Ketika Demokrasi Membungkam Suara Kritis

Opini291 views

Oleh: Ayu Oktaviani Kursia (Mahasiswi FTI USN Kolaka)

RMOL. Kemerosotan fungsi dan peran pers menjadi catatan dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2019, yang puncaknya diperingati tanggal 9 Februari di Surabaya, Jawa Timur.

Wakil Sekretaris Departemen dalam Negeri Partai Demokrat, Abdullah Rasyid menilai sebagai pilar demokrasi, pers sudah mulai doyong dan hampir roboh.

“Pers atau media mainstream lebih menjadi corong penguasa yang mengobral janji-janji dan kebohongan,” ujarnya dalam keterangan  tertulis yang diterima redaksi, Senin (11/2).

Menurutnya, di tahun politik ini berita-berita anti penguasa hampir tidak mendapat tempat. Jikapun dimuat sudah berubah lunak bahkan jauh dari realita di lapangan.

“Masih segar diingatan kita Reuni 212 Desember 2018 lalu. Hampir semua pers mainstream seperti mati rasa dan hilang akal sehat,” Kata Rasyid memberi contoh.

Lebih lanjut, dia menyoroti peringkat kebebasan pers Indonesia yang berada di posisi 124 versi Reporters Withoit Borders (RSF) yang dirilis 25 April lalu. Posisi ini jauh dari negara yang baru lahir seperti Timor Leste (95) dan negara yang masih  penuh konflik, Afghanistan (118).

“Keperihatinan ini ditambah para aktivis yang sering bersuara di media sosial ditangkapi dengan tuduhan –tuduhan tanpa punya alasan hukum yang jelas. Dulu ada Raden Nuh dan Ogen, sekarang Ahmad Dhani  serta Buni Yani,” tegasnya.

“Aturan karet untuk membungkam diterapkan (hate speech) dan pidana pada UU ITE,” sambung Rasyid. Dia berharap dari catatan-catatan tentang HPN 2019, pers Indonesia bisa kembali  berdaya dan menjadi sumber  berita dan edukasi. “Tidak menjadi alat untuk meracuni pikiran dan nurani rakyat,” pungkasnya.

Inilah dampak sistem hari ini dimana kekuasaan yang berbicara, hanya orang-orang yang mempunyai kuasa yang maha benar, bahkan cahaya di depan mata mereka menganggapnya gelap dikarenakan meraka selalu haus akan kekuasaan.

Demokrasi, Biang Masalahnya

Itulah hasil dari demokrasi setelah mencampakkan Allah, kejahatan demokrasi berikutnya yang pasti terjadi adalah penjajahan. Mengapa? Awalnya demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membuat aturan dan memilih pemimpin yang mereka kehendaki. Namun kenyataannya yang terjadi adalah sekelompok kecil rakyat yang memiliki uang dan kekuasaan melakukan berbagai rekayasa, sampai semua aturan dan pemimpin selalu mengabdi kepada kepentingan mereka. Atau dengan kata lain yang terjadi adalah penjajahan sebagian kecil rakyat terhadap sebagian besar lainnya.

Kezhaliman akibat penjajahan ini sudah lama disadari oleh mereka yang hidup di negara kampiun demokrasi Amerika Serikat. Pada bulan September 2011 lalu terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran dengan tuntutan Occupy Wall Street dikota-kota AS. Para demonstran menyuarakan protes mereka kepada Wall Street yang dianggap tamak.

Para demonstran membeberkan data, 40 persen kekayaan AS dikuasi oleh 1 persen saja, yaitu para konglomerat. Sementara 99 persen rakyat AS harus rela mengais-ngais memperebutkan 60 persen sisanya. Itulah sebabnya poster-poster para demonstran bertulis “We’re the 99%”. Mereka memprotes sistem yang memberikan peluang bagi 1 persen untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya, dan membiarkan 99 persen lainnya terkapar tak berdaya.

