Oleh: Hasrianti (Mahasiswi UHO)
‘Bagai Lidah tak bertulang’, begitulah kiranya peribahasa yang menggambarkan perkataan yang sering dilontarkan oleh penguasa saat ini. Peluang terbuka hingga para politikus kadang bersilat lidah, satu ciri yang menonjol ialah inkonsistensi, hoax dan pencitraan.
Pernyataan salah namun seolah-olah faktual telah dianggap sebagai penumpang gelap kebebasan dalam menyampaikan informasi. Sistem demokrasi yang mengakar cukup mewarnai kehidupan pers. Deklarasi menolak hoax dimaklumatkan di mana-mana, Kemenkominfo menyebut ada 43 ribu akun abal-abal. Presiden memerintahkan situs penyebar kebohongan dievaluasi. Alhasil, banyak situs yang diblokir.
Namun, tak adil ketika pedang penindakan kebohongan ini hanya menimpa rakyat yang tak berkuasa. Lalu bagaimana jika yang berbohong itu penguasa? Apakah sama hukuman yang akan diberikan.
Dalam debat kedua calon presiden kemarin kandidat petahanan berani menyatakan dengan lantang keberhasilannya selama memimpin bangsa. Tema yang diangkat sangat menarik yaitu ketahanan energi, pangan, infrastruktur, sumberdaya alam, dan Lingkungan hidup. Sayangnya, data justru membantah kebenarannya, sebagai kepala negara kekeliruan ini tentu harus diminimalisir.
Catatan Data Valid
Dilansir oleh www.jawapos.com – Publik mencatat, setidaknya ada beberapa hal yang disampaikan tidak sesuai data dan keadaan di lapangan. Pertama, soal impor jagung. Jokowi menyebut pemerintah mengimpor jagung sebanyak 180.000 ton selama tahun 2018. Padahal data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka impor jagung semester 1 saja 331.000 ton dan total impor jagung tahun 2018 sebesar 737.228 ton. Selisih yang sangat jauh sekali.
Kedua, soal jaringan internet 4G Jokowi juga diduga menyampaikan pernyataannya mengenai infrastruktur jaringan 4G yang sudah 100 persen di Indonesia bagian barat, tengah, dan 90 persen di timur. Padahal data menunjukkan masih kurang dari 20 persen kabupaten dan kota yang bisa mengakses sinyal 4G.
Ketiga, soal sanksi pembakar hutan. Jokowi menyebutkan pemerintah telah memenangkan gugatan terhadap 11 perusahaan dengan menjatuhkan sanksi senilai Rp 18,3 triliun. Namun, Greenpeace Indonesia langsung menyanggahnya. Hingga saat ini, belum ada satu pun perusahaan yang kalah gugatan itu membayar ganti rugi atas kasus kebakaran dan kerusakan hutan, sepeser pun belum ada.
Keempat, jalan desa Jokowi mengklaim telah membangun 191 ribu kilometer jalan desa selama empat tahun pemerintahannya. Ini memang tengah menjadi perdebatan. Sebab banyak yang tidak percaya dengan klaim ini. Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak, bahkan memberikan perbandingan, bahwa 191.000 km itu sama dengan 4,8 kali keliling bumi atau 15 kali diameter bumi. Jika dalam empat tahun bisa membangun sebanyak itu, tentu agak kurang masuk akal juga.
Kelima, konflik agrariaJokowi mengklaim di masa pemerintahannya tak ada lagi konflik agraria. Padahal, berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), angka konflik agraria pada 2017 mencapai 659 kasus dengan luasan mencapai 520.491,87 hektare. Dengan demikian, rata-rata terjadi dua konflik agraria setiap harinya. Sementara pada 2018, terjadi 410 konflik agraria dengan luasan 807.177,6 hektare.
Keenam, klaim tidak memberikan konsesi lahan kepada para pengusaha besar. Nyatanya, Jokowi memberi konsesi lahan seluas 3,1 juta meter persegi kepada PT Kapuk Naga Indah. Lahan tersebut diberikan melalui Hak Guna Bangunan (HGB) pada Agustus 2017. Sertifikat HGB itu dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) wilayah Jakarta Utara (24/2/2019).
