Bagi-bagi Kursi, Balas Jasa Partai Koalisi

Opini243 views

Oleh: Sartinah (Member Akademi Menulis Kreatif)

Kontestasi politik yang menghipnotis banyak kalangan, semakin panas dengan isu-isu permintaan jatah di kementerian. Tak hanya ribut-ribut soal pembagian jatah, rekonsiliasi yang terjadi antara kubu 01 dan 02, tak luput dari sorotan publik. Ada yang setuju, tapi tak sedikit yang menentang. Ada yang senang, banyak pula yang tersulut kekecewaan. 

Sebagaimana telah diusulkan oleh beberapa partai yang mendulang suara terbanyak, di antaranya PKB. Melalui ketua umumnya Muhaimin Iskandar, PKB telah mengusulkan 10 nama menteri ke Jokowi. Terkait hal ini, Wasekjen Golkar Maman Abdurrahman menilai, usulan PKB itu adalah hal yang biasa. Ia menyerahkan komposisi menteri sepenuhnya kepada Joko Widodo sebagai presiden terpilih. Ia menyebut komposisi menteri merupakan hak prerogatif Jokowi. (kumparan.com, Rabu, 3/7)

Tak mau kalah dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang meminta jatah sepuluh menteri di pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, anggota Dewan Pakar Partai Nasdem, Tengku Taufiqulhadi mengatakan, pihaknya akan meminta jatah kursi menteri lebih banyak. Hal itu dikarenakan jumlah kursi Nasdem di DPR lebih banyak ketimbang PKB. Meskipun kemudian Taufiqulhadi menyampaikan bahwa pernyataannya itu hanyalah guyonan. Menurutnya, tidak tepat apabila partai-partai pendukung meminta jatah kursi menteri. Hal itu, kata dia, merupakan hak prerogatif Joko Widodo (Jokowi) sebagai kepala negara. (JawaPos.com, Rabu, 3/7)

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Golkar adalah peraih suara terbesar ketiga dan peraih perolehan kursi terbanyak kedua setelah PDIP di Pileg 2019 ini. Terkait permintaan jatah kursi PKB dan Nasdem, Wasekjen Golkar Maman Abdurrahman menilai bahwa semuanya harus dipertimbangkan dengan proporsional dan melihat berbagai macam pertimbangan. Salah satu pertimbangannya adalah perolehan kursi di parlemen dan komitmen Golkar mendukung Jokowi, jauh sebelum Pilpres 2019 digelar.

Bagi-bagi Kursi jadi Tabiat Sistem Sekuler

Mantera demokrasi terus menghipnotis para pengagumnya. Meski dari tahun ke tahun hasil yang diperoleh dari pemilu yang katanya demokratis, tak juga menunjukkan perubahan signifikan,   baik dari segi kebijakan apalagi kesejahteraan. Perubahannya hanya sebatas peralihan dari satu aktor menuju aktor yang lain, tanpa terjadi perubahan sistem. 

Sistem demokrasi kapitalisme merupakan sistem berbiaya mahal yang membutuhkan dana selangit demi dapat duduk di kursi kekuasaan. Dengan fakta ini bisa dipastikan bahwa tidak ada satupun calon yang mampu mengeluarkan dana pribadi tanpa ada penyokong di belakang mereka. Terlebih untuk duduk di kursi nomor satu di negeri ini. Demikian juga dengan partai koalisi yang turut andil menjadi pendukung para kontestan. Imbasnya, setelah kekuasaan ada digenggaman, bagi-bagi kursi menjadi habit antara penguasa dan koalisi.

Filosofi demokrasi memang tampak sempurna, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di sini, rakyat didaulat sebagai pemegang kedaulatan. Artinya, rakyat yang memiliki fungsi legislasi. Namun sayang, filosofi tersebut hanya indah di kata-kata dan tulisan. Sementara dalam kenyataan semua hanya ilusi. Sistem sekuler yang mahal ternyata tak benar-benar meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Kedaulatan sesungguhnya ada di tangan segelintir kalangan, yakni para penguasa dan  kapitalis. Tak heran jika sistem ini dikatakan sebagai sistem transaksional yang menjadikan kekuasaan sebagai ajang bancakan.

