Ditelikung Investasi, Negara Minim Empati?

Opini210 views

Oleh: Sartinah (Pemerhati Muslimah dan Umat)

Ironis. Kata ini yang kiranya pantas diungkapkan untuk menggambarkan bagaimana nasib kaum muslim saat ini. Di satu sisi menjadi mayoritas di dunia, namun pada sisi yang lain kezaliman terus menghantui kaum muslim, tanpa ada seorang penguasa pun yang mampu menyelamatkan mereka. Uighur adalah salah satunya. Minoritas muslim di Xinjiang ini, tengah mengalami krisis kemanusiaan yang mengkhawatirkan.

Bagaimana tidak,  kekejian demi kekejian terus mereka alami, namun teriakan dan jerit tangis mereka seolah tak terdengar, bahkan  para penguasa tak kunjung bereaksi untuk segera menyelamatkan mereka dari berbagai pelanggaran HAM, karena sebuah alasan klise, yakni tak mau mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Seperti di lansir CNN Indonesia, bahwa kedekatan pemerintah dengan China dianggap menjadi salah satu ganjalan sehingga Indonesia tak cukup vokal mengecam Negeri Tirai Bambu atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis minoritas Uighur di Xinjiang. Sejumlah pengamat menangkap sinyal bahwa Indonesia kurang lantang merespons persekusi China atas suku minoritas Muslim ini karena Presiden Joko Widodo hingga saat ini masih bungkam terkait persoalan Uighur.

Bahkan Aaron Cannelly, yang merupakan Peneliti Kebijakan Luar Negeri dan Politik Asia Tenggara dari International Institute for Strategic Studies (ISS), menganggap isu Uighur ini sensitif bagi publik Indonesia sehingga Jokowi tak bisa cepat bersuara. Peneliti lembaga think thank Singapura itu menganggap Jokowi akan berpikir dua kali sebelum menyinggung China soal ini di depan publik, salah satunya karena kerja sama ekonomi terutama modal Beijing yang cukup besar tertanam di Indonesia (CNN Indonesia).

Tindakan keji yang dilakukan rezim  komunis pada kaum minoritas muslim Uighur telah mencabut hak-hak asasi mereka sebagai kaum muslim, bahkan sebagai manusia. Bahkan berdasarkan laporan Amnesty Internasional, sekitar satu juta penduduk Uighur mengalami penyiksaan dan tidak diketahui nasibnya ketika dimasukkan ke “Kamp Pendidikan Ulang” (BBC Indonesia). Kendati demikian, penguasa tetap membisu atas kekejaman rezim komunis tersebut. Di samping itu China sendiri yang tak menyukai urusan dalam negerinya di campuri negara lain.

Sikap diam pemerintah pada China atas  pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terus mengancam muslim Uighur, adalah dampak dari  hubungan bilateral antara Indonesia dan China, serta ketergantungan negeri ini atas tingginya investasi negeri Tirai Bambu tersebut. Kehati-hatian pemerintah yang tak kunjung mengkritik pelanggaran China atas muslim Uighur, menjadi tanda bahwa negara abai dalam melindungi kaum muslim. Sayangnya investasi seolah tetap menjadi magnet yang menarik bagi suatu negara dan akan jadi prefensi utama yang dapat mengalahkan harga sebuah nyawa.

Seperti diketahui, pemerintah China menjadi penyumbang Investasi yang cukup besar di negeri ini. Dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi Investasi dari China pada periode Januari-September 2018 mencapai USD 1,8 miliar (Okezone.com). Investasi asing  menjadi jeratan bagi negara-negara berkembang khususnya Indonesia, hingga tetap diam dan terkesan membiarkan duka dan derita yang terjadi pada muslim Uighur. Padahal Investasi asing  adalah penjajahan berkedok pinjaman yang akan membuat ketergantungan berkepanjangan di negeri ini.

Akibatnya, jangankan untuk melakukan aksi nyata yang akan  membebaskan muslim Uighur, sekedar mengutuk pun tampaknya tak terdengar suara penguasa. Hegemoni China atas negeri ini begitu kuat, hingga memaksa pemerintah untuk bertekuk lutut atas kebijakan negara itu. Padahal Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, semestinya lebih mampu untuk bertindak tegas terhadap Pemerintah China, demi  menolong saudara seakidah.

Terlebih sekat nasionalisme yang kini  menjadi jurang pemisah antar negara, telah menghilangkan perasaan jama’i kaum muslim untuk bersatu. Kemudian anggapan bahwa urusan dalam negeri negara lain tak bisa dicampuri, semakin menambah bukti tak berdayanya negara terhadap berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap kaum muslim. Nasionalisme telah memutus empati terhadap penderitaan saudaranya yang lain. Wahasil, negara dengan sistem kapitalis sekuler takkan bisa di harapkan untuk menyelesaikan secara tuntas tragedi kemanusiaan yang kini terjadi.

Berbeda dengan sistem kapitalis sekuler yang mengkerdilkan kekuatan negara, Islam sebagai agama dan mabda yang sempurna -bila diterapkan dalam bingkai khilafah- akan mampu memberikan perlindungan atas setiap kezaliman yang menimpa kaum muslim. Bahkan dalam sejarahnya, negara Khilafah  telah terbukti mampu menjadi pelindung selama ratusan tahun dalam menjaga dan melindungi kaum muslim khususnya dan manusia pada umumnya baik terhadap aqidah, harta, dan jiwa dari berbagai bentuk ancaman.

Faktanya dapat kita saksikan pada masa khalifah al-Mu’tashim Billah. Beliau merupakan khalifah kedelapan dinasti Abbassiyah. Dimana pada saat itu kota Amurriyah yang dikuasai oleh Romawi berhasil ditaklukkan oleh al-Mu’tashim. Sekitar 3.000 tentara Romawi tewas terbunuh dan 30.000 lainnya menjadi tawanan. Salah satu faktor yang mendorong ditaklukannya kota ini adalah karena ada seorang wanita dari kota di pesisir yang ditawan di sana. Kemudian ia berseru, “Wahai Muhammad, wahai Mu’tashim.”

Kemudian informasi itu pun terdengar oleh khalifah. Sang khalifah pun segera menunggang kudanya dan membawa bala tentara untuk menyelamatkan wanita tersebut sekaligus menaklukkan kota tempat wanita itu ditawan. Al-Mu’tashim kemudian mengatakan, “Kupenuhi seruanmu, wahai wanita,” setelah berhasil membebaskan wanita itu.

Demikianlah gambaran bagaimana kesigapan seorang pemimpin dalam negara Khilafah yang bersegera memenuhi seruan dari rakyatnya ketika meminta pertolongan.  Seorang pemimpin yang tidak akan rela melihat ketidakadilan yang menghantui kaum muslim, dan seorang pemimpin yang  berani mengirimkan banyak pasukannya, demi menyelamatkan satu nyawa. Hingga takkan ada lagi jerit tangis dan rintihan kesakitan karena perilaku kezaliman.Saatnya umat bangkit dan bersatu untuk menerapkan syariat Islam dalam seluruh bingkai kehidupan, agar Islam kembali berjaya dan menjadi penguasa di bumi, serta dapat memberi perlindungan dan keamanan terhadap seluruh manusia dan kaum muslim khususnya. Karena hanya dengan sistem Khilafah,  akan mampu membebaskan dan melindungi kaum muslim yang tertindas. Wallahu’lam bish shawwab.

Komentar