Jeratan Liberalisme dalam Film The Santri

Opini1,797 views

Oleh: Hamsina Halisi Alfatih

Setelah beberapa waktu lalu kita telah disuguhkan dengan viralnya salah satu film remaja “Dua Garis Biru“, kali ini kita bakal kembali disuguhkan film remaja tetapi dengan tema yang berbeda, yaitu “The Santri”. Bedanya, jika pada “Dua Garis Biru” mengangkat tema tentang percintaan diantara sepasang remaja yang berujung free sex maka film “The Santri” hadir dengan tema yang berbeda yaitu mengangkat kehidupan para santriwan dan santriwati dalam kehidupan sehari-hari mereka. Serta mengangkat kebudayaan Indonesia dan mengajarkan tentang toleransi.

Film “The Santri” yang diperankan oleh Gus Azmi, Wirda Mansyur, dan Veve Zulfikar diproduksi oleh sutradara Holywood asal Blitar, Jawa Timur, Livi Zheng. Film “The Santri” ini digadang-gadang bakal ditayangkan pada tanggal 22 Oktober 2019 diseluruh bioskop di Indonesia, yang bertepatan dengan Hari Santri Nasional.(https://m.timesindonesia.co.id/read/220884/20190718/002923/kisah-para-santri-di-indonesia-dikemas-dalam-film-the-santri/)

“The Santri”, film Islami bertemakan kehidupan pesantren yang diperankan oleh pemain-pemain yang tak asing di layar kaca pertelevisian maupun media sosial. Gus Azmi, Wirda Mansyur, dan Veve Zulfikar bisa dikatakan sebagai selebgram karena seringnya berwara-wiri dengan shalawatannya, maupun nasyid-nasyid yang dibawakan di akun media sosial. Ketiganya pun memiliki fans yang kebanyakan dari kalangan remaja yang begitu mengidolakan mereka. Maka hadirnya mereka bertiga dalam film “The Santri” ini begitu disambut antusias oleh para penggemarnya masing-masing.

Namun film ini ternyata mendapatkan kritikan pedas dari para netizen terutama dari kalangan anak-anak pesantren. Selain mendapatkan kritikan film ini pun mendapatkan penolakan dari beberapa aktivis, salah satunya datang dari akun Instagram @shifrunn pada Rabu (8/7/2019). Ia memposting video dengan cover depan yang memperlihatkan Wirda Mansyur, Gus Azmi, dan Veve lalu menambahkan tulisan ‘Bukan Akhlak Santri’. Meskipun trailer film ini belum tersebar, namun beberapa video yang beredar di Youtube tengah memperlihatkan keakraban antara Gus Azmi, Wirda Mansyur, dan Veve Zulfikar. Hal ini kemudian membuat geram netizen dan berharap film tersebut untuk tidak ditayangkan.

Santri, Pesantren, dan Ketaatan

Makna santri sendiri bisa disebut sebagai siswa atau murid yang dibimbing langsung oleh seorang guru ngaji yaitu kyai, ustadz/ustadzah di sebuah pondok pesantren. Berdasarkan dawuh KH. Hasani Bin Nawawie Sidogiri, “Santri adalah orang yang berpegang teguh pada Alquran dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW serta teguh pendirian”.

Sementara pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri, (Wikipedia). Ketaatan sendiri merupakan wujud kepatuhan seorang hamba kepada Allah Subhanahu wata’ala atas segala perintah dan larangan-Nya. Lalu, apa hubungan semua itu dengan film “The Santri”.

Dalam film “The Santri” justru tidak memunculkan adanya ketiga hal tersebut yaitu makna dari kata santri, pesantren maupun ketaatan. Film ini justru dikemas sedemikian rupa sehingga menjauhkan makna santri, pesantren dan ketaatan. Jika menurut sutradara film “The Santri” sendiri mengungkap bahwa film tersebut mengangkat kehidupan pesantren, lalu apakah kehidupan pesantren itu memperlihatkan adanya interaksi antara santri putri dan santri laki-laki secara langsung? Terlebih lagi bagaimana sutradara tersebut mengulas cerita kehidupan pesantren yang menjaga hubungan toleransi antar umat beragama dengan membolehkannya seorang muslim masuk ke tempat ibadah non muslim?

