Khilafah, Negara Keadilan Sejahtera

Opini2,165 views

Oleh: Meto Elfath (Ketua Umum LDK-UPMI IAIN Kendari 2013-2014)

Ketika seruan penegakan Khilafah makin menggema sebagai solusi atas carut-marutnya kehidupan dibawah belenggu sistem kapitalisme-demokrasi, pun setelah sebelumnya nestapa dalam cengkeraman sistem sosialisme-komunisme, kini timbul berbagai pertanyaan realistis untuk menguji keabsahan dan kelayakan negara Khilafah dalam memberikan solusi ideal. Diantara pertanyaan itu adalah “Bagaimana Khilafah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi?” Simak uraian singkatnya!

Setiap orang mendambakan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan ekonomi dalam dirinya. Karena itu, negara diharapkan hadir untuk menjamin terwujudnya keadilan dan kesejahteraan setiap individu rakyatnya. Bahkan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan merupakan cita-cita setiap negara.

Negara ideal ialah negara yang adil dan sejahtera. Sebaliknya, sebuah negara disebut negara gagal ketika tidak mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Pada gilirannya, negara yang gagal akan cenderung diwarnai oleh gejolak dan resistensi ditengah-tengah masyarakatnya.

Hanya saja, indikator keadilan dan kesejahteraan ekonomi sebuah negara bersifat relatif, dipengaruhi oleh pandangan sistem ekonomi tertentu yang diadopsi. Negara yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme, memiliki indikator yang berbeda dengan negara sosialisme. Demikian juga, negara Khilafah Islamiyah yang mengadopsi sistem ekonomi Islam memiliki indikator yang berbeda dengan negara kapitalisme maupun sosialisme.

Kapitalisme dan Sosialisme, Gagal!

Indikator keadilan ekonomi bagi negara kapitalisme adalah ketika individu dibiarkan bebas tanpa batas menguasai harta kekayaan melalui mekanisme pasar bebas. Jadi, keadilan ekonomi dimaknai jika setiap individu dibiarkan bersaing secara bebas untuk memiliki sesuatu tanpa intervensi negara, seumpama pertandingan tinju tanpa batasan kelas yang dilepas dalam satu ring arena tinju.

Adapun kesejahteraan ekonominya dihitung dengan rumus rata-rata atau Gross National Product (GNP) perkapita, yaitu produk nasional yang dibagi dengan jumlah penduduk dalam satu tahun. Angka rata-rata (GNP) inilah yang dianggap sebagai tingkat kesejahteraan masyarakat. Pertanyaannya, benarkah angka rata-rata (GNP) itu menunjukkan kenyataan tingkat kesejahteraan riil di masyarakat? Kenyataannya tidak. Sebab itu hanyalah angka rata-rata yang menipu.

Contoh sederhana, jika ada dua orang penduduk, satu orang pertama memiliki penghasilan Rp. 100 juta per-tahun, dan orang yang ke-dua dengan pendapatan Rp. 2 juta per-tahun, maka nilai rata-rata pendapatan per-tahun dari kedua penduduk itu adalah Rp. 51 juta per-tahun. Menurut kapitalisme, negara seperti ini sudah sejahtera. Padahal kenyataannya tidaklah demikian, sebab yang sejahtera hanyalah satu orang, sementara yang satunya lagi hidup dalam kekurangan.

Jadi, ukuran kesejahteraan dalam negara kapitalisme sangat menipu dibalik fakta kesenjangan ekonomi rakyatnya, sebagaimana fakta negara-negara dunia sekarang, termasuk Indonesia.

Berbeda dengan kapitalisme, negara Sosialisme-Komunisme menetapkan indikator keadilan ekonomi melalui sistem komando, dimana seluruh aset produksi dan kepemilikan dikuasai oleh negara, tidak boleh ada rakyat yang menguasai aset produksi kepemilikan. Sementara seluruh rakyat bekerja sebagai buruh dan diupah oleh negara.

