Kezaliman BPJS Akibat Demokrasi Neoliberalisme

Opini530 views

Oleh: Khusnawaroh

Sungguh bahagia terpancar diwajah mereka, para anggota kabinet Indonesia Maju. Pembagian jatah kursi pun telah usai dan tersusunlah infografis Kabinet Indonesia Maju. Sebagaimana slogannya, kabinet ini diharapkan mampu memajukan kesejahteraan Indonesia. Namun sangat disayangkan seiring dengan itu rakyat tercengang dengan berita sebagaimana yang dilansir : 

JAKARTA, KOMPAS.com – Mulai 1 Januari 2020, iuran BPJS Kesehatan naik hingga lebih dari dua kali lipat. Kenaikan ini disinyalir sebagai akibat kinerja keuangan BPJS Kesehatan yang terus merugi sejak lembaga ini berdiri pada 2014. Kenaikan premi BPJS Kesehatan ini diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani pada 24 Oktober 2019.

Dalam Pasal 34 beleid tersebut diatur bahwa kenaikan iuran terjadi terhadap seluruh segmen peserta mandiri kategori pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP).

Adapun besaran iuran yang harus dibayarkan yaitu Rp 160.000 untuk kelas I dari sebelumnya Rp 80.000, sedangkan pemegang premi kelas 2 harus membayar Rp 110.000 dari sebelumnya Rp 51.000. Sementara itu, kelas 3 sedikit lebih beruntung karena kenaikan yang dialami lebih kecil, yakni dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menilai, kenaikan iuran ini sebenarnya merupakan cara pemerintah untuk berkolaborasi dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan kesehatan yang prima.

Dengan kenaikan ini, masyarakat yang sehat dan memiliki kemampuan lebih, dapat membantu masyarakat yang sakit dan yang lebih membutuhkan.”Sebab kala orang iuran BPJS itu kan untuk dirinya sendiri. Yang tidak miskin itu untuk dirinya sendiri. Andai kata dirinya tidak memerlukan, sehat terus, juga untuk menolong orang lain. Artinya BPJS itu bentuk layanan sosial baik dari pemerintah maupun masyarakat,” kata Ma’ruf di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (1/11/2019).

Wajah Indonesia sepertinya tak jauh beda dari sebelumnya, pemilihan mentri dan wakil mentri tak lebih  sekedar berbagi kepentingan dan kue kekuasaan sebagai konsekwensi transaksi politik atas pemenangan pilpres 2019.  Miris para penguasa beriang gembira menikmati manisnya jabatan kekuasaan, disisi lain rakyat kecewa di hadapkan dengan kabar yang tidak membuat mereka bahagia. Betapa tidak, pemerintah melalui kementrian keuangan mengusulkan kenaikan iuran BPJS mulai 1 januari 2020. Kenaikannya mencapai 100 persen. Dengan alasan kenaikan ini adalah untuk menutupi keuangan BPJS kesehatan yang terus mengalami defisit.

Dimana letak kesejahteraan rakyat ?

Keinginan rakyat untuk diberikan perlindungan kesehatan hanyalah “mimpi “sebab untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari negara, masyarakat harus membayar iuran kesehatan wajib bulanan. maka pada dasarnya tak ada jaminan dari pemerintah, karena rakyat sendiri yang membayarnya, demi mendapatkan pelayanan apalagi dengan kenaikan lebih dari dua kali lipat. Walaupun BPJS itu disebut sebagai bentuk sosial dari pemerintah maupun masyarakat dengan mengambil slogan ” gotong royong ” namun itu semua pada faktanya adalah bentuk pemerasan  kepada rakyat. Sehingga keputusan pemerintah ini pun menuai banyak kritik dari masyarakat, ditengah beban hidup yang kian berat menaikkan Iuran BPJS ini di anggap tidak tepat.

Pernyataan mengejutkan datang dari kader PDIP. Anggota Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning mengkritik kebijakan kenaikan tarif iuran BPJS. Menurut Wasekjen PDIP ini, kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100% akan membuat masyarakat menjerit.

Bahkan kebijakan yang telah disetujui Presiden Joko Widodo ini layaknya bentuk pemerasan kepada rakyat. Pernyataan sangat mengejutkan itu disampaikan Ribka di Gedung Nusantara I, Kompleks DPR RI, Senayan, Rabu (6/11/2019). “Elu karena enggak masuk PBI karena yang sehat membantu yang sakit tapi dipaksakan satu keluarga (membayar). Itu namanya pemerasan, bukan gotong-royong, apalagi naik 100%,” ujar Ribka, seperti dilansir RMOL.com.

Sehingga, memang sungguh ironis ketika kemelut persoalan defisit keuangan yang dialami oleh BPJS kesehatan, dibebankan kepada rakyat yang tengah bergelut dengan berbagai problema ekonomi saat ini. Di sisi lain benar bahwa sebagian masyarakat telah merasakan keberadaan BPJS, Tidak dipungut bayaran meski untuk kasus – kasus berat seperti  Operasi, perawatan ICU dll. namun tidak semua peserta merasakan manfaat tersebut. Bagi yang sakit mungkin akan sangat membantu, tetapi bagi yang tidak sakit tidak akan mendapatkan apa -apa sementara Iuran harus tetap wajib bayar. bahkan jika telat akan kena denda. Ini sejatinya menunjukkan kegagalan pemerintah dan lembaga penjamin dalam memenuhi hajat hidup kesehatan masyarakat. Dan keberadaan BPJS diduga merupakan bentuk lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam mengurus urusan rakyatnya dalam bidang kesehatan.

