OLEH
DRS BASAULA TAMBURAKA
(Pengamat Kebudayaan Konsentrasi Kalo Sara)
Untuk mengetahui “seluk beluk” dan keunikan sistem perkawinan atau Mowindahako suku Tolaki, diawali tiga hal yang pasti dijumpai kesibukan keluarga besar kedua belah pihak dalam sistim Mowindahako sebagai berikut:
Ada tiga “hal” yang berperan dihadapi seorang perjaka Suku Tolaki, ketika tiba waktunya ingin melangsungkan perkawinan atau “Mowindahako”.
Pertama, “Berperanannya” pihak keluarga pria, atau dari pihak keluarga pria yang paling dekat, jika salah satu dari kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
Kedua, “Berperanannya” perangkat Adat Tolea sebagai duta Mowindahako sekaligus berfungsi “negosiator” menyembatani “poros’ pihak keluarga besar wanita.
Ketiga, “berperannya” benda Adat Kalosara untuk “dihadirkan” dalam acara Mowindahako sebagai simbol hukum Adat masyarakat Suku Tolaki yang mengikat semua pihak.
Kenapa wajib “dihadirkan” ornament Kalosara dalam proses acara upacara Adat Mowindahako? Tidak lain adalah meski“dua hal” tersebut di atas telah hadir. Tanpa “kehadiran” ornament Kalosara sebagai simbol hukum Adat Suku Tolaki. Niscaya prosesi “perkawinan” atau Mowindahako tidak bisa dilaksanakan.
Seperti diketahui bahwa dalam upacara Adat Perkawinan Suku Tolaki atau Mowindahako, memiliki legitimasi yang kuat dalam kehidupan masyarakat Tolaki, baik legitimasi agama, legitimasi moral, legitimasi sosial maupun legitimasi yuridis. Di sinilah keunikan sistim perkawinan atau Mowindahako suku Tolaki.
Tulisan singkat ini Insya Allah akan membicarakan “Masyarakat Hukum Adat Tolaki”. Tahapan Mowindahako. Pelaksanaan sistim Mowindahako suku Tolaki. Rumitnya mengurus benda-benda Adat sebagai pelengkap acara Mowindahako. Lima Pengalaman unik yang penulis alami dalam sistim Mowindahako suku Tolaki dan terakhir penutup.
MASYARAKAT HUKUM ADAT TOLAKI
Kali ini penulis awali pengertian Masyarakat Hukum Adat Tolaki, yakni ditinjau keberadaan Kalosara dari tempo dulu sampai sekarang. Kenapa ornamen Kalosara selalu “dihadirkan” bersamaan dengan perangkat Adat Tolea disetiap acara Adat termasuk dalam sistim Mowindahako ?
Karena masyarakat Tolaki meyakini ornamen Kalosara ini sebagai warisan leluhur, dipandang sebagai benda sakral yang memiliki kekuatan luar biasa, karena terbukti mampu menyelamatkan dan mempersatukan seluruh anak negeri orang Tolaki yang kala itu, bercerai-berai tersebar di jazirah Tenggara pulau Sulawesi dengan daratan terbentang yang cukup luas tersebut.
Berbicara Masyarakat Hukum Adat Tolaki, kita akan jumpai pengertian Kalosara. Secara harfia Kalosara terdiri atas dua kata yakni Kalo dan Sara. Kalo sebagai regalia (benda Adat kebesaran Kerajaan) berarti suatu benda yang berbentuk lingkaran yaitu cara-cara mengikat yang melingkar. Sedangkan kata O’sara dapat diartikan sebagai aturan-aturan tentang apa yang dilarang untuk dilakukan dan apa yang dibolehkan untuk dilakukan dalam keluarga, individu. Jadi Kalosara berarti Kalo yang digunakan untuk mewajibkan warga tertib hukum, tertib sosial dalam lingkungan kemasyarakatan dan Pemerintahan.
Artinya “Kalo” sebagai regalia. Regalia adalah benda adat kerajaan berfungsi “diamankan” atau disimpan rapi dalam lemari sebagai benda mati. Namun demikian Kalosara tidak selalu akan disimpan atau dipamerkan di mesium benda adat ini sebagai benda Religia. Dia selalu “ditampilkan” setiap acara upacara adat. “Disinilah keunikan “Kalosara” wajib di hidupkan” setiap acara upacara Mowindahako suku Tolaki
TAHAPAN MOWINDAHAKO SUKU TOLAKI
Ada lima tahapan perkawinan suku Tolaki atau Mowindahako. Pertama, Metiro atau Monggolupe artinya pihak keluarga laki-laki diam-diam menyelidiki keberadaan si anak gadis apakah layak atau tidak dijadikan sebagai calon istri dengan melihat “tanda-tanda” apa yang sedang dibuat si gadis ketika kurir pihak pria mengintai. Begitu pula dengan Monggolupe artinya datang menyimpan sesuatu banda tanpa diketahui tuan rumah gadis tersebut.Apabila “benda” seperti sehelai sarung disimpan di rumah itu setelah 3 hari mereka tidak kembalikan, pertanda bisa dilanjutkan keacara berikutnya.
