Oleh: Susiyanti, SE (Pemerhati Sosial, Konawe, Sulawesi Tenggara)
Terjadinya banjir bukan suatu hal baru yang sering menimpa negeri ini. Tidak bisa dipungkiri lagi di saat musim penghujan tiba, di beberapa daerah di Indonesia akan mengalami banjir. Permasalan ini pun sampai sekarang belum dapat diselesaikan dengan tuntas. Khususnya di daerah yang menjadi langganan banjir.
Hal ini pun terjadi di wilayah Sultra yang telah diguyur hujan yang tak kunjung henti hingga 9 hari, menyebabkan 4 kabupaten terendam banjir di beberapa daerah Kolaka Timur, Kolaka, Konawe, hingga Konawe Utara. Adapun yang paling parah adalah di Kab. Konawe utara. Hal ini diperkuat dengan ungkapan Kepala Bidang Kedaruratan Bencana BPBD Konut Djasmuddin bahwa Jumlah pengungsi sudah mencapai 4.089 orang. Hingga saat ini, Pemda Konawe Utara sudah mengevakuasi ratusan warga yang rumahnya terendam banjir. Tidak hanya itu, sebanyak 56 rumah hanyut, sedangkan seribu lebih lainnya terendam hingga setinggi 2 meter (Liputan6.com, 10/06/2019).
Jika menilik mengenai banjir, setidaknya ada beberap faktor yang menjadi pemicunya, diantaranya: Buruknya tata ruang dengan semakin hilangnya ruang terbuka hijau dan rendahnya kepedulian lingkungan. Karena sesungguhnya Allah telah menyediakan alam ini dengan kapasitas yang tepat, termasuk dalam menampung air hujan, karena siklus air pun bersifat tetap, tidak berkurang ataupun bertambah. Sifat aliran air sudah jamak dipahami, bahwa selalu mengalir menuju tempat yang rendah, maka pada pemukiman dataran rendah harus diupayakan mekanisme penahanan air yang tepat di daerah hulu, agar tidak melimpah menggenangi daerah di bawahnya dan fungsi penahanan air oleh akar tanaman.
Selain itu, permasalahan banjir yang tak kunjung usai di negeri ini, disebabkan juga karena pihak berwenang yang kurang memperhatikan kepentingan rakyat. Mereka sibuk memperkaya diri sendiri, dan menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing. Ketika pengelolan diserahkan kepada asing tentu mereka hanya mengambil keuntungannya saja. Tidak peduli lingkungan akan rusak. Sehingga rakyat yang akan merasakan dampaknya. Sebagai contoh, banyaknya pengelolaan tambang yang berakhir pada rusaknya lingkungan. Illegal logging pun tidak ketinggalan menjadi penyebab banyaknya banjir yang menimpa negeri ini.
Sebagaimana dalam surah Ar-Rum ayat 41 yang artinya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Adapun solusi sistem Islam dalam menangani banjir adalah membangun bendungan-bendungan untuk menampung curahan air hujan, curahan air sungai dan lain-lain. Memetakan daerah rawan banjir dan melarang penduduk membangun pemukiman di dekat daerah tersebut.
Di samping itu, pembangunan sungai buatan, kanal, saluran drainase dan sebagainya yaitu untuk mengurangi penumpukan volume air dan mengalihkan aliran air, membangun sumur-sumur resapan di daerah tertentu. Selain beberapa solusi di atas, sistem Islam juga menekankan beberapa hal penting lainnya, yakni pembentukan badan khusus untuk penanganan bencana alam, persiapan daerah-daerah tertentu untuk cagar alam.
Tak kalah penting pula sosialisasi tentang pentingnya kebersihan lingkungan dan kewajiban memelihara lingkungan, kebijakan atau persyaratan tentang izin pembangunan. Pembangunan yang menyangkut tentang pembukaan pemukiman baru. Penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah dan sebagainya.
Dengan demikian, hal tersebut sulit terselesaikan, jika masyarakat dan pemerintah kurang perhatian terhadap kerusakan lingkungan dan dampak yang dihasilkan nantinya. Olehnya itu, untuk menyelesaikan masalah banjir, hanya mungkin dapat terselesaikan jika ada sinergi antara masyarakat dan pemerintah dalam menuntaskan permasalahan tersebut. Terlebih pihak berwenang yang memiliki kekuatan hukum, tentu dapat menindak tegas dan memberikan sanksi yang menimbulkan efek jera bagi pelaku yang merusak lingkungan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Komentar