Sedangkan kesejahteraan ekonomi dalam sosialisme, diukur berdasarkan pemerataan kekayaan setiap rakyat negara bersangkutan setelah kepemilikan individu diambil alih oleh negara. Pertanyaannya, benarkah keadilan dan pemerataan kesejahteraan ekonomi terwujud dalam negara sosialis? Tidaklah demikian faktanya. Sebab, justru faktanya yang terjadi adalah pemerataan kemiskinan masyarakat oleh negara sebagaimana masa lalu Soviet yang kelam.

Dengan demikian, baik kapitalisme maupun sosialisme, keduanya gagal mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi riil masyarakat, bahkan telah gagal sejak dari asas, konsep dan indikator-indikator pijakannya. Lalu bagaimana dengan Khilafah Islamiyah?

Khilafah, Negara Ideal!

Negara Khilafah Islamiyah adalah negara berasaskan akidah Islam yang menerapkan hukum Islam di dalam negerinya dan mengemban dakwah Islam ke luar negeri. Akidah Islam menegaskan bahwa penerapan hukum Islam secara totalitas oleh Khilafah adalah rumus mutlak untuk menghadirkan rahmat bagi semesta alam secara riil.

Karena itu, ketika kerahmatan diartikan sebagai keadilan, maka hukum Islam akan hadir membawa keadilan tersebut. Ketika kerahmatan itu bermakna kesejahteraan, maka hukum Islam juga datang memberikan kesejahteraan riil yang didambakan.

Ruang lingkup hukum Islam tentang pembagian kepemilikan (al-milkiyah), pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah) dan distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas) melalui mekanisme syariah, mampu menjamin terwujudnya keadilan sekaligus kesejahteraan ekonomi setiap individu rakyat negara Khilafah Islamiyah.

Indikator keadilan dan kesejahteraan ekonomi negara Khilafah tercermin dalam politik ekonomi Islam, yaitu penerapan berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh negara untuk menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.

Prinsip keadilan ekonomi dalam Islam dimulai dengan pemahaman bahwa seluruh harta kekayaan adalah milik Allah. Allah-lah yang memberikan hak kekuasaan kepada manusia untuk memiliki kekayaan tersebut. Sehingga, setiap kepemilikan harta harus mendapat izin dari Allah SWT. Dititik inilah, izin dari Allah menetapkan kepemilikan (al-milkiyah) menjadi tiga bagian, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Allah SWT juga menetapkan aturan pemanfaatan masing-masing kepemilikan harta (tasharruf fi al-milkiyah), baik pemanfaatan yang berupa kegiatan pembelanjaan (infaqul mâl), seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun berupa pengembangan harta (tanmiyatul mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah, industri, dan sebagainya.

Terhadap kepemilikan individu diberikan kebebasan kepada individu pemilik harta tersebut untuk memanfaatkan harta kekayaannya selama tidak melanggar syariat. Demikian juga kepemilikan umum (seperti fasilitas umum, SDA dan barang tambang yang melimpah, dll), syariat menetapkannya sebagai milik rakyat, kewajiban negara adalah mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat untuk melayani dan memenuhi kebutuhan mereka.

Dengan demikian, distribusi kekayaan ditengah masyarakat secara merata, pada dasarnya telah melekat pada pembagian kepemilikan serta segenap aturan hukum pemanfaatan kepemilikan harta kekayaan. Dan dari sanalah keadilan ekonomi diwujudkan.

Dengan kata lain, distribusi kepemilikan (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas) dalam Islam tidak dibiarkan bebas sebagaimana pasar bebas dalam kapitalisme, juga tidak dimonopoli total oleh negara sebagaimana sistem komando dalam sosialisme.

Oleh karena itu, yang disebut keadilan ekonomi dalam pandangan Islam adalah ketika status kepemilikan menjadi jelas, sehingga setiap individu bebas sesuai syariat Islam memiliki dan memanfaatkan harta kekayaannya dalam kategori kepemilikan individu, pun mendapat hak yang sama dari harta kepemilikan umum, disamping kebijakan Khalifah dalam mengelola harta kepemilikan negara sesuai peruntukannya.