Kedua, Mondutundu artinya membawa Kalo melamar jajakan. ketiga, artinya datang kembali membawah ornamen Kalosara, untuk melamar sesungguhnya. Keempat, mondongoniwule atau Mowawoniwule keluarga pria datang meminang. Kelima, Mowindahako adalah upacara menyerahkan pokok Adat atau seserahan Adat kepada pihak keluarga perempuan.
Dewasa ini lasim dalam pelaksanaan perkawinan Suku Tolaki dijumpai hanya 3 tahapan saja yakni Mondutudo sekaligus Melosaaka, ke tahap mondongoniwule serta tahap terakhir Mowindahako. Semua acara tersebut di atas yang berperan di sini adalah Tolea-Pabitara dan wajib dihadirkan ornamen Kalosara. Tanpa kedua perangkat Adat dan ornament Kalosara ini (tiga serangkai), niscaya tidak bisa dilaksanakan proses upacara Adat perkawinan suku Tolaki. Di sinilah keunikan sistim Mowindahako suku Tolaki.
PELAKSANAAN SISTIM MOWINDAHAKO SUKU TOLAKI
Kini kita memasuki acara pokok menggelar Adat upacara “Mowindahako”,Usai acara pokok dimana calon mempelai pria dapat mengunjungi calon istri, yakni memasuki kamar khusus sang istri. Menurut adat Tolaki posisi mereka resmi sebagai “suami istri”. Karena telah “dihadirkan” ornamen Kalosara, serta disaksikan pihak Pemerintah, Pu’utobu, To’onomotuo, dan seluruh hadirin yang hadir diacara Mowindahako tersebut. Kemudian dilanjutkan sesi berikutnya yaitu acara akad nikah sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Klimaks acara upacara Mowindahako yang sakral itu.Terlihat pula kedua perangkat Adat mengadakan acara ritual, Mohue O’sara. Artinya telah selamat melaksanakan tugas “Suci”.Sambil memegang ujung ornamen Kalosara mereka berucap O’aso, O’ruo,O’tulu, dan O’omba.Tolea pabitara bersumpah melalui media Kalosara, memohon kepada Tuhan YME tolak bala, dengan menggunakan bahasa puitis Tolaki sebagaimana terurai di bawah ini :
“Dengan ini kami menyudahi urusan ini, wahai Tuhan Yang Maha Esa mellaui perantara Kalosara sebagai simbol kebesaran dan keagungan supermasi hukum negeri Konawe Mekongga dalam urusan perkawinan ini.Telah selesai dengan selamat semuanya lelah bertindak seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya sesuai ketentuan hukum Adat yang berlaku. Kami berdoa dan bermohon semoga kedua mempelai hidup bahagia dan sejahtera laksana duduk dekat air yang jernih nan sejuk, hidup damai panjang usia sejuk laksana sejuknya pepohonan pisang, dinginnya pepohonan sagu, Insy Allah, selamat dan bahagia dunia dan diakhir kelak”.
Demikian akhirnya, usai acara ritual Mohuwe O’sara kedua pasangan mempelai yang berbahagia itu kembali duduk bersanding di pelaminan, sambil menyalami para tamu dan undangan yang hadir diacara Mowindahako yang sakral tersebut. Demikian keunikan sistim Mowindahako suku Tolaki yang berlangsung secara sistematis dan terencana menurut Sarano o’Tolaki.
“BENDA ADAT” YANG WAJIB DIPENUHI PIHAK KELUARGA MEMPELAI PRIA
Rumitnya Mengurus “Benda-benda Adat” sebagai Pelengkap Acara Mowindahako
Apa maksud penulis uraian “benda-benda alam asli” maupun yang sudah melalui proses tersebut diatas? Yang penulis maksudkan bukan “nilai benda” itu yang mungkin orang berpendapat bisa diuangkan berapa saja nilainya? Tidak demikian benda-benda alam ini “wajib” dihadirkan pada acara Mowindahako. Karena dia mempunyai nilai intrinsik makna simbolik tersendiri, kecuali hewan kerbau hidup yang dijadikan sebagai Polonggoo Osara.
Kesulitannya adalah selain harus asli dan segar benda benda Adat sebagai pelengkap tersebut harus dipetik dari alam, yang hanya dijumpai di kampung. Dan cara mengambil benda alam seperti daun sirih dan pinang harus dipetik langsung dengan tangan. Buah pinang muda tidak boleh dijolok harus dipanjat kedua benda ini memiliki makna “mereka” selalu rukun-rukun sampai kakek – nenek mendatang. Sedangkan simbol dari pada daun sirih segar sejajar tulang daunnya dan buah pinang segar muda berkelopak buah pinang sebagai simbol “barangnya” pria sedangkan daun sirih sebagai simbolik “barangnya” wanita. Kedua benda alam ini diletakkan diatas ornament Kalosara.
Demikian momen sirih-pinang itu sebagai benda adat mereka selalu“dipertemukan” secara “mesra” pada acara upacara Mowindahako, yang selalu “diawasi” oleh ornamen Kalosara. Di sinilah keunikan sistim Mowindahako suku Tolaki, wajib dihadirkan benda-benda pelengkap Adat dalam sistim Mowindahako Suku Tolaki .