Sudah menjadi fitrah alamiah, bahwa sistem apapun yang diterapkan pada manusia, tetapi mengabaikan hak Allah Swt sebagai pembuat hukum, pasti membawa banyak kemudaratan. Terlebih jika berkaitan dengan pengurusan umat. Demikian halnya dengan sistem demokrasi kapitalisme yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat dan mencabut hak Allah sebagai pemilik kedaulatan.

Pada akhirnya, kebijakan apapun yang dibuat hakikatnya bukan untuk kepentingan rakyat. Melainkan untuk kepentingan partai, kelompak, dan sponsor. Lihat saja bukti dari UU SDA (sumber daya alam) yang seharusnya dibuat untuk menguntungkan dan menyejahterakan rakyat, faktanya justru para kapitalis dan pemilik modal yang diuntungkan. Sumber daya alam yang seharusnya digunakan demi kemakmuran rakyat, kini dikuasai swasta atau asing. Kemudian rakyat lah pihak yang paling dikorbankan atas kebijakan penguasa.

Jelas sudah, bahwa perubahan hakiki tidak mungkin diperoleh dalam sistem yang menuhankan akal semata. Rayuan manis hadirnya perubahan melalui pemilu ternyata hanya ilusi. Pemilu yang menghamburkan dana hingga miliaran rupiah, hanya mampu menghasilkan sirkulasi elit. Tokoh baru hadir untuk menggantikan yang lama, tetapi masih di bawah payung yang sama, yakni kapitalisme. Inilah ironi demokrasi kapitalis. 

Islam Menjadikan Kekuasaan Sebagai Alat Mengurus Umat

Islam adalah agama mulia yang memiliki solusi fundamental atas seluruh problem kehidupan. Pun terkait dalam menentukan kriteria seorang pemimpin. Islam tidak menganggap kekuasaan atau jabatan sebagai hak, kebanggaan, dan kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat. Namun, jabatan merupakan amanah, tanggung jawab, kewajiban, kehinaan dan penuh penyesalan. Seorang calon pemegang amanah tidak akan sesuka hati meminta diberi kekuasaan, jika dirinya merasa tidak mampu atau tidak memiliki kapasitas sebagai pemegang amanah.

Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis, saat Abu Dzar al-Ghifari  meminta jabatan kepada Nabi Saw, dengan penuh kasih sayang baginda Saw mengingatkan, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah. Sedangkan jabatan itu amanah. Jabatan itu kelak pada Hari Kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan sebenar-benarnya, serta ditunaikan dengan sebaik-baiknya.” (HR Muslim)

Hadis di atas menjelaskan bahwa kekuasaan bukan untuk diperebutkan, apalagi jadi ajang bancakan. Islam meniscayakan bahwa pemegang amanah benar-benar takut kepada Allah dan menerapkan seluruh syariat-Nya. Bukan mereka yang khianat, anti syariat, apalagi menduduki tampuk kekuasaan hanya untuk memperkaya diri, kelompok, atau partai politiknya. Sebagaimana yang menjadi fenomena di hampir semua negeri-negeri penganut sistem demokrasi kapitalis.

Demikianlah seharusnya para pemegang kekuasaan memposisikan jabatannya. Yakni sebagai amanah, tanggung jawab, dan kehinaan. Jika demikian niscaya tidak ada orang-orang yang tak layak memegang amanah duduk di tampuk kekuasaan, apalagi saling berebut jabatan. Hanya saja, semua ini akan dapat diwujudkan dalam realita, jika syariat Islam ditegakkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Sehingga kekuasaan yang diemban murni hanya digunakan sebagai alat untuk mengurus urusan umat. Penegakkan syariat Islam secara kaffah akan menjadi jalan terciptanya kerahmatan bagi seluruh alam, dan meniscayakan bahwa kekuasaan bukan diperoleh melalui koneksi ataupun banyaknya koalisi. 

Wallahu a’lam bish shawab

Komentar