Oleh: Fitri Suryani, S.Pd (Guru SMAN di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara)
Kabar tentang kasus suap, seolah tak habis dalam pemberitaan. Bak cendawan yang makin bersemi di musim hujan. Pelakunya pun nyaris dari semua golongan. Mulai kelas kakap hinga kelas teri.
Tengok saja kasus jual beli jabatan rektor salah satu universitas di Jakarta belakangan ramai dibicarakan, dan merembet dari kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama yang menjerat Romi sebagai tersangka di dalamnya.
Sejauh ini, KPK baru menetapkan tiga orang tersangka. KPK menetapkan Ketum Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP), M Romahurmuziy sebagai tersangka. Anggota Komisi XI DPR RI tersebut diduga terlibat kasus jual-beli jabatan di Kementeriaan Agama (Kemenag).
Romi ditetapkan tersangka bersama dua orang lainnya yakni, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik, Muhammad Muafaq Wirahadi dan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenag Provinsi Jawa Timur (Jatim), Haris Hasanuddin.
Dalam perkara ini, Muafaq Wirahadi dan Haris Hasanuddin diduga telah menyuap Romi untuk mengurus proses lolos seleksi jabatan di Kemenag. Adapun, Muhammad Muafaq mendaftar untuk posisi Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik. Sedangkan Haris, mendaftar sebagai Kakanwil Kemenag Provinsi Jatim (Okezone.com, 22/03/2019).
Romy pun mengatakan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa pernah merekomendasikan Haris Hasanuddin dipilih menjadi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Kantor Agama Provinsi Jawa Timur (Tempo.co, 22/03/2019).
Sementara itu, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa membantah pernyataan mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy yang menyebut dirinya ikut merekomendasikan Haris Hasanudin sebagai Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur (Kompas.com, 23/03/2019).
Menilik Persoalan Suap
Persoaalan suap di negeri tercinta ini nampak makin memprihatinkan saja. Bagaimanan tidak, catatan akhir tahun 2017 yang dirilis KPK menyimpulkan kasus suap tetap mendominasi perkara korupsi yang ditangani lembaga ini. Tercatat, ada 93 perkara suap yang ditangani KPK di 2017. Jumlah ini meningkat dari 79 kasus pada 2016 (Tirto.id, 28/12/2017).
Demikian juga Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan pada tahun ini tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi adalah penyuapan. Total tercatat ada 152 kasus yang sudah ditangani (Okezone.com, 19/12/2018).
Dari kasus tersebut, tentu tak bisa disalahkan jika kepercayaan masyarakat kepada para pejabat mulai luntur. Karena sikap mereka belum mampu memberikan contoh yang baik. Apalagai kasus suap telah menjangkit dihampir semua departemen, tak terkecuali Kementerian Agama. Padahal kementerian tersebut dikenal sebagai kumpulan orang-orang yang paham agama. Dengan kata lain, apa yang mereka lakukan selalu mencerminkan ketaatan kepada Tuhannya. Sayang hal tersebut hanya isapan jempol?
Selain itu pula, orang-orang yang menduduki jabatan dari hasil suap memungkinkan kurang memiliki kopetensi yang mumpuni dalam bidang tersebut karena diperoleh dengan cara yang tak sehat.
Disamping itu pula, bagaimana mungkin mereka akan memegang amanah dengan baik, jika jabatannya diperoleh dari hasil yang tak semestinya? Tak menutup kemungkinan pula oknum-oknum tersebut akan melakukan hal yang serupa, saat ada orang yang ingin mendapatkan jabatan dengan cara cepat dan mudah.
Lebih dari itu, hal tersebut terjadi karena adanya peluang yang memungkinkan seseorang melakukan tindakan suap dan hal itu pula tidak mungkin dilakukan jika hanya orang per orang. Dengan kata lain, tindakan itu dilakukan secara terstruktur dan terencana yang melibatkan tak hanya satu orang saja.
Kacamata Islam Tentang Suap
Ada beberapa penjelasan ulama tentang makna risywah (suap) diantaranya Ibnul Atsîr rahimahullah berkata, “Risywah (suap) adalah sesuatu yang menghubungkan kepada keperluan dengan bujukan”. (Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/219).
Dalam Islam pun perkara suap tentu telah jelas hukumnya. Sebagaimana dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasûlullâh bersabda, “Laknat Allâh kepada pemberi suap dan penerima suap”. (HR. Ahmad, no. 6984; Ibnu Majah, no. 2313. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani dan syaikh Syu’aib al-Arnauth).
Selain itu, harus menjadi perhatian juga bahwa risywah (suap) tetap haram dan tidak menjadi halal hanya dengan diubah namanya. Karena tak sedikit orang melakukan atau meminta risywah (suap), tetapi disebut dengan hadiah, sedekah, hibah atau lainnya, maka hal itu tetap saja haram. Sesungguhnya istilah-istilah tersebut tidak mengubah kenyataan yang sebenarnya.
Disamping itu, memberi suap untuk mendapatkan jabatan hakim atau kekuasaan wilayah (kepala desa, bupati, gubernur, presiden, anggota legislatif, atau jabatan lainnya), hukumnya haram bagi pemberi dan penerimanya. (Lihat al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/222).
Adapun aturan yang diterapkan dalam institusi Islam, untuk mencegah suap yaitu: Pertama, adanya Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Kedua, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Ketiga, ketakwaan individu. Keempat, amanah. Kelima, menetapkan aturan haramnya suap. Lebih dari itu, hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Demikianlah cara yang dilakukan oleh institusi Islam untuk membuat jera pelaku suap dan mencegah orang lain berbuat hal yang serupa.
Dengan demikian, hal tersebut tentu saja tidak mungkin terealisasi jika aturan yang diterapkan bukan bersumber dari Allah swt. Olehnya itu, hanya dengan penerapan aturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, barulah Islam rahmatan lil ‘alamin dapat dirasakan oleh semua umat. Wallahu’alam bi ash-shawab.
Komentar