Solusi Tuntas Mengatasi Kenaikan Harga Bahan Pangan

Opini2,339 views

Oleh: Ratni Kartini, S.Si (Komunitas Menulis WCWH)

Ramadhan datang
Alam pun riang
Menyambut bulan yang berkah
Umat berdendang, kumandang azan
Pertanda hati yang senang
Hati yang gembira

Untaian lirik lagu dari Tompi di atas menggambarkan suasana datangnya bulan Ramadhan. Selain disambut suka cita oleh kaum Muslim, bulan Ramadhan biasanya juga disambut dengan kenaikan harga di sebagian besar produk bahan pangan. Tidak terkecuali di Kota Kendari. Namun demikian, ketersediaan sembilan bahan pokok (sembako) dipastikan aman.

Hal ini disampaikan Bapak Walikota Sulkarnain Kadir kepada Zonasultra.com, 26/4/2019 bahwa satu minggu jelang Ramadhan harga sembako di Kota Kendari masih stabil. Selain itu stoknya juga masih cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat hingga Ramadhan. Kalau pun terjadi kenaikan harga, pihaknya telah sepakat dengan distributor menggelar operasi pasar guna menekan kenaikan tersebut.

Namun apakah dengan adanya ketersediaan bahan pokok di pasaran dan menggelar operasi pasar dan benar-benar akan mampu mengatasi gejolak kenaikan harga? Menurut penulis, selama  politik ekonomi kita masih dalam bingkai ekonomi sistem kapitalis, usaha tersebut tidak akan banyak berpengaruh.

Sistem Ekonomi Kapitalis, Akar Masalah

Adam Smith sebagai tokoh pendiri sistem ekonomi kapitalis menyatakan bahwa pasar  memainkan  peranan  yang  sangat penting  dalam  sistem  perekonomian.  Ekonomi  kapitalis  menghendaki  pasar bebas  untuk  menyelesaikan permasalahan  ekonomi,  mulai  dari  produksi, konsumsi  dan  distribusi.  

Meskipun harga dan jumlah barang yang diperjualbelikan di pasar adalah akibat interaksi permintaan dan penawaran, ternyata di dalam praktiknya sukar sekali untuk mengukur permintaan dan penawaran tersebut, atau untuk meramalkan ke mana harga dan jumlah itu akan bergerak. Acapkali harga pasar yang tercipta dianggap tidak sesuai dengan kebijakan dan keadaan perekonomian secara keseluruhan. Dalam dunia nyata mekanisme pasar terkadang juga tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya berbagai faktor yang mendistorsinya (Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, 2007)

Menurut hemat penulis, mekanisme pasar tidak berjalan baik sehingga kenaikan harga tetap terjadi dikarenakan di dominasi oleh 2 faktor, pertama: negara kita masih mengandalkan impor dalam beberapa produk pangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2019, produk pangan yang diimpor dari urutan tertinggi sampai terendah adalah biji gandum, gula, garam, kedelai, beras, jagung, bawang putih, dan tepung terigu. Adanya impor produk-produk tersebut akan mempengaruhi harga di dalam negeri, apalagi nilai tukar rupiah terhadap kurs dollar Amerika masih lemah yaitu saat ini masih kisaran di atas 14.000 rupiah.

Kedua: faktor spekulasi, yaitu adanya permainan harga oleh pihak tertentu. Sebagaimana diungkap oleh Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Sharkawi Rauf, melonjaknya harga pangan di Indonesia karena ulah para mafia atau para kartel pangan yang memainkan harga pangan di pasaran yang mana ulah mereka membunuh para petani, peternak, dan pedagang kecil di pasar. Menurutnya praktik memainkan harga pangan itu ada di pasaran, itu semua ulah para mafia atau kartel pangan (Neraca.co.id, 1/5/2019).

Kedua faktor di atas niscaya akan ada pada negara yang mengemban ideologi kapitalisme termasuk Indonesia. Sebagai negara pengekor, kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia sangat dipengaruhi oleh negara Amerika sebagai induk semang ideologi kapitalisme saat ini. Dalam sistem kapitalisme, mereka-mereka yang memiliki modal besarlah yang akan menguasai pasar.

Sistem Islam, Solusi Tuntas

Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme pengaturan berbagai urusan manusia. Politik ekonomi Islam adalah menjamin terealisasinya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) setiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu (Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, 2015)

Wujud suatu pasar dalam Islam, merupakan refleksi dan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan bukan sebaliknya. Islam mengatur bagaimana keberadaan suatu pasar tidak merugikan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, keterlibatan produsen, konsumen, dan pemerintah di pasar sangatlah diperlukan dengan tujuan untuk menyamakan persepsinya tentang keberadaan suatu harga. Jika hal itu tercapai maka mekanisme pasar yang sesuai dengan syariat Islam akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat (Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Suatu Pengantar, 2003).

Dalam konsep Islam, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan pasar yaitu kekuatan permintaan dan penawaran secara alamiah. Pertemuan permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada suatu tingkat harga. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Hai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisaa:29)

Namun, ketika negara mematok harga untuk umum maka Allah Swt. telah mengharamkan. Dalil keharamannya didasarkan pada hadis yang  diriwayatkan Imam Ahmad dari Anas  Ra. yang mengatakan:  “Harga  pada masa Rasulullah  Saw. Pernah membumbung. Lalu mereka melapor,  ‘Ya  Rasulullah,  seandainya saja harga ini Engkau patok (tentu tidak membumbung seperti ini)’. Beliau menjawab, “Sesungguhnya  Allahlah  Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi Rezeki, Maha Menentukan Harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap ke hadirat Allah,  sementara  tidak  seorang pun yang menuntutku karena sesuatu kezaliman  yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah” (HR. Ahmad)

Pematokan harga faktanya memang membahayakan, bahkan termasuk sangat membahayakan umat dalam segala keadaan. Sebab, pematokan harga bisa membuka pasar secara sembunyi-sembunyi. Orang-orang akan melakukan jual beli di sana dengan penjualan di bawah tangan, yang tidak diketahui, bahkan jauh dari pengawasan negara. Inilah yang disebut pasar gelap. Akibatnya, harga melambung tinggi, dan barang-barang hanya bisa dijangkau oleh orang-orang kaya, sementara yang miskin tidak. Pematokan harga juga bisa berpengaruh terhadap konsumsi barang, dan selanjutnya bisa berpengaruh terhadap produksi barang, bahkan boleh jadi mengakibatkan krisis ekonomi.

Untuk memastikan berjalannya aktivitas ekonomi di pasar sesuai syariat Islam, negara menempatkan qadhi hisbah (al-muhtasib).  Al-Muhtasib inilah yang memiliki kewenangan memberikan putusan dalam berbagai penyimpangan terhadap syariat secara langsung begitu ia mengetahuinya. Di tempat mana pun ada  tanpa memerlukan adanya sidang pengadilan. Sejumlah polisi ditetapkan berada di bawah wewenangnya untuk mengeksekusi perintah-perintahnya dan menerapkan keputusannya saat itu juga.

Begitulah politik ekonomi Islam mengatur. Hal ini akan berjalan jika sistem Islam diterapkan dalam tatanan bernegara. Sebagaimana Rasulullah dan para khalifah sesudahnya telah menerapkannya. Sehingga persoalan klasik yang terjadi tiap tahun menjelang Ramadhan tidak terjadi kembali.

Wallahu ‘alamu bisshowab.

Komentar