3 Maret 1924, Perisai itu Diruntuhkan

Opini638 views

Oleh: Fitriani S.Pd (Penulis Bela Islam)

Sejarah membuktikan bahwa kaum muslimin dunia pernah bersatu di bawah satu kepemimpinan Islam, yang bernama Daulah Islamiyah atau Khilafah. Peristiwa itu bermula dari masa Rasulullah, Muhammad SAW yang berhasil mendirikan Daulah pertama di Madinah, hingga masa kekhilafahan Turki Utsmani. Saat itu, kaum muslimin disegani bahkan dicontoh oleh peradaban lain. Lembaga pendidikan didirikan secara gratis dan berkualitas, hingga melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan Muslim yang sangat disegani. Misalnya, al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, al-Khawarizmi dan al-Firdausi.

Belum lagi pada abad ke-8 dan 9 M, kaum Muslim telah menemukan teknologi pertanian dan irigasi. Mereka mampu memproduksi gandum yang tiada taranya. Di bidang kesehatan, khilafah mengenalkan konsep rumah sakit. Di berbagai rumah sakit semua pasien dari agama apa pun dan suku manapun dan kelas ekonomi apapun mendapatkan pelayanan prima tanpa dipungut biaya. Tak ada pasien yang ditolak untuk dirawat dan berobat.

Di era pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab selama 10 tahun, di berbagai wilayah (provinsi) yang menerapkan Islam dengan baik, kaum Muslimin menikmati kemakmuran dan kesejahteraan. Buktinya, tidak ditemukan seorang miskin pun oleh Muadz bin Jabal di wilayah Yaman. Muadz adalah staf Rasulullah SAW yang diutus untuk memungut zakat di Yaman. Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Demikian berulang pada tahun berikutnya. Umar pun memberikan gaji yang besar kepada pegawai negara.

Hal yang sama terjadi di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Sampai-sampai tak ada lagi orang miskin yang berhak menerima zakat.

Saat itu, nyawa, harta, kehormatan dan kemuliaan kaum muslimin dan non muslim yang hidup didalam daulah terjaga. Hal ini terjadi karena Khalifah dalam Khilafah adalah perisai. Yaitu sebagai pelindung sehingga dapat mencegah musuh menyakiti kaum Muslim, mencegah masyarakat saling menyakiti satu sama lain, juga memelihara kekayaan Islam. Kaum Muslim bersama Imam/Khalifah akan memerangi kaum kafir harbi, pembangkang dan penentang kekuasaan Islam serta semua pelaku kerusakan. Imam/Khalifah melindungi umat dari seluruh keburukan musuh, pelaku kerusakan dan kezaliman.

Sayangnya, masa itu telah runtuh. Perisai itu hancur lebur tak bersisa. Ya, kaum muslimin tak memiliki lagi pemimpin, terlebih Khilafah sebagai pelindungnya. Dan masa pilu dan memilukan itu terjadi pada tanggal 3 Maret 1924, yang ditandai dengan jatuhnya sistem kekhalifahan Islam yang berabad-abad, lewat tangan Mustafa Kemal Attaturk, yang jasadnya sampai saat ini tak dimakan bumi. Pada saat itulah benteng pertahanan kaum muslimin yang disegani oleh seluruh dunia runtuh. Kemudian diganti dengan negara Republik (Nation State), dan Mustafa Kemal menjadi presiden pertamanya.