Sementara itu, kesejahteraan merupakan konsekuensi logis dari adanya keadilan ekonomi Islam yang dijalankan oleh negara Khilafah, yaitu ketika terpenuhinya semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.

Realitas kebutuhan pokok (Primer) setiap individu mencakup dua hal, yaitu kebutuhan pokok berupa barang dan kebutuhan pokok berupa jasa. Sandang (Pakaian), pangan (Makanan dan Minuman) dan papan (Rumah) merupakan kebutuhan primer berupa barang. Sementara kebutuhan primer berupa jasa meliputi jasa kesehatan, jasa pendidikan dan jasa keamanan.

Secara praktis, strategi negara Khilafah untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi semua rakyatnya wajib menempuh dua cara, yaitu mekanisme Langsung dan Tidak Langsung. Mekanisme Langsung berlaku untuk memenuhi kebutuhan pokok berupa jasa. Sementara pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang dijamin dengan mekanisme Tidak Langsung.

Negara Khilafah wajib memberikan pelayanan langsung kepada setiap rakyatnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa. Dalam hal ini, pelayanan jasa kesehatan, pendidikan dan keamanan adalah kewajiban negara yang harus diberikan secara cuma-cuma (gratis) kepada seluruh rakyat.

Negara juga wajib menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan untuk pelayanan jasa tersebut, seperti pengadaan rumah sakit dan semua perlengkapannya, sarana pendidikan dan semua perlengkapannya, sarana pengamanan beserta semua kelengkapannya. Inilah yang disebut Mekanisme Langsung.

Sementara itu, mekanisme Tidak Langsung untuk pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang (Sandang, pangan, papan) ditempuh dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut. Dalam rangka pemenuhan ini, Islam telah menggariskan mekanisme Tidak Langsung secara bertahap, yaitu:

Pertama, Hukum asal setiap Individu berkewajiban memenuhi kebutuhannya sendiri melalui mekanisme bekerja (TQS. Al-Mulk: 15, TQS. Al-Jumu’ah: 10, TQS. Al-Jatsiyah: 12, HR. Baihaqi, HR. Abu Nu’aim, dll).

Kedua, Dalam kondisi individu sangup bekerja, namun tidak memiliki kesempatan bekerja, maka negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan. Sebab hal itu memang menjadi tanggungjawab negara (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga, Dalam kondisi individu tidak sanggup bekerja, kerabat dan mahromnya berkewajiban memenuhi kebutuhan pokoknya (TQS. Al-Baqarah: 233, HR. Ibnu Majah).

Keempat, Dalam kondisi tidak ada kerabat dan mahrom yang mampu memenuhi kebutuhan pokok seorang individu, maka negara berkewajiban mencukupinya melalui kas zakat di Baitul Mal (TQS. At-Taubah: 60) (Diriwayatkan oleh pemilik Kitab Shahih yang Enam).

Kelima, Dalam kondisi kas zakat di Baitul Maal tidak mampu memenuhinya, maka negara akan memenuhinya dengan mengambil kas lain.

Keenam, Dalam kondisi kas negara (Baitul Mal) habis, maka semua kaum muslimin berkewajiban mencukupinya (TQS. Adz-Dzariyaat: 19, TQS. Al-Baqarah: 219, TQS. Al-Hasyr: 7, HR. Tirmidzi).

Dengan demikian, konsepsi sistem ekonomi Islam merupakan satu-satunya konsep yang rasional dan realistis dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi seluruh rakyat. Konsepsi inilah yang diadopsi oleh negara Khilafah Rasyidah sepanjang sejarah kegemilangannya yang tiada tara. Dan konsepsi ini pulalah yang akan diadopsi oleh negara Khilafah Rasyidah yang akan tegak nanti dalam waktu yang tidak lama lagi, in syaa Allah.

Sabulakoa-Diatas genangan banjir, 12/06/2019

Komentar