Oleh: Erfain Batuatas (Unsultra_Ut)
Selama beberapa tahun terakhir, melalui berbagai program dan kebijakan politik serta kegiatan sosialisasi, fasilitasi dan mediasi dalam pemilihan kepala daerah, baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi merupakan bagian integral dari proses desentralisasi dan otonomi daerah yang terjadi di indonesia. Desentralisasi otonomi daerah melalui instrument pemekaran merupakan peruwujudan rumus untuk menjawab persoalan yang ada di daerah. sebab, sistem desentralisasi merupakan mekanisme-mekanisme bebas dari masalah dari pembaruan pemerintahan, bagian dari suatu transisi menuju struktur- struktur tata pemerintahan yang sudah di tetapkan di muka dan yang menyumbang pada pembangunan, demokrasi masyarakat sipil dan good governance (Aspinal dan Fealy dkk 2003).
Pemilihan kepala daerah secara demokrasi di tingkat lokal Kabupaten maupun Provinsi dalam 5 tahun sekali telah terwujud, sehingga masyarakatlah yang akan kemudian menentukan salah satu pemimpin sebagai kepala daerah untuk diamanatkan sebagai pemegang kendali demi nasib daerah atau masyarakat selama 5 tahun dalam masa kepimpinan. Sehingga harapan public dalam bingkai desentralisasi otonomi daerah terhadap corak politik dan ekonomi terhadap daerah tersebut, akan lebih berharap pada peningkatan mutu pembangunan daerah demi kesejahteraan masyarakat pula, hali ini jika dilihat secara pendekatan konseptual. Namun, pada kajian pendekatan empiris (realitas) berkata lain. Pendekatan empiris selalu menjawab, terpilihnya kepala daerah hanya bermuara pada kepentingan (interest) individu, kelompok maupun golongan-golongan tertentu, sebab aktor-aktor politik sendiri cenderung mengemas proses-proses yang kompleks dengan ungkapan-ungkapan mekanistis rutin yang tentu saja didasarkan ‘pada visi dan misi’ pembangunan belakang dengan berakar pada ‘aspirasi-aspirasi masyarakat yang kemudian tampa merealisasikan oleh pemerintah yang menjabat. Padahal janji-janji kampanye seolah-olah telah menjadi fatwa pembenaran dalam menarik simpati public, bahasa-bahasa politik yang kemudian di godok dan di olah untuk menjadi janji kampanye massa terhadap masyarakat daerah (political marketing). Sebab, unsur janji kampanye masih memiliki evorial belakang maupun fatamorgana (bayangan semu) yang jarang terealisasi. Situasi ini berkaitan dengan teropong pendekatan wilayah daerah, yang sangat berpengaruh terhadap sasaran wilayah yang masih memiliki ketertinggalan dalam pembangunan.
Terkait dengan hal tersebut jika dilihat secara rasionalitas, harusnya strategi perencanaan pembangunan daerah yang di sebut dengan (PPD) lebih menjadikan sebagai suatu cara yang di gunakan dalam proses perumusan atau penyusunan rencana-rencana pembangunan di suatu wilayah/daerah tertentu mulai dari penempatan visi, misi, tujuan, sasaran, telah di jelaskan sebagai bagian atau tahapan dari keseluruhan pembangunan demi pembangunan daerah. walaupun beberapa pendapat ilmu politik maupun ilmu-ilmu sosial lainya, telah di nyatakan sebagai hal kewajaran, tapi feedback style behavior itu, akan menimbulkan mosi ketidak percayaan public karena tidak menjawab secara esensi ilmu politik itu sendiri.
Hal ini telah menjadi sebuah tantangan dan PR bagi para kandidat yang terpilih untuk membuktikan janji politiknya, karena kepastian yang ada bahwa pengambilan kebijakan dan keputusan melalui perencanaan pembangunan daerah tersebut berada pada pihak kepala daerah yang terpilih, dan terealisasinya sebuah janji kampanye merupakan bagian dari wujud dasar kepercayaan publik kepada pemerintah daerah, hal ini menyangkut jalan mencapai tujuan bersama yang di cita-citakan untuk mewujudkan sarana-prasarana demi mencapai “tempat tujuan”, serta secara irasional umum terhadap kebijakan publik menyangkut cita-cita bangsa negara Indonesia adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan) dan UUD 1945 (Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum dan tidak semata-mata kekuasaan). Riant Nugroho D. 2003. Menurut Bintoro dan Mustopadidjaja (1988). “keseluruhan langkah (kebijakan-kebijakan) dengan perhitungan yang pasti akan mencapai suatu tujuan atau mengatasi suatu persoalan bagian dari suatu perencanaan pembangunan daerah (PPD).
Multi-problem yang ada di daerah, sering kali di temukan dan perlu harus di lakukan adalah penataan atau perubahan pada pandangan pembangunan daerah terhadap kepala daerah sebelumnya. Situasi-situasi ini perlu di kemas secara demikian terhadap pemerintah daerah untuk melakukan pembagunan dengan menggunakan metode-metode perbandingan political normative dalam melakukan pembangunan daerah guna mengukur-ukurkan skala geogrfis yang akan di bangun di daerah dengan menggunakan kekuatan anggaran di daerah maupun anggaran yang bersifat bantuan dari pusat, untuk keberlangsungan pengembangan di daerah- daerah. Pandangan Riant Nugroho D. 2003, memberikan solusi pada teori rasionalisme dengan mengatakan bahwa proses formulasi haruslah berdasarkan pada keputusan yang sudah di perhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang di ambil adalah perbandingan antara pengorbanandan hasil yang di capai. Dengan kata lain bahwa model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomi.
Jika hal tersebut berlangsung, maka secara normative, pemerintah daerah telah mampu melakukan pengendalian, pencegahan dan penyelesaian berbagai kasus melalui kebijakan yang di putuskan dengan menyesuaikan kondisi daerah. Pemahaman ini, jika pemilahan masalah dan pendekatan yang tepat dalam menyelesaikan kondisi-kondisi daerah, maka pada gilirannya akan memperlihatkan hasil yang signifikan, berupa peningkatan kepercayaan kepada pemerintah maupun publik dengan melihat permasalahan sosial politik yang muncul. Karena desentralisasi otonomi daerah (kewenangan daerah), mengisyaratkan bahwa pemerintah daerah yang memiliki kewenangan didaerah cukup andil dalam melakukan berbagai pembangunan daerah sebagai tuntutan problem di daerah masing-masing wilayah berdasarkan pada ketentuan-ketentuan amanat Undang-undang 1945 Republik Indonesia. (*)
Komentar