LIMA PENGALAMAN “UNIK” YANG PENULIS ALAMI SISTEM MOWINDAHAKO SUKU TOLAKI
Pertama. Belum lama ini, seorang pejabat Pemerintah menghubungi penulis. Kelurga ini seakan “bingung”, karena anak gadis semata wayang ini akan dilamar dengan sistim Mowindahako. Pejabat pria yang satu ini dari suku Jawa, namun istrinya suku Tolaki totok. Sedangkan anak gadis mereka blasteran JATOL.Yang mau melamar putra dari Kota Empek-Empek yakni suku Palembang Sumsel.
Penulis sarankan cari Tolea professional, sekaligus akan mencari “isi pelengkap Adat” sebagaimana disebutkan di atas. Posisi Tolea “berada” pada pihak keluarga mempelai pria dari Palembang tersebut. Adapun tupoksi Tolea melaksanakan pelamaran, sesuai dengan tengga-tenggano O’sara yakni 5 tahapan hingga tahap Mowindahako.
Namun ada ekspresi “unik” muncul dari pihak keluarga mempelai pria. Mereka “curhat” kenapa sih acaranya “bertahap-tahap”? Demikian kenyataannya akhirnya mereka harus “rajin” 3 x bolak balik dari dan ke Kota Palembang via Jakarta. Itulah fakta yang unik. “siapa berani mengambil anak gadis suku Tolaki di Kota Lulo Kendari”?.
Kedua. Ketika tolea pabitara mombesara di tempat perhelatan acara upacara Mowindahako. Mereka wajib duduk menggelar Ambahi Sorume. Ambahi adalah sebuah tikar bahan baku pelepah anggrek hutan liar. Tumbuh di hutan belantara. Untuk mendapatkan “benda langka” ini, mereka mencari hari baik, disebut Mebilangari itupun hanya “orang pintar” yang bisa bisa memanjat pohon yang tinggi seperti pohon beringin yang rimbun tersebut.
Hakekat “benda Adat” Ambahi Sorume ini mengagungkan “kebesaran” benda Kalo yang bahan dari rotan. Dimana asal usul mereka sama, melilit menjulang tinggi dipohon beringin. Momen acara Mowindahako tersebut kembali dijodohkan yaitu Kalo (Rotan) dan anggrek Sorume. Nampaknya tanpa kehadiran kedua benda adat dari alam liar hutan ini, upacara Mowindahako yang sakral tersebut kurang afdhol. Posisi tiga buah Ambahi Sorume ketika digelar, satu lembar memanjang, yang dua lembar melintang, ini memiliki makna simbolis agar kedua mempelai umur panjang sampai kakek-nenek. Di sinilah uniknya Benda Adat tersebut ”wajib“dihadirkan”pada acara Mowindahako.
Ketiga. Kali ini sebagai pembelajaran bagi pria jejaka Tolaki. Kilas balik memutar jarum jam 50 tahun tahun silam dimana seorang perjaka tingting Tolaki tempo doloe. Jika ia ingin berumah tangga wajib memiliki motto “Tingi-Tinggi Olutumu Ano Sisiki” Artinya jika Labionda ingin kawin terlebih dahulu ukur kemampuanmu, baik fisik maupun mental, utamanya memiliki o’mambu (harta).
Selain syarat fisik diatas Labionda wajib “melewati” suatu proses adat disebut Sara Mesarapu (berbakti) di rumah orang tua calon mertua. Perlakuan Adat tersebut mencari makna yang tersirat “ilmu” Sara mesarapu. Labionda sebagai calon menantu, bekerja apa saja yang diperintahkan oleh calon mertua tanpa pamrih, selama kurang lebih 1 bulan. Disaat itu calon mertua menguji karakter, sifat dan talenta Labionda.“Bisakah dijadikan sebagai anak mantu“ ?
Yang “unik” selama mesarapu, tidak dibolehkan “bertatap muka” calon istri. Apalagi wakuncar? Uniknya meski telah “lulus” atau melewati Adat Mesarapu tetap diterapkan 5 tahap perkawinan hingga tata cara dan ritual upacara Mowindahako yang berlangsung secara sistimatis. Demikian keunikan sistim Adat Mesarapu tempo doeloe menuju Mowindahako suku Tolaki.
Keempat. Sekitar dua puluh tahun silam. Ketika penulis bertugas di Pemkab Dati II Kendari di Unaaha, kini Kabupaten Konawe. Penulis waktu itu sebagai PNS hengkang ke Unaaha tahun 1983 dari Kotif Kendari bersama keluarga karena belum ada fasilitas perumahan terpaksa mondok di Desa Parauna Kec. Unaaha. Suatu hari kami mendapat undangan tertulis resepsi Mowindahako. Yang membuat penulis pangling, dalam undangan tertera nama “sepasang pengantin” yang sehari-harinya kami kenal banget sebagai warga tetangga satu Desa. Lagi pula “pasangan lama”