Selanjutnya dilansir www.tribunnews.com – Ketujuh, Greenpeace Indonesia membantah klaim Jokowi bahwa tidak ada kebakaran hutan dalam tiga tahun belakangan tak sesuai dengan fakta. Menurut lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan ini masih terjadi kebakaran hutan dalam tiga tahun terakhir era pemerintahan Joko Widodo (18/2/2019).
Kesalahan data menjadi perbincangan hangat usia debat kedua, sebab ini terkesan hoax atau berkata bohong. Walaupun ada klarifikasi sebelumnya, namun, bukan secara kebetulan semua yang disampaikan salah. Seorang penguasa berbohong sangat tidak pantas, hal ini berpengaruh besar dalam memicu integritas seorang pemimpin bangsa. Berbohong dalam sistem demokrasi dinilai ‘wajar’. Menjadi rahasia umum ketika penguasa mencari perhatian publik. Banyak juga praktek pencitraan, termasuk juga janji-janji palsu, sungguh hal yang niscaya dalam demokrasi.
Paham sekularisme menggerogoti kehidupan penguasa saat ini, tak enggan memisahkan agama dari kehidupan. Berkata bohong tidak jadi masalah ketika rakyat tidak mengetahuinya. Alhasil, rakyat disajikan dengan iming-iming belaka, kebohongan bisa dilakukan tanpa merasa bersalah sedikitpun apalagi mendapatkan hukuman pidana.
Berita-berita hoax berseliweran dimana-mana menutupi kesalahan ataupun kegagalan program yang dijanjikan. Hoax disisi lain dapatmenghasilkan rupiah cukup menggiurkan bagi mereka, keadaan tersebut menjadi potret khas sistem demokrasi.
Islam Mengecam Penguasa Dusta
Islam agama yang sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan dari yang kecil sampai yang besar. Termasuk berkata dusta, islam sangat mengecam perbuatan tersebut meskipun hanya sekedar bercanda. Terlebih seorang pemimpin bangsa, atau khalifah hal ini sangat ditegaskan. Kita harus melihat bagaimana sikap jujur para khalifah terdahulu mereka amat berhati-hati dalam setiap perkataan yang dilontarkan baik dalam keluarga, maupun sedang berhadapan dengan umat.
Dalam sejarah, terdapat salah satu penguasa yang sangat jujur ialah Abu Bakr. Dia merupakan sahabat yang pertama yang beriman ke pada Nabi dari golongan laki-laki dewasa. Kejujurannya telah teruji semenjak awal dia masuk Islam. Hal tersebut terbukti salah satunyadi tengah-tengah kaum Quraisy mengingkari dan bahkan menghina Nabi dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Abu Bakr justru menjadi orang pertama yang meyakini kebenaran hal tersebut.
Ada pula seorang sahabat Rasulullah saw. yang tidak pernah berbohong. Namanya Ja’far at Thayyar. Nama lengkapnya adalah Ja’far bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Ada dua gelar yang disandangnya. Pertama ia memiliki gelar Abu Al-Masakin yang artinya bapak orang-orang miskin karena ia senang berdialog dengan mereka. Gelar kedua Dzu Al-Janahain yang berarti pemilik dua sayap serta Ja’far Ath-Thayyar yang artinya orang yang dapat terbang
Allah Ta’ala menegaskan di dalam Al-Qur’an, siapa suka menyebarkan berita bohong, maka baginya siksa yang besar.
بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُم مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nur [24] 11).
Secara eksplisit ayat di atas menjelaskan perihal berita bohong yang dituduhkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul terhadap Aisyah Radhiyallahu Anha yang sempat mengguncangkan kehidupan Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam beserta seluruh keluarganya.
Jelas bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat nantinya. Inilah mengapa Nabi Muhammad SAW sangat menghimbau selalu berbuat kebaikan termasuk berkata jujur, dan menjauhi sifat dusta terlebih penguasa.
Begitu sempurnanya aturan Islam dalam mengatur kehidupan manusia. Keimanan lahir dari individu-individunya, sehingga seorang khalifah dapat dipastikan menjaga lisannya dari perkataan dusta. Hanya sistem Islam yang mampu menegakkan aturan secara keseluruhan, maka sudah seyogyanya kita kembali kepada seluruh aturan Allah. Wallahu’alambishowab’.
Komentar