Karhutla: Rakyat Selalu Jadi Korban

Opini190 views

Oleh: Ulfah Sari Sakti,S.Pi (Jurnalis Muslimah Kendari)

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Pulau Kalimantan telah menjadi hal yang biasa bagi masyarakatnya. Saking biasanya, menurut teman saya yang tinggal di Pulau Borneo ini, ada hari-hari tertentu dimana terpaksa anak sekolah dan pegawai kantoran diliburkan karena dianggap kepulan asap membahayakan kesehatan. Mereka biasa menyebutya hari libur asap.  

Terkhusus tingkat keparahannya, Karhutla hebat pernah terjadi di Riau dan Kalimantan pada tahun 1997 lalu. Dampaknya amat parah, termasuk jatuhnya pesawat dan efek asap yang sampai ke negara-neara tetangga bahkan hingga ke Australia. Di tahun 2019, citra satelit pantauan BMKG menunjukkan, asap terdeteksi di wilayah Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, hingga Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur bahkan sampai ke wilayah Malaysia dan Singapura. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang tahun 2019, luas Karhutla di Indonesia mencapao 328.722 hektar.

Dilaporkan Liputan6 (23 Juni 2004), kejadian pada 1997 itu diyakini disebabkan oleh ulah para pemilik perkebunan yang membakar lahan dan hutan untuk membersihkan areal perkebunan sebelum memasuki musim tanam.  Kebakaran sulit dipadamkan karena titik api berada di bawah permukaan tanah. Menurut investigasi WALHI, dikutip dari Kebakaran Lahan Rawa/Gambut di Sumatera : Masalah dan Solusi (2003) Suntingan Suyanto dam Kawan-Kawan, hal ini justru disebabkan oleh kebijakan pertanian dan pemerintah saat itu.  

Pada bencana Karhutla yang terjadi pada tahun 2019 ini, KaPOLRI Jenderal Tito Karnavian menemukan kejanggalan terhadap pola kebakaran hutan di Riau.  Kejanggalan ini ditemukan saat Tito memantau lokasi kebakaran hutan di Kerumutan Kabupaten Pelalawan Riau dengan menggunakan helikopter.  

Dikutip dari siaran pers BNPB, dari pengamatan KaPOLRI, areal yang kebakaran hanya hutan saja, sedangkan areal kebun sawit dan tanaman lainnya tidak terbakar.  Kemudian, Kepala BNPB mendapatkan laporan dari Bupati Pelalawan bahwa 80 persen wilayah Karhutla selalu berubah menjadi lahan perkebunan sawit atau tanaman indutri lainnyak (liputan6.com, /9/2019).

Atas Karhutla yang terus terjadi di Kalimantan, Mahkamah Agung memvonis Presiden Joko Widodo melanggar hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan ajukan Peninjauan Kembali (PK). Dalam kasus ini, salah satu penggugat, Arie Rompas mengatakan salah satu kewajiban yang harus segera dieksekusi pemerintah adalah mengumumkan perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran hutan. Selain itu, hal yang perlu segera dilaksanakan adalah pembangunan rumah sakit paru di Kalimantan Tengah dan juga mewajibkan masyarakat korban asap mendapatkan pembiayaan gratis. (BBCNewsIndonesia, 20/7/2019).

Masyarakat yang Selalu jadi Korban Karhutla

Berbeda dengan para pemilik perusahaan-perusahaan (korporasi) yang melakukan pembakaran hutan, bebas meninggalkan Riau dan Kalimantan pasca Karhutla, masyarakat tidak ada pilihan lain untuk tetap bertahan di daerah, sehingga mau tidak mau harus menghirup udara yang telah tercemari racun asap. Hal yan sangat memilukan, bayi 4 bulan di Sumsel meninggal diduga sesak napas akibat asap. Bayi tersebut bernama Elsa Fitaloka, “Ada bayi meninggal dunia sekitar pukul 18.35 WIB ketika dirawat di rumah sakit. Menurut analisa awal akibat ISPA,” ucap anggota BPD Dusun III, Talang Buluh, Banyuasin, Agus Darwanto. (detiknews.com/15/9/2019).

Penanganan Karhutla Butuh Solusi Komprehensif 

Mengingat bahaya yang ditimbulkan dari Karhutla, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa, bakar hutan haram hukumnya. “Al Qur’an menyatakan bahwa  kami tidak diperbolehkan untuk merusak lingkungan. Dan pembakaran hutan menyebabkan kerusakan tidak hanya bagi lingkungan, tetapi juga untuk kesehatan masyarakat-hingga negara tetangga,” ujar Huzaimah Tahido Yanggo, Kepala Dewan Fatwa MUI. Fatwa terdiri dari 6 poin diantaranya memfasilitasi, membiarkan dan atau mengambil keuntungan dari pembakaran hutan dan lahan hukumnya haram. (dw.com/14/9/2019).

Sebagai umat muslim yang taat syariat, tentunya Fatwa MUI ini merupakan suatu hal yang tidak boleh disepelekan, lain halnya jika para pemegang kebijakan di pusat dan daerah menganut sistem kapitalis-sekuler.  Perlu diingat seorang pemimpin muslim yang taat syariat tentunya akan mengelola lahan sesuai hukum-hukum Allah swt, karena dirinya menyadari bahwa segala sesuatu yang berada di langit dan bumi adalah milik Allah swt.  Sebagaimana HR Abu Dawud dalam Ahmad, Rasulullah saw bersabda “Kaum muslim  berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api”.  Olehnya itu pengelolaan Hutla (hutan dan lahan) haruslah oleh negara, bukan korporasi karena kepemilikannya bersifat umum.

Dalam Islam, korporasi dapat diberikan hak pengelolaan lahan pertanian asalkan pengelolaannya sesuai syariat dan tidak diberikan hak seluas-luasnya untuk mengelolanya, layaknya pengelolaan oleh korporasi yang terjadi seperti saat ini.  Terkhusus pengelolaan bagi masyarakat, negara memberikan kesempatan kepada tiap-tiap masyarakat untuk mengelola lahan pertanian, tetapi apabila selama 3 tahun lahan tersebut diterlantarkan maka negara berhak untuk mengambil alih lahan itu untuk kemudian diberikan kepada individu masyarakat lain yang mampu mengelolanya.

Melihat pengelolaan hutan dan lahan saat ini yang selalu berdampak pada kerugian masyarakat, maka sudah selayaknya berbagai elemen bangsa dan negara ini menerapkan syariat Islam, sehingga tidak ada lagi Karhutla-Karhutla lain di tahun-tahun yang akan datang. Wallahu’alam bishowab.

Komentar