Sehari setelahnya, yaitu 4 Maret 1924, daulah khilafah yang berdiri selama hampir 1300 tahun itu seolah tidak pernah ada. Hal ini terjadi karena semua hal yang berhubungan dengan kekhilafahan dihapus. Hari libur umat Islam yaitu hari Jumat diganti menjadi hari Ahad (minggu) mengikuti hari libur orang Kristen. Perayaan hari raya Aidilfitri dan hari raya Aidiladha saat itu dihapuskan, karena dianggap mengganggu ketenteraman rakyatnya. Kaum muslimin Turki dilarang menunaikan Haji. Kalendar Barat( Masehi) menggantikan Kalendar Hijriyyah. Kaum muslimin dipaksa menyerukan azan dengan bahasa Turki. Bahkan, ketika terdengar azan subuh dari masjid yang dekat dengan istana Mustafa Kemal, maka dia memerintahkan supaya tempat azan tersebut dirobohkan. Umat Islam dipaksa membaca Al-Quran dengan bahasa Turki bukan dengan bahasa arab. Pakaian yang tadinya sesuai dengan syariat Islam, seketika bertransformasi mengikuti pakaian Barat.

Bahkan, sejak hari itu kaum muslimin diharamkan untuk mengungkit atau menyebut kata khilafah. Hal inipulalah yang menjadi latar belakang kenapa kaum muslimin didunia tak pernah dibahaskan dalam kurikulum pendidikannya tentang sejarah Khilafah. Seperti di Indonesia contohnya, yang hanya diajarkan sejarah tentang penjajahan Indonesia atas kolonial Belanda dan kemerdekaan Indonesia. Tanpa mengetahui kenapa bisa sampai terjajah. Hal ini kemudian membuat kaum muslimin tak mengetahui bagaimana dahulu mereka semua bersatu dalam satu kepemimpinan yang memiliki ikatan akidah Islam serta menerapkan seluruh isi Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan.

Tidak hanya itu saja, sejak runtuhnya payung dunia Islam itu, umat Islam di berbagai belahan dunia didera krisis yang seakan tidak ada habisnya. Wilayah Islam yang semula terbentang seluruh Jazirah Arab, Syam, Irak, Turki, dan Semenanjung Balkan, sebagian Asia Tengah, Afrika bagian Utara, bahkan sebagian Eropa Barat, Asia Tenggara dan Selata, terbelah-belah menjadi lebih dari 50 kepingan wilayah yang dikuasai oleh penjajah. Jazirah Arab, Wilayah Syam, Irak, Asia Selatan dikuasai Inggris. Afrika bagian utara dikuasai Perancis. Demikian halnya dengan wilayah lainnya. Kemudian mulai tahun 40-50 hingga 60-an wilayah-wilayah itu, satu persatu “merdeka” terbebas dari penjajahan. Tapi pengaruh penjajah tetap saja bercokol yaitu dalam bentuk penjajahan Gaya Baru( Neoimperialisme) seperti terjajah secara ekonomi, sosial, politik, budaya, melalui para penguasa yang menjadi boneka. Kaum muslimin pun akhirnya terpecah pecah dan dibelenggu oleh batas teritorial dan nasionalisme masing-masing. Sekalipun boleh jadi kaum muslimin memiliki perasaan ukhuwah islamiyah, namun perasaan tersebut hanya berhenti sebatas perasaan. Sikap persaudaraan yang diikat oleh iman tersebut tidak dapat terealisasikan untuk kaum muslimin keseluruhan di dunia, karena dihalangi oleh sikap politik dan kepentingan negara masing-masing.

Di dalam negeri kaum muslimin yang sejak itu tinggal di berbagai negara mengalami berbagai problema. Untuk wilayah yang kebetulan miskin, Kemiskinan menjadi pemandangan ūsehari-hari. Penindasan oleh penguasa, kedzoliman, kebodohan, kerusakan moral dan lingkungan adalah cerita yang tak pernah sepi dalam kehidupan umat di berbagai wilayah.

Tidak hanya itu, secara Internasional, wilayah-wilayah itu juga tak henti-hentinya menjadi objek jarahan, eksploitasi dan penindasan negara-negara besar. Emas di Indonesia diangkut ke Amerika dan Kanada melalui Freeport. Minyak di negara-negara teluk disedot melalui politik perdagangan yang culas dan curang. Ternyata semua itu bukan akhir peristiwa. Di bidang kemanusiaan, terjadi pembantaian kaum muslimin di Palestina, Bosnian, Maluku dan wilayah lainnya yang belumlah berakhir sampai hari ini.