Maka dari itu beberapa poin yang patut dikritisi dari film “The Santri” ini adalah: Pertama, kehidupan santri disebuah pondok pesantren itu terpisah bahkan asrama mereka dipisahkan. Adapun aktifitas mereka adalah belajar ilmu agama, menghafal Alquran, muraja’ah, dan melakukan kegiatan yang lainnya tanpa adanya ikhtilat (campur baur) maupun berkhalwat (berdua-duan) dengan non mahromnya. Tetapi di film ini menampilkan hal yang justru bertolak belakang dengan kehidupan pesantren pada umumnya. Maka dari itu hal ini justru sangat tidak dibenarkan dan bahkan mencapai level pelanggaran syariat.

Kedua, adanya kesalahan fatal dari sutradara film The Santri, Livi Zheng yang ingin menghadirkan sikap toleransi umat Islam terhadap non muslim dengan mendatangi tempat peribadatan mereka. Hal ini justru sangat bertentangan dengan aqidah umat Islam itu sendiri. Dalam penggalan cerita tersebut para santri membawa nasi tumpeng untuk dipersembahkan kepada pengurus rumah ibadah yang tengah melakukan peribadatan, (https://www.genpi.co/hits-style/15685/livi-zheng-siapkan-film-baru-soal-toleransi-berjudul-the-santri).

Islam memang mengajarkan tentang toleransi, tetapi toleransi yang disajikan dalam film tersebut jelas sangat bertentangan dengan aqidah umat Islam. Sebagaimana Islam sendiri mengharamkan ketika seorang muslim mendatangi gereja selama umat didalamnya tengah melakukan ibadah.

Keharaman ini berangkat dari perkataan sahabat Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu Anhu. “Janganlah kalian memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka, karena kemarahan Allah akan turun kepada mereka”. Umar Bin Al-Khattab menyatakan bahwa akan datang kemarahan Allah, jika ada umat Muslim yang menyambangi tempat peribadatan umat lain pada saat kaum tersebut sedang merayakan hari atau upacara keagamaan mereka.

Ketiga, kemudian latar tempat syuting yang mengangkat budaya Indonesia, yang berlokasi disalah satu Candi di Indonesia, alih-alih ingin menghadirkan kebudayaan Indonesia tapi justru kemaksiatan yang dipertontonkan disana dengan adanya ikhtilat antar kru maupun pemainnya.

Inilah beberapa sentilan dari film “The Santri” yang sangat jauh dari maknanya. Film yang seharusnya mengangkat kehidupan santri yang sebenar-benarnya namun justru menghadirkan kebebasan yang melanggar aturan Islam. 

Wajar saja bila penampakan ini harus kita saksikan, faktanya pun tak bisa kita hindari bahwasanya sutradara film tersebut bukanlah seorang Muslim dan bukan seorang lulusan pesantren. Terlebih lagi film ini adalah pesanan dari salah satu pengurus organisasi Islam di negeri ini. Maka wajar pula bila film tersebut lebih banyak mengahadirkan kebebasan yang kebablasan hingga syariat Islam pun tak dipandang sebagai aturan.

Oleh karena itu, ketika Islam semakin dijauhkan dari segala aspek kehidupan maka kebebasan akan senantiasa menjamur meskipun dikalangan para santri. Tak hanya itu hal ini pun kemudian dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk menjaring keuntungan dengan mempolitisasi agama dalam dunia perfilman.

Maka dari itu, pentingnya menerapkan Islam sebagai jalan untuk ‘memberangus’ kebebasan tersebut agar tak ada lagi politisasi dalam agama maupun dalam kehidupan pesantren meskipun dikemas dalam sebuah film.

Wallahu a’lam bi ash shawwab

Komentar