muna, Air Panas Wawolesea di Kab. Konawe Utara, Sungai terpendek di dunia yaitu Tamborasi di Kab.Kolaka, Rawa Aopa yang mencakup tiga Kab. (Konawe Selatan, Bombana dan Kolaka Timur), 1000 Goa di Kab. Buton Tengah, Pulau Ular di Kab. Buton Selatan, Pulau Kabaena di Kab.Bombana serta Air Terjun Tumburano di Kab.Wawonii.
Disisi budaya, ada Benteng Keraton Buton di Kota Bau-bau, layangan Kaghati dan tradisi perkelahian kuda di Kab.Muna, tenunan khas, tarian hingga kuliner yang tak dimiliki suku di belahan dunia mana pun kecuali Sultra. Begitu pula dengan kuliner Kambuse, Kasoami, Sinonggi dan Kabuto.
Menurut Hugua, jika sektor pariwisata hidup, maka sektor lainnya mengikut seperti infrastruktur jalan, pelabuhan dan lainnya. Begitu pula perikanan, pertanian dan perkebunan masyarakat. Yang mana kesemuanya itu berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. (SultraKini.Com/28/1/2019).
Sebagai masyarakat Sultra, saya sependapat dengan pengoptimalan pengelolaan potensi sumberdaya pariwisata Sultra, mulai dari sumberdaya alam (SDA) pariwisata itu sendiri, maupun sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini masyarakat pelaku dan pemerintah. Tetapi tentunya pengelolaannya yang islami.
Pariwisata dalam Islam
Istilah pariwisata berasal dari bahasa Arab dengan kata al-siyahah, al-rihlah dan al-safar atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah tourism, yang secara definisi bermakna suatu aktivitas atau kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh manusia, baik secara perorangan maupun kelompok di dalam negara sendiri atau pun negara lain dengan menggunakan kemudahan jasa dan faktor penunjang lainnya yang diadakan oleh pihak pemerintah maupun masyarakat, dalam rangka memenuhi keinginan wisatawan (pengunjung) dengan tujuan tertentu.
Dari sisi tujuan ada empat kategori rihlah yaitu, wisata bisnis (rihlah tijarah), perjalanan ini biasa dilakukan oleh orang-orang Arab di masa lalu karena menyadari kondisi geografis negeri mereka yang tandus, gersang dan panas. Karena itu mereka lebih memilih profesi perdagangan dibanding pertanian. Begitu pula dengan bangsa penjajah seperti Portugis, Inggris dan Belanda yang datang ke Indoensia karena rempah-rempahnya.
Wisata ilmiyah sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, “tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina” serta HR Tirmidzi “barang siapa berpindah untuk mempelajari suatu ilmu, maka ia diberi ampunan sebelum melangkah.”
Wisata dakwah adalah perjalanan dakwah menunjukan bahwa setelah wafatnya Rasulullah Muhammad saw, para sahabat menyebar ke berbagai wilayah baru. Kepergian mereka bertujuan untuk penyebaran agama bukan untuk mencari nafkah atau pun mengusai wilayah lain. (Tafsir Pase,2001).
Wisata diplomasi, perjalanan ini dilakukan oleh orang yang mampu ketika beberapa orang sahabat mendapat tugas dari Rasulullah untuk menyampaikan surat kepada para raja dan penguasa di sekitar jazirah Arab (Ibnu Sa’ad,1980:258).
Pengelolaan Pariwisata yang Islami
Pengelolaan pariwisata yang islami maksudnya pengelolaan yang didalamnya tidak ada praktik-praktik yang terlarang. Sebagaimana dalam kaidah fiqh disebutkan “Hukuman asal dari aktivitas (yang bersifat) mu’amalah adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang mengharamkanya”. Karena itu pengelolaan pariwisata penting untuk memperhatikan kesesuaian dengan syariat islam atau kegiatan yang ada didalam suatu praktik kepariwisataan mengandung nilai yang baik dan dilakukan secara baik pula. Misalnya cara berpakaian para pelaku usaha atau penyedia jasa.
Selain itu obyek wisata atau budaya yang dipromosikan mubah dan halal untuk diperlihatkan atau dipublish, karena tujuan wisata dalam Islam antara lain untuk mengenal sekaligus mensyukuri ciptaan Allah swt, sehingga semakin meningkatkan keimanan kita. Tidak kalah pentingnya sarana dan prasarana yang digunakan dapat dijadikan sebagai media dakwah. Pengelolaan pariwisata yang islami tentunya sangat kita rindukan bersama, semoga pihak terkait segera dapat mewujudkannya. Yang mana dengan terwujudnya pengelolaan wisata yang islami, tentunya semakin mendekatkan kita pada penerapan syariat Islam yang kaffah. Wallahu’alam bishowab.
Komentar