Bagaimana pun juga rakyat kondisinya beragam; ada yang miskin, berkucupan, kaya, bahkan sangat kaya sampai menguasai industri media dan industri strategis lainnya. Ketika demokrasi membuka pintu seluas-luasnya kepada rakyat untuk menentukan jalannya negara, sangat mudah ditebak kelompok yang sangat kaya tadi tidak akan tingal diam. Mereka akan terus berusaha untuk menjaga dan mengembangkan kepentingannya. Akhirnya demokrasi berubah total dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan konglomerat.

“You can’t have three wolves and one sheep voting on what to have for dinner. (Anda tidak bisa melakukan voting yang terdiri dari tiga srigala dan satu domba untuk menentukan hidangan makan malam.) –Anonim

Jauh sebelum terjadinya Occupy Wall Street, cacat lahir demokrasi sudah disadari bahkan oleh pemimpin mereka sendiri. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) boleh saja mengatakan demokrasi adalah “from the people, by the pople, and for the people”. Tapi sebelas tahun setelah Lincoln meninggal, Presiden Rutherford B. Hayes pada tahun setelah 1876 mengatakan kondisi di Amerika Serikat saat itu adalah “from company, by company, and for company”.  Dengan kata lain, demokrasi telah menampakkan wujud aslinya, yaitu sistem politik dari konglomerat. Inilah wajah demokrasi yang sesunguhnya.

Kembali Kepada Islam

Tentu saja tidak, hanya orang-orang dungguh yang masih ingin hidup dibawah naungan demokrasi, sekarang saatnya kita mengembalikan sistem yang di dalamnya mengambil aturan-aturan Allah SWT.

Ketika kita berlepas diri dari demokrasi, maka cepat atau lambat bangunan peradaban sekuler akan runtuh. Karena seluruh bangunan peradaban sekuler; ekonomi, politik, pendidikan, peradilan, dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat yang menjadikan suara mayoritas sebagai sumber hukum. Ketika prinsip kedaulatan rakyat tersebut sirna, maka seluruh bangunan di atasnya akan ikut sirna pula. Seperti sebuah gedung bertingkat yang runtuh sampai rata dengan tanah, karena fondasinya diruntuhkan terlebih dahulu. Tentu setelah hancurnys peradaban sekuler, kita harus membangun peradaban baru yaitu peradaban Islam. Mari kita mulai dari pengertian agama Islam.

Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya sendiri, dan manusia dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan Allah diantaranya meliputi akidah dan hukum-hukum ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi hukun-hukum pakaian, makanan, minuman dan akhlak. Hubungan manusia dengan sesamanya meliputi hukun-hukum muamalah seperti sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem peradilan, sistem pergaulan, inilah gambaran Islam yang Kaffah. Dan peradaban Islam tegak di atas tiga pilar ini.

Namun sekularisme telah melucuti pilar muamalah (politik), akibatnya hanya menyisakan Islam sebatas ibadah ritial dan akhlak semata. Untuk bisa mengembalikan Islam kaffah, maka Islam harus kembali difahami dan diamalkan tidak sebatas ibadah-akhlak, tapi juga politik, ekonomi, pendidikan, militer dan hukum-hukum muamalah lainnya. Di samping itu kita juga harus memahami dengan asas, standard dan prinsip apa peradaban Islam dibangun.

Peradaban sekuler dibangun dari asas akal manusia semata, berbeda dengan peradaban Islam dibangun dari akidah Islam yang berdasarkan wahyu Allah. Jika sistem demokrasi asasnya sekuler yakni, pemisahan agama dengan negara, namun peradaban Islam dibangun atas akidah Islam yang menyatukan agama dengan negara yakni mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Jika sistem demokrasi tolok ukur perbuatannya adalah manfaat dan mudharat, namun sistem Islam tolok ukur perbuatannya adalah halal dan haram. Begitu pula jika sistem demokrasi adalah kehendak mayoritas manusia, berbeda dengan sistem Islam yang sumbernya adalah wahyu Allah SWT. Alhasil, berdasarkan asas Islam inilah seluruh bangunan peradaban Islam dibangun; di antaranya sistem ekonomi, politik, pendidikan, peradilan, pergaulan, dan lain-lainya. Wallahu A’lam.

Komentar