Inilah bahayanya sistem sekuler demokrasi yang sejatinya merupakan sistem negara korporasi  dimana negara menjadikan layanan kesehatan yang seharusnya hak mendasar umat, hak umat sebagai lahan bisnis.

 Negara Dibawah Korporasi

UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menunjukkan bahwa konsep yang diadopsi sebenarnya bukan jaminan kesehatan, melainkan konsep asuransi kesehatan.

Keberadaan iuran wajib yang harus dikeluarkan oleh masyarakat setiap bulan menempati posisi premi asuransi. Artinya, masyarakat sendiri yang menanggung biaya kesehatan secara kolektif, bukan negara. Negara tunduk di bawah korporasi BPJS. Atas kondisi defisit BPJS, untuk menutupinya pemerintah saat ini tengah menyiapkan peraturan berupa Instruksi Presiden untuk para penunggak iuran BPJS Kesehatan.

Anehnya, pemerintah tidak pernah meminta pertanggungjawaban kepada BPJS atas kegagalan lembaga asuransi ini dalam mengelola dana layanan kesehatan masyarakat. Justru sebaliknya masyarakat yang menjadi korban atas masalah defisit tersebut. Kezhaliman telah nampak, Tidak puas dengan kenaikan BBM , pajak, mahalnya biaya pendidikan, saat ini berusaha untuk memeras keringat rakyat. Kesehatan bukanlah barang ekonomi yang memiliki harga sehingga bisa diperjualbelikan kepada masyarakat.

Kezaliman BPJS dipandang wajar dalam sudut pandang sistem demokrasi neoliberalisasi yang berasaskan sekulerisme, tidak ada hukum halal haram, pahala dan dosa bagi pelaku kezhaliman, Demokrasi melalui legislasi parlemen menjadi dalih legalitas suatu produk undang- undang zalim. Nurani rakyat sama sekali tidak digubris/ di anggap. Demokrasi – Neoliberalisme telah menghapus rasa kasih sayang antara pemimpin, wakil rakyat kepada rakyat. 

Allah swt berfirman:

“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” [QS. Asy-Syuuraa : 42].

Rosulullah Saw. bersabda: 

sungguh jabatan ini adalah amanah , pada hari kiamat nanti , Jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan. kecuali bagi orang-orang yang mengambil jabatan itu dengan hak dan menunaikan amanah itu yang menjadi kewajibannya. (HR. muslim).

Islam Memandang

Islam mempunyai pandangan yang khas tentang pelayanan kesehatan, sebab Islam adalah sistem kehidupan sempurna yang berasal dari Allah swt sang pencipta. sehingga islam bukan sekedar mengatur ritual tapi semua aspek kehidupan. termasuk masalah pemenuhan kesehatan rakyat. Dalam islam kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar yang menjadi kewajiban negara, kemaslahatan dan fasilitas publik wajib disediakan oleh negara secara cuma- cuma, sebagai bagian dari pengurusan negara atas rakyatnya .

Sabda rosulullah saw : “pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya yang dia urus.” (HR. Al bukhari).

Negara dilarang menarik harganya kepada masyarakat walau sedikit, sebab negara dan pemerintah adalah raa’in, pelayan umat penyelenggara urusan publik. Adapun sumber pendanaan secara penuh diambilkan dari Baitul maal, bukan dengan pemalakan dana umat, maupun asuransi kesehatan . 

Pada masa Rasulullah SAW, delapan orang dari Urainah datang ke Madinah menyatakan keislaman dan keimanan mereka. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa. Nabi SAW kemudian memerintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik baitulmal di Dzi Jidr arah Quba’, tidak jauh dari unta-unta baitulmal yang digembalakan di sana. Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih.

Selain itu terdapat juga kisah pada masa umar bin khatab disebutkan oleh Zaid Bin Asam bahwa kakeknya pernah berkata, ” aku pernah sakit parah pada masa khalifah Umar Bin Khattab lalu khalifah umar memanggil seorang dokter untukku, doktet itu menyuruhku diet.(memantang makanan yang membahayakan ) hingga aku harus menghisap biji kurma saking kerasnya diet itu. (Hr. Al hakim dalam Al mustadrak).

Kedua riwayat diatas menunjukkan pelaksana tanggung jawab penguasa kepada rakyatnya dengan menyediakan layanan kesehatan secara cuma- cuma, maka seharusnya demikian tanggung jawab yang harus diberikan oleh penguasa kepada rakyatnya, menyediakan layanan kesehatan secara gratis. Tanpa membedakan kaya dan miskin, sehingga jaminan kesehatan dalam islam ada empat sifat : 

Pertama : universal tidak mengenal perbedaan kelas, kedua : bebas biaya atau gratis. ketiga : seluruh rakyat dapat mengasesnya dengan mudah. keempat: pelayanan mengikuti kebutuhan medis tidak dibatasi oleh kelas.

Dan biayanya dapat diperoleh dari sumber- sumber pemasukan negara yang ditentukan syariah, diantaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan ,berbagai macam tambang, minyak ,gas dan dari sumber- sumber yang lain yang dibenarkan syariat, semua sumber dana ini lebih dari cukup  untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas pada rakyat. Oleh karna itu dalam Islam harta milik umum haram dimiliki oleh individu atau swasta. 

Itulah kesempurnaan sistem islam yang telah terbukti berjaya memimpin dunia 1300 tahun lamanya, jangan ada keraguan dalam hati,  bahwa kita semua membutuhkannya untuk kesejahteraan hidup kita di dunia maupun diakhirat nanti.

wallahua’lam bissawab.

Komentar