Cinta yang Dia Minta

Artikel Lepas487 views

Idul Adha, sebuah perayaan ketakwaan, ketaatan dan kesabaran bahkan lebih dari itu. Kiranya ia menyuguhkan kisah cinta yang ada pada hakikatnya. Memberikan renungan-renungan tentang makna cinta yang terkadang kita terjebak olehnya. Betapa tidak, suasana kerinduan yang terengah-engah dalam penantian panjang lahirlah seorang anak dari istri keduanya (Siti Hajar) yang bernama Ismail. Padahal ketika itu umur nabi Ibrahim lebih dari 80 tahun, Kasih sayang Ibrahim kepada Ismail pun tertumpah ruah. Perhatiannya tak kunjung surut, terus mengombak. Hingga tak lama setelah itu suatu hari datang titah TUHAN sebagai ujian. Dibawalah Hajar dan Ismail menuju tempat yang kini jadi peribadatan, Mekkah. Dulu Mekkah hanyalah gurun pasir yang tak bertuan, tiada sesiapapun. Hajar pun tak tahu apa kehendak Ibrahim membawa ke gurun yang tak berpenghuni. Yang dia tahu hanya melakukan perjalanan dan akan kembali lagi.

Tak bilang apa-apa, tak diberitahu apa-apa. Dalam duduknya, Ibrahim tinggalkan Hajar dan anaknya yang ia rindukan kehadirannya itu. Setapak demi setapak dengan suasana hati yang tak mampu tergambarkan, Ibrahim meninggalkan keduanya. Hajar pun berlari dan berteriak, “Ya Ibrahim, kepada siapa kau meninggalkan kami?”. Ibrahim tak bergeming takut hatinya menjadi luluh dan lalai dari titah Tuhannya. Dua kali Hajar bertanya hal yang sama. Pada akhirnya dengan segala ketaatanya, Hajar berteriak “Ya Ibrahim, apakah Allah yang memerintahkan ini?”. Dan masih tanpa menoleh dengan nada yang hampir tersendat di tenggorokan, Ibrahim menjawab “Ya”. Hajar pun merunduk sejenak dan memperhatikan suami tercinta yang melangkah semakin jauh. Ia berkata dengan segala keshalehannya “Dengan begitu Allah tak akan membiarkan kita… Allah tak akan membiarkan kita”. Dan benar dengan keteguhan itu, Allah menyelamatkan keduanya dengan air zam-zam yang mengalir dari berbaringnya Ismail setelah sekian kali berlelah di atas gurun tak berpenghuni itu.

Kisah itu pun berlalu, Ibrahim bersua kembali dengan Hajar dan Ismail. Seiring bergesernya rotasi perputaran bumi, waktu pun berjalan dan Ismail mulai beranjak menginjak usia remajanya. Cinta Ibrahim kepada Ismail tak terbendung lagi. Ketika cinta sedang berada pada puncaknya, kala cinta telah mengalir menyempurnakan nafas kehidupan, dan saat cinta tengah bergejolak mengukir senyum tiada banding. Maka, tiba saatnya cinta yang harum mempesona itu akan DIA minta. Dan benar adanya, cinta yang DIA minta terbungkus rapi dalam balutan mimpi. Ibrahim harus menyembelih anak yang dicintainya, Ismail. Ibrahim duduk sejurus termenung memikirkan ujian yang maha berat. Ia harus menyembelih putra yang sejak puluhan tahun diharap dan didamba, putra yang mampu menjadi pewaris risalah dakwah dan keturunannya dan harus dengan tangannya sendiri merenggut nyawa anak yang lahir dari rahim penuh kerinduan itu. Tanpa membuang masa lagi, atas nama cinta kepada Allah di atas cinta kepada semua yang ada di sekitarnya. Ibrahim menguatkan azam untuk tetap mewujudkan cinta yang murni kepada Allah.

Usai diberitahu oleh ayahanda tercinta tentang mimpi itu. Ismail dengan keteguhan hati berkata, “Wahai ayahku, laksanakanlah perintah Allah. Engkau akan menemuiku sebagai seorang yang sabar dan taat kepada-NYA”. Dipeluklah Ismail dan dicium pipinya oleh Ibrahim seraya berkata, “Bahagialah aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah, bakti kepada orang tua yang dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah”. Dalam suasana mengharubiru Ismail berpesan kepada ayahnya, “Pertama, agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak sehingga menyusahkan ayah, kedua agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku bila melihatnya, ketiga tajamkanlah parangmu dan percepatkanlah perlaksanaan penyembelihan agar menringankan penderitaan dan rasa pedihku, keempat dan yang terakhir sampaikanlah salamku kepada ibuku berikanlah kepadanya pakaianku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya”.

Bergelinang air mata Ibrahim, seakan-akan hatinya pada saat itu menjadi pertarungan hebat antara perasaan seorang ayah dan kewajibannya sebagai pesuruh Allah. Dengan mata terpejam, parang diletakkan di atas lehernya dan penyembelihan pun dimulai. Namun, apa daya parang yang sudah sedemikian tajam itu menjadi tumpul. Ismail berkata “Wahai ayahku, rupa-rupanya engkau masih tak tega karena melihat wajahku, cobalah telungkupkanlah aku dan laksanakan tanpa melihat wajahku”. Dan lagi-lagi parang menjadi tumpul. Dalam keadaan hati yang bimbang, datanglah wahyu Allah “Wahai Ibrahim! Engkau telah berhasil melaksanakan mimpimu, demikianlah Kami akan membalas orang-orang yang berbuat kebajikkan.” Maka digantilah Ismail dengan seekor kambing.

Sungguh, betapa taatnya nabi Ibrahim dan betapa sabarnya nabi Ismail. Maka, Idul Adha bukan sekadar memikirkan berapa sapi yang akan kita potong, berapa kambing yang akan kita sembelih, berapa daging yang akan kita dapatkan. Bukan pula berencana, mau seperti apa daging qurban dimasak, mau dengan siapa masakan itu dimakan. Tetapi ada yang lebih dari itu. Kisah itu penuh arti, kisah itu heroik mendefinisikan tentang cinta yang hakiki. Kisah itu hanya ada satu tafsir tentang cinta yang DIA minta. Maka, tak ada cinta yang ada diatasnya. Keluarga, harta dan semua yang ada dalam dunia ini hanya cinta yang melenakan. Maka cinta adalah bagaimana kau memaknainya. Cinta adalah bagaimana kau bertambah taat kepada-NYA.

Termaktub dalam firman-NYA “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An’aam ayat 32).

Dan tertulis dalam sabda Rasul “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)”.

Ramdhani, Eks Ketua BEM FIB Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara

Komentar