Di bidang ekonomi, kaum muslimin didikte tanpa dapat memberikan perlawanan dalam menentukan menentukan kebijakan-kebijakannya. Utang luar negeri, persoalan perbankan, pergantian pejabat BUMN, rekapitalisasi subsidi listrik dan BBM, bahkan penentuan bea cukai impor beras tidak lepas dari tekanan barat, melalui IMF. Dalam bidang politik, kaum muslimin tidak dapat menentukan nasibnya sendiri. Kaum muslimin di berbagai belahan dunia dipenjara aqidahnya dalam penjara demokrasi, hak asasi manusia dan pluralisme. Sekularisme menjadi perkara yang betul-betul ditegakkan. Sebagai contoh di Indonesia sendiri, agama sangat dilarang untuk mengurusi urusan politik. Agama betul-betul diperankan di pojok yang menyangkut perkara ibadah ritual serta pembinaaan spirit, etika, dan moral.

Dalam bidang pendidikan, putra-putri kaum muslimin hidup dan pola pendidikan sekuler dan materialistis. Bursa pemikiran dan budaya yang bertentangan dengan Islam, bahkan dapat menghancurkan Islam dan kaum muslimin, dibiarkan meracuni isi otak kaum muslimin tanpa ada pemimpin yang menjadi benteng kokoh pelindung mereka. Semua ini menunjukkan betapa rapuhnya umat Islam menghadapi makar negara-negara Barat. Umat Islam yang jumlahnya melebihi 1,2 miliar tak ubahnya bagaikan lautan buih yang tak memiliki kekuatan apa-apa. Realitas demikian sungguh bertolak belakang 180 derajat dengan kondisi saat Daulah Khilafah Islamiyah tegak selama lebih dari 1300 tahun.

Jadi, dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa, tanpa Daulah Khilafah Islamiyah, kaum muslimin terpecah belah menjadi berbagai negara. Kekayaannya dikuras dan dibawa ke luar negeri. Kedzaliman negara-negara Barat yang imperialis tak mampu dilawan. Hukum-hukum yang diterapkan nyata-nyata buatan manusia dan menyeret anak cucu Adam semakin jauh dari sifat fitri kemanusiaan. Sementara hukum-hukum Islam terperangkap di buku-buku dan hanya sekedar menjadi pengetahuan jauh dari penerapan. Ujung-ujungnya kaum muslimin terhalang untuk taat melaksanakan aturan-aturan Islam dalam setiap aspek kehidupan.

Maka berjuang mengembalikan kehidupan Islam dalam bingkai Khilafah sebagaimana dulu, wajib hukumnya. Sebab, hanya dengan khilafahlah, kaum muslim dunia dapat bersatu dalam satu perasaan, pemikiran dan peraturan yang itu semua sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tak tercerai berai lagi seperti yang terjadi saat ini. Islam akan kembali berjaya memimpin dunia, dibawah naungan Al-Liwa dan ar-Rayah. Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin akan terwujud, baik muslim maupun non muslim yang hidup dalam daulah. Kabar baiknya, Rasulullah saw telah mengabarkan bahwa Khilafah seperti di masa kenabian akan kembali tegak ditengah-tengah kaum muslimin.

“… Kemudian akan kembali Khilafah sesuai dengan manhaj kenabian…” (HR. Ahmad). Pertanyaannya kemudian, kita ingin menjadi penonton, pejuang atau bahkan penentang. Yang pasti, Khilafah akan tetap tegak, jika Allah telah berkehendak. Maka 3 Maret patutlah kita jadikan sebagai peristiwa memilukan untuk seluruh kaum muslimin dunia. Artinya, mengingatnya bukan untuk meratapi lalu pasrah dengan kondisi, melainkan kita harus bangkit dan sadar bahwa sudah saatnya kita meniti jalan perjuangan mengembalikan perisau umat. Wallahu A’lam Bissawab

Komentar