Oleh: Nurhidayat Syamsir (Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan UHO)
Usai menerapkan pajak untuk nasi bungkus pada beberapa rumah makan yang sudah dipasangi e-tax, kini Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang mengawasi warung-warung pempek. Tiap pembelian paket pempek, baik makan ditempat maupun bungkus dikenakan pajak 10 persen. “Pendapatan mereka tiap hari kita tahu data kongkritnya jadi nominal pajak yang kita terima valid,” kata Kepala Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang, Sulaiman Amin memantau pemasangan e-tax di Rumah Makan Pindang Simpang Bandara Pelembang, Minggu (07/07/2019) – Gelora.co.
Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengusulkan rencana pengenaan cukai plastik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Ia pun optimis penerapan cukai kantong plastik bisa dilakukan tahun ini. Jakarta, CNBC Indonesia- (2/7/2019). Usulan ini mendapat respon dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang meminta kepada pemerintah untuk menjadikan tarif cukai plastik sebagai instrumen untuk mengendalikan produksi plastik, bukan untuk menambah pendapatan Negara. “Jangan jadikan cukai plastik untuk menambal kegagalan pemerintah dalam menggali pendapatan di sektor pajak,” kata Tulus, Minggu (7/7/2019) – Bisnis.com.
Ironi Negeri Sepotong Surga, Dikit-Dikit ‘Pajak’
Masih segar dalam ingatan tentang kontainer sampah impor yang ditemukan di Batam dan Surabaya, kini gertakan pajak lagi-lagi meresahkan masyarakat. Jika kembali pada pengertian pajak, menurut KBBI- Pajak yaitu pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada Negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.
Berangkat dari definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa pajak adalah sumbangan wajib yang harus dipenuhi oleh rakyat kepada pemerintah sebagai bentuk pemenuhan fungsi retribusi pandapatan untuk menunjang pembiayaan semua kepentingan umum. Dalam Kompas.com, Sri Mulyani menyebutkan, pajak sebagai kontrak antara Negara dengan rakyatnya, ibarat tulang punggung (11/7/2019).
Realitasnya, tak sedikit masyarakat malah resah dengan kewajiban pajak ini. Tidak hanya Nasi Bungkus, bahkan Pempek, Kresek hingga Materai akan menjadi sumber pendapatan Negara. Hal ini memberikan indikasi nyata atas lemahnya pemerintah dalam memaksimalkan pengelolaan SDA yang ada, sehingga muncullah kesan bahwa kekayaan alam melimpah di Indonesia tidak mampu untuk menutupi kebutuhan rakyatnya sendiri. Alhasil, untuk menambah pundi-pundi rupiah akhirnya terjadilah pemalakan terhadap rakyat dengan dalih kewajiban bayar pajak. Miris!.
Ironi negeri zamrud khatulistiwa yang identik dengan “dikit-dikit pajak”. Negeri kaya akan sumber daya alam ternyata menjadikan rakyat sebagai objek pemalakan yang terstruktur dan sistematis. Jika pajak dinilai sebagai tulang punggung Negara, lalu penjualan aset (kekayaan alam) namanya apa?.
Kejadian ini adalah sesuatu yang lumrah di negeri dengan sistem Kapitalisme-Sekularisme sebagai ideologi Negara. Wajar saja jika kehadiran pajak dijadikan bantalan politik untuk menyulam kegagalan pemerintahan atas nama hajat publik namun sarat akan kepentingan. Paradigma kepemimpinan kapitalistik yang kandas dalam mengurus sumber daya, serta tidak menjadikan kepentingan rakyat sebagai tujuan, tetapi ajang mencari keuntungan. Ini namanya mendzolimi rakyat!.
Momen pengurusan kepentingan rakyat adalah amanah agung yang harus ditanggung seorang pemimpin. Kepemimpinan berasaskan Kapitalisme hanya akan mengantarkan pada Negara yang menyandarkan kesejahteraan dengan tolok ukur peraihan materi sebanyak-banyaknya, tidak mengutamakan kepentingan rakyat sebagai tujuan utama. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Komentar