Impor Pelampung Pemerintah, Petani Tenggelam

Opini256 views

Oleh: Irawati, S.P (Pemerhati Sosial)

TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan permintaan impor gula industri memang terus meningkat setiap tahunnya. Menurut dia, peningkatan volume impor itu dipicu oleh permintaan dari industri yang juga tumbuh. Namun, ia memastikan setiap kebijakan impor selalu didasari oleh kebutuhan industri dalam negeri. Menurut dia, produksi dalam negeri selain kuantitasnya tidak memenuhi kebutuhan, kualitasnya pun tidak bisa diterima oleh industri.

“Semakin lama, tuntutan masyarakat itu, mulai dari kesehatan dan lainnya, menuntut kualitas gula yang lebih tinggi,” kata Enggar, Kamis 10 Januari 2019.

Sedikit-sedikit impor, itulah apa yang sering kita dengar hari ini. Ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritik besarnya impor gula yang dilakukan dua tahun belakangan ini. Dia mengunggah infografik berupa grafik batang berjudul “Principal Sugar Importing Countries in 2017/2018” yang bersumber dari Statista (Tempo.co, 10/1/2019).

Dari grafik batang itu terlihat sepanjang tahun 2017-2018, Indonesia mengimpor gula hingga 4,45 juta ton. Volume impor gula ini tertinggi dibanding Cina (4,2 juta ton), Amerika Serikat (3,11 juta ton), Uni Emirat Arab (2,94 juta ton), Bangladesh (2,67 juta ton), dan Aljazair (2,27 juta ton). Volume gula yang diimpor Indonesia itu juga melampaui negara seperti Malaysia (2,02 juta), Nigeria (1,87 juta ton), Korea Selatan (1,73 juta ton), dan Arab Saudi (1,4 juta ton).

Tidak hanya itu, Kementerian Perdagangan menerbitkan izin impor jagung sebesar 440 ribu ton yang khusus dialokasikan untuk kebutuhan industri. Sebanyak enam perusahaan telah mendapatkan alokasi jagung impor pada semester pertama 2019. Sebelumnya, pemerintah juga telah memberikan izin impor jagung kepada Perum Bulog sebesar 130 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan pakan pada industri kecil. Impor tersebut dilakukan dalam dua tahap, yaitu 100 ribu ton pada akhir tahun 2018 dan 30 ribu ton pada awal 2019 (Katadata, 17/1/2019).

Selain mengimpor gula dan jagung pemerintah juga mengimpor beras. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pemerintah Indonesia telah melakukan impor beras sebanyak 2,25 juta ton dengan nilai US$ 1,03 miliar di sepanjang tahun 2018. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, angka impor beras pada tahun 2018 menjadi yang paling tinggi (Detik Finance, 16/1/2019)

Lagi-lagi pemerintah mencari solusi dengan mengimpor, padahal hasil panen petani mengalami surplus. Kementerian Pertanian (Kementan) berhasil mencapai target peningkatan produksi padi dan jagung yang dicanangkan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari data nasional sepanjang tahun 2018. Direktur Jenderal Tanaman Pangan Sumarjo, Gatot Irianto, meyampaikan, produksi padi tahun 2018, mencapai 83,04 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau setara dengan 48,3 juta ton beras. Nilai ini diambil masih surplus dibandingkan dengan angka konsumsi sebesar 30,4 juta ton beras. Begitu juga dengan jagung pada periode yang sama produksinya mencapai 30,05 juta ton Pipilang Kering (PK), sedangkan perhitungan kebutuhan sekitar 15,58 juta ton PK. (INews.id, 12/1/2019)

Bagi perkembangan perekonomian, aktivitas ekspor-impor merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang penting.  Impor boleh saja dilakukan pemerintah apabila ada keluhan masyarakat mengenai ketersediaan pangan yang kurang memadai. Namun, menjadi tidak wajar ketika tetap dilakukan sedangkan para petani mengaku bahwa komoditas pangan dalam negeri masih. Ini akan jatuh pada masalah yang serius. Seperti anjloknya harga hasil panen. Hal itu menyebabkan harganya dapat merosot dari ketentuan harga pembelian pemerintah (HPP). Dengan dalih ketahanan pangan, banjir impor menjadi kebijakan yang tak berpihak kepada petani, yang terjadi justru mereka tak mampu mengakses kesejahteraan.

Jika ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman dan disarankan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal, maka kebijakan impor justru mengkhianati tujuan murni ini. Swasembada pangan yang mewujudkan kedaulatan pangan bangsa pun semakin utopi. Aksesibilitas antara pangan dan rakyat semakin terhalang tembok besar impor karena kemampuan memenuhi kebutuhan bukan hanya tentang ketersediaan komoditas namun juga kondisi ekonomi rakyat termasuk para petani.

Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian di suatu negara tercermin dari kemampuan negara tersebut dalam swasembada pangan, atau paling tidak ketahanann pangan. Tugas pemerintah adalah menyelenggarakan hajat hidup masyarakat, termasuk petani sehingga kebijakan yang dikeluarkan wajib menyejahterakan petani lokal

Kebijakan impor sebagai suatu kebijakan jangka pendek memiliki dampak terhadap bangsa Indonesia khususnya petani lokal secara ekonomi maupun sosial. Dampak yang diterima bangsa Indonesia adalah pengeluaran devisa negara yang cukup besar untuk melaksanakan impor. Ini sama saja dengan pemerintah Indonesia memberikan keuntungan bagi petani negara lain, sedangkan bagi petani dalam negeri tidak.

Dengan melaksanakan kebijakan impor produk pertanian dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk pertanian luar negeri, itulah sebab petani-petani lokal kalah dan hasil panennya tak terbeli. Hal ini sangat berbahaya karena tak hanya melemahkan sektor pertanian dalam negeri tapi juga dapat mematikan sumber ekonomi petani.

Sampai sejauh ini, kita mulai memahami bahwa masifnya impor pangan yang dilakukan pemerintah, makin menunjukkan bahwa rezim saat ini tidak berpihak dan serius mengurusi rakyat. Rezim neoliberal ini memang tidak punya visi kedaulatan pangan karena masih terus menggantungkan pangan pada impor. Padahal faktanya kondisi pemenuhan pangan rakyat tak beranjak menjadi lebih baik. Begitu pula nasib para petani lokal selalu termarginalisasi oleh kebijakan yang neoliberal.

Untuk menghentikan ketergantungan pada pangan impor dibutuhkan negara yang punya visi jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis serta sistem ekonomi yang adil bukan yang pro kapitalis. Sesuatu yang tidak akan didapat dalam rezim dengan sistem yang bersumber dari manusia seperti saat ini. Namun hanya akan tercapai tatkala beralih pada sistem yang bersumber dari Sang Pencipta, yakni Islam. Dalam Islam, negara berkewajiban melindungi kepentingan warga negara dan mencegah ketergantungan kepada asing. Sistem yang memiliki ketiga hal ini hanyalah sistem Islam yang menjalankan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) di bawah naungan sebuah negara. Wallahua’lam.

Komentar