Eksploitasi Anak yang Bekerja

Opini226 views

Oleh: Zulfikar Halim Lumintang, SST. (Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara)

Usia anak merupakan usia yang sangat krusial bagi masa depan seorang manusia. Anak masih membutuhkan arahan dari orang terdekat untuk mengambil langkah yang benar atau langkah yang salah. Dan orang tua mengambil peran yang sangat dominan dalam penentuan masa depan seorang anak. Sebagian besar anak menghabiskan waktunya untuk bersekolah. Namun, pada zaman yang semakin sulit ini, sangat dimungkinkan seorang anak memasuki dunia kerja yang sewajarnya masih harus bersekolah. Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk melindungi dan mencegah anak masuk ke pasar kerja. 

Menurut BPS (2010), pemerintah Indonesia telah mengadopsi beberapa konvensi ILO yang terkait dengan hak-hak anak, diantaranya adalah (i) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1999 tentang pengesahan konvensi ILO No. 138 mengenai standar usia minimum anak untuk diperbolehkan bekerja; (ii) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan konvensi ILO No. 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak; (iii) dan Keputusan Kementerian Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang penanggulangan anak yang bekerja. 

Selanjutnya peraturan terbaru untuk melindungi anak-anak di Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, yang secara jelas mencantumkan bahwa anak sebagai warga negara harus dilindungi hak-haknya sebagai hak asasi manusia. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengadopsi hasil Konvensi ILO No 182, telah berusaha mengurangi pekerja anak melalui pembatasan jam kerja untuk anak. 

Hasil dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 2017, provinsi Nusa Tenggara Barat berada dalam posisi lima besar provinsi di Indonesia yang memiliki persentase anak yang bekerja. Tercatat 12,70% anak usia 10-17 tahun di Nusa Tenggara Barat pada 2017 berstatus bekerja. Angka tersebut turun 0,57 poin menjadi 12,13% pada tahun 2018. Sebagian besar dari mereka memang masih berstatus sekolah yaitu sebesar 73,81%. Hal itu dapat dimaklumi, karena pada usia 10-17 tahun seseorang masih dalam masa sekolah. 

Kalau dilihat secara persentase, mungkin kita masih ragu untuk menyatakan tinggi atau rendah angka tersebut. 12,13% anak yang bekerja di provinsi Nusa Tenggara Barat itu setara dengan 77,23 ribu jiwa. Jumlah tersebut tentu sangat fantastis. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah upaya pemerintah dalam melindungi hak anak dalam memperoleh pendidikan sudah berhasil? Jika kita tinjau lebih lanjut, ternyata hanya 5,20% anak yang bekerja di Nusa Tenggara Barat telah memiliki ijazah SMA/MA dan 0,80% anak yang bekerja sudah memiliki ijazah SMK/MAK. Artinya jika ditotal pun hanya 6,0% anak yang bekerja sudah memenuhi wajib belajar 12 tahun, sesuai dengan program yang dicanangkan pemerintah. 

Efeknya dengan ijazah atau modal pendidikan yang mayoritas tidak cukup untuk masuk ke pasar kerja, maka BPS mencatat bahwa 93,30% anak yang bekerja di provinsi Nusa Tenggara Barat bekerja pada sektor informal. Ya, seperti yang kita ketahui bersama, bahwa sektor informal di Indonesia ini masih dikenal dengan sektor yang tanpa ada jaminan yang jelas. Entah itu jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan ketenagakerjaan, dan lain sebagainya. Termasuk juga jaminan upah yang jelas. Karena pasti sebagian besar dari mereka akan dibayar sesuai dengan apa yang dia kerjakan. Artinya, ketika tidak bekerja pasti tidak akan mendapatkan penghasilan. 

Pada tahun 2018, BPS mencatat rata-rata penghasilan anak yang bekerja di provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar Rp 592.753,-. Jumlah yang tentu sangat sedikit untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, mengingat 30,16% anak yang bekerja di provinsi Nusa Tenggara Barat berstatus tidak bersekolah lagi. Artinya mereka benar- benar terjun ke pasar kerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Permasalahan terus berlanjut ketika anak yang bekerja memiliki jam kerja yang melebihi peraturan KPPPA yaitu 15 jam perminggu. Tercatat 52,25% anak yang bekerja di provinsi Nusa Tenggara Barat bekerja lebih dari 15 jam dalam seminggu. 

Artinya lebih dari setengah dari anak yang bekerja memiliki kekurangan waktu untuk bermain dan belajar dimana hal tersebutlah yang seharusnya mereka lakukan. Waktu untuk beristirahat juga pasti akan berkurang bagi seorang anak ketika 14,06% anak yang bekerja ternyata memiliki jam kerja lebih dari 40 jam seminggu. Perhatian pemerintah tentu sangat diharapkan dalam melindungi hak anak dalam bermain dan belajar. Mengajarkan anak untuk mempersiapkan diri ke dunia kerja adalah hal yang bagus. Namun, menyesuaikan kegiatan sesuai dengan tahapan umur mereka juga harus diutamakan. 

Komentar