Oleh: Zulhilda Nurwulan, S.Pd (Aktifis Dakwah)
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana politik yang digunakan untuk menentukan seorang pemimpin di suatu wilayah, baik pada skala kepala negara maupun kepala daerah pada khususnya. Tepat pada 17 April 2019 yang lalu, Indonesia telah menyelenggarakan pemilu untuk pilpres dan pileg. Terlepas dari momentum pemilu tersebut, terdapat banyak polemik yang muncul di tengah-tengah masyarakat baik sebelum penyelenggaraan pemilu maupun sesudahnya.
Momentum pemilu ini tidak terlepas dari kontribusi suatu lembaga penyelenggara pemilu yakni KPU (Komisi Pemilihan Umum). Banyaknya kesalahan yang muncul pada penyelenggaraan pemilu kali ini didominasi dari kesalahan KPU. Dari data yang dihimpun oleh Tirto, setidaknya ada belasan kabupaten/kota yang terhambat melaksanakan pemilu karena kegagalan KPU tersebut. Beberapa kasus tersebut diantaranya:
1. Kurangnya surat suara yang disebabkan keterlambatan logistik. Seperti yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Ketua KPU TTU, Paulinus Veka mengatakan ada kekurangan surat suara untuk surat suara Presiden dan surata suara anggota DPRD kabupten untuk empat daerah pemilihan.
2. Kotak Suara Rusak. Seperti yang terjadi di kecamatan Tamansari dan Ciseeng, Kabupten Bogor, Senin, 15 April 2019. Di dua lokasi itu ada 682 kotak suara yang rusak. Beruntung, KPU Kabupaten Bogor memiliki kotak suara cadangan.
Beberapa kasus di atas merupakan kasus yang terjadi sebelum penyelenggaraan pemilu, namun tidak selesai sampai disitu momentum pemilu juga masih meninggalkan duka. Diantaranya, banyaknya petugas pelaksana pemilu yang gugur dalam tugas.
Data yang diupdate pada Senin, (22/4) pukul 16.15 WIB, menunjukkan 90 petugas meninggal.
“Kemudian 374 orang sakit, (penyebabnya) bervariasi,” ungkap Ketua KPU Arief Budiman di Kantor KPU Menteng, Jakarta Pusat, Senin (22/4).
Laporan KPU memperlihatkan, faktor kelelahan menjadi penyebab yang paling besar petugas sakit. Selain itu, beberapa petugas mengalami tifus dan stroke.
Deretan kasus di atas hanya bagian dari kesalahan teknis dalam pelaksanaan pemilu, akan tetapi ada hal besar yang perlu diperhatikan dibalik penyelenggaraan pemilu kali ini yaitu menjadikan pemilu sebagai ladang bisnis. Pihak asing masih menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang yang potensinya sangat baik untuk diajak menjalin kerja sama bisnis. Menurut mereka pasar menjelang pemilu terkesan lebih baik. Chief Economist Bahana TCW Budi Hikmat dalam ulasan Post-Election Brief yang dipublikasikan, Kamis (18/04/2019), menyatakan bahwa arus inflow pasar saham dan obligasi mencapai US$ 6 miliar, jauh lebih besar dari total inflow 2018.
Dari sisi investasi, Budi lebih menyukai aset obligasi ketimbang saham, dengan pertimbangan durasi investasi panjang untuk tahun 2019 dan mengacu kepada kredibilitas utang pemerintah yang semakin baik dan kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia.
Manajer investasi asal Inggris, Ashmore, juga memprediksi total modal asing yang masuk ke pasar modal Indonesia tahun ini meningkat sejak awal tahun hingga saat ini. Modal asing yang masuk sudah sampai US$ 1 miliar. Estimasi tersebut didasarkan pada data historis yang menujukkan tren arus masuk modal asing dengan rata-rata perolehan US$ 2,2 miliar sepanjang tahun penyelenggaraan pemilu. Lebih lanjut Ashmore juga mencatatkan bahwa pemilu Indonesia adalah satu-satunya pemilu yang mendapatkan sentimen positif untuk arus masuk asing dan rekomendasi beli (overweight).
Kisruh Pemilu 2019 membuktikan bahwa rakyat tidak bisa berharap pemilu benar-benar menjadi sarana untuk melakukan perubahan (sekalipun hanya merubah rezim).
Demokrasi hanya akan berpihak pada penguasa yang akan melanggengkan penjajahan sistemisnya dalam segala aspek (politik, ekonomi maupun sosbud). Jargon ‘dari-oleh-untuk rakyat’ yang digadang-gadangkan oleh sistem demokrasi tidak pernah benar-benar terbukti. Pemilu kali ini hanya menjadi sarana bagi korporasi untuk menguasai rakyat sementara uang dan tenaga yang dipakai adalah milik rakyat. Hakikatnya, rakyat hanya butuh perlindungan dan kesejahteraan dari pemimpin, sehingga diperlukan pemimpin yang amanah, jujur, dan adil. Hal ini hanya akan terwujud dengan kepemimpinan Islam yang akan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh sehingga mampu menjaga rakyat dan menyejahterakan umat. Wallahualam bii sawwab.
Komentar