Derita Pengantin Pesanan Antar Negara

Opini458 views

Oleh: Siti Maisaroh

Setiap pengantin tentu mendambakan hidup bahagia bersama pasangannya. Sejuta mimpi telah ‘digenggam’ untuk mengarungi hidup bersama. Tetapi, hal itu tidak dirasakan oleh beberapa wanita berikut ini, yang terpaksa harus merelakan dan mengubur mimpi indah pernikahannya. 

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat ada 29 perempuan jadi korban pengantin pesanan di China selama 2016-2019. Para perempuan dibawa ke China, dinikahkan dengan lelaki di negara tersebut, dengan iming-iming diberi nafkah besar. Namun, kata Sekjen SBMI, Bobi Anwar Ma’arif, perempuan ini malah ‘dieksploitasi’ dengan bekerja di pabrik tanpa upah. 

“Dia sama-sama kerja dari jam 7 sampai jam 6 sore. Kemudian ada lagi kerja tambahan merangkai bunga sampai jam 9 malam. Jadi dia kerja, tapi dari pekerjaan-pekerjaan itu dia tidak dapat apa-apa. Semua upahnya itu ke suami atau ke mertuanya,” ujarnya dalam konferensi pers di LBH Jakarta, Minggu (23/6/2019) siang. Kata Bobi para perempuan ini tergoda dengan iming-iming uang. Dari berbagai laporan, SBMI menemukan para perempuan ini dipesan dengan harga 400 juta rupiah. Dari angka itu, 20 juta diberikan kepada keluarga pengantin perempuan, sementara sisanya kepada para perekrut lapangan. 

Di China, para korban kerap dianiaya suami dan dipaksa berhubungan seksual, bahkan ketika sedang sakit. Para korban juga dilarang menghubungi keluarganya di Indonesia. SBMI menduga, pernikahan ini sebetulnya merupakan praktik perdagangan manusia. (Sumber: VOA 24/06/2019). 

Kejamnya Sistem Kapitalisme 

Hidup dalam sistem kapitalis saat ini, memang kita didesak dengan harga segala kebutuhan yang kian hari kian mahal. Setiap anggota keluarga yang sudah dianggap dewasa dan bisa bekerja, ditekan harus terlibat membantu dan menopang kebutuhan keluarganya. Apalagi bagi mereka yang hidup diperkotaan, yang semua serba beli. Sehingga yang muncul dibenak adalah, ‘besok kita makan apa? Belum lagi ditambah biaya sekolah, biaya kesehatan dan lainnya yang juga harus ditanggung keluarga. Sehingga, banyak orang yang berfikir pintas. Apalagi dengan iming-iming rupiah didepan mata. Mereka tidak lagi mampu berfikir jangka panjang. Sangat memprihatinkan. 

Karena lepas tangannya Negara dalam menjamin kebutuhan pekerjaan, pendidikan dan kesehatan rakyatnya, membuat kepala keluarga (ayah) kewalahan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Karena semua harus ‘dipikul’ sendiri. Maka, peluang melepaskan anak gadisnya untuk dinikahi dengan laki-laki yang dianggap mapan adalah hal lumrah. Apalagi penghubungnya (mak comblang) dilihat bisa dipercaya. 

Sistem Kapitalisme memang rentan mengeksploitasi para wanita. Selain wanita diberi peluang untuk bekerja diranah publik (walau kerja kasar) sehingga meninggalkan fitrohnya sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya, wanita juga dianggap sebagai objek atau produk yang mempunyai nilai/harga untuk diperjual belikan. Wanita tidak berbeda dengan barang-barang yang mudah diopor dan pindah tangan kepemilikan. Dijadikan pemuas nafsu para lelaki kafir yang tidak punya pri kemanusiaan. 

Kita berhak mempertanyakan pada Negara dan penguasa. Kemana slogan HAM yang selama ini diagung-agungkan. Kemana keadilan sosial yang dijanjikan. Dimana ketahanan dan perlindungan Negara untuk para wanita. Mengapa dengan mudahnya para lelaki ‘hidung belang’ memesan para wanita yang akan diperlakukan sesukanya. Sungguh, Kapitalisme telah gagal dalam membangun peradaban manusia. 

Ini bukti, bahwa sistem Kapitalisme memang system yang rusak dan merusak. Dibuat oleh manusia untuk mengatur sesama manusia. Padahal sejatinya, akal manusia bersifat lemah dan terbatas. Juga seharusnya, kita menggunakan aturan dari yang menciptakan kita, yakni Allah Swt. Sebagaimana dahulu pernah diterapkan oleh baginda Rasulullah Saw dan para kholifah setelahnya. Islam berjaya selama 13 abad lamanya, kemuliaan dan kesucian wanita terjaga. Namun, sejak peradaban Islam berhasil diruntuhkan oleh Barat dan anteknya, dimana Mustafa Kemal Atartuk sebagai dalang utama yang membawa peradaban Barat ditengah kehidupan kaum Muslim. Maka sejak itulah para wanita keluar dari fitrohnya. 

Alquran telah mengingatkan, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (TQS. Al Ma’idah 49). 

Jika kita kembali pada aturan Islam. Wanita tidak dibebani untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Para wali juga hanya bertugas mencari nafkah (sandang-pangan-papan) sedangkan kesehatan dan pendidikan menjadi tanggung jawab Negara. Maka para wanita pun akan kembali duduk di ‘singgasana’ kemuliaannya. Wanita bisa fokus dalam perannya mendidik anaknya dan ta’at kepada suaminya. Walau tetap dibolehkan untuk bekerja diluar rumah (asal syarat syar’i-nya terpenuhi). Wanita akan jauh dari pelecehan dan penindasan. Karena mereka adalah insan mulia yang dari tanggannya akan tumbuh para generasi cemerlang, berilmu dan bertakwa yang siap membawa agama dan negaranya pada peradaban gemilang. Waallahu a’lamu bishowab. 

Komentar