Oleh: Dyah Tari Nur’aini, SST (Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka)
Perkawinan di usia anak akhir-akhir ini marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Orang tua memiliki peran penting terhadap kejadian tersebut, dimana mereka justru mendorong adanya perkawinan anak tersebut dengan dalih agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tak hanya itu, bahkan kerap orang tua melakukan praktik eksploiasi dan pemaksaan perkawinan kepada anaknya. Sayangnya perkawinan usia anak tidak hanya menghilangkan kesempatan anak untuk bersekolah, namun juga membahayakan kesehatan reproduksi dan melemahkan ekonomi dan sosial. Atas dasar dampak tersebut Sustainable Development Goals (SDGs) menargetkan untuk menghilangkan praktek perkawinan usia anak yang terjadi kepada sekitar 15 juta anak perempuan setiap tahunnya (Badan Pusat Statistik/BPS).
Perkawinan dimaksudkan untuk membina hubungan yang langgeng antara kedua pasangan, sehingga dalam menjalaninya dibutuhkan kedewasaan dan tanggung jawan baik secara fisik, mental, maupun ekonomi. Selaras dengan hukum agama, unsur kedewasaan dan kesiapan bagi calon pasangan pengantin juga menjadi kunci penting keberlangsungan pernikahan. Peraturan undang-undang juga mengatur batasan usia perkawinan. UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita mencapai usia 16 tahun.
UU tersebut sebenarnya dianggap menimbulkan diskriminasi antara anak laki-laki dan perempuan, dimana keduannya seharusnya memperoleh hak yang sama dalam memperoleh wajib pendidikan dasar 12 tahun. Selain itu UU tersebut bertentangan dengan UU Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Mahkamah Konstisusi (MK) sebenarnya telah menyetujui adanya pertentangan tersebut, namun sayangnya waktu tunggu revisi UU tersebut memakan waktu 3 tahun lamanya sejak 2018 akhir kemarin.
Waktu tiga tahun sangatlah disayangkan, mengingkat Indonesia bisa dikatakan darurat perkawinan usia anak. Menurut data dari United Nation Children’s Fund (Unicef) per 2017 Indonesia menduduki perigkat ketujuh angka perkawinan anak terbanyak di dunia, serta posisi kedua di Negara ASEAN berdasarkan data Council od Foreign Relation. Kondisi tersebut sudah selayaknya menjadi warning bagi pemerintah untuk melakukan upaya penurunan perkawinan anak dengan segera.
Terjadinya fenomena tersebut tidak lepas dari ketidaktahuan orang tua mengenai hukum legal, agama serta pengetahuan kesehatan dan keselamatan jiwa dari anak dan keturunan yang akan dilahirkan. Mereka menganggap pernikahan menjadi solusi untuk menghindari pergaulan bebas yang sering terjadi pada usia anak. Padahal pemberian edukasi yang baik sedari dini terkait adab pergaulan merupakan benteng utama bagi anak dalam menghindari terjadinya salah pergaulan. Lagi-lagi pengetahuan yang minim dari orang tua membuat pelajaran penting tersebut tidak diterima oleh anak.
Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 yang dilakukan BPS 5 tahun sekali,
Prevalensi pekawinan usia anak di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 23 persen, artinya satu dari lima perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. Sebanyak 3,54 persen diantaranya melakukan perkawinan di usia kurang dari 16 tahun. Jumlah perkawinan anak di pedesaan hampir sepertiga lebih besar dibandingkan daerah perkotaan, masing-masing 27,11 persen dan 17,09 persen. Mirisnya, 91,12 persen anak perempuan yang menikah sebelum 18 tahun gagal menuntaskan penddikan di jenjang SMA.
Perkawinan yang terjadi sebelum usia 21 tahun diharuskan memperoleh izin dari orang tua. Maka jelas bahwa peran orang tua menjadi sangat besar dalam keputusan menikah anaknya. Orang tua lah yang menjadi kunci utama dalam upaya penurunan prevalensi perkawinan usia anak, yakni pemberian edukasi terhadap para orang tua. Selain itu, masalah ekonomi juga menjadi pendorong terjadinya perkawinan di usia anak. Maka baik segi orang tua maupun ekonomi harus diatasi secara komperhensif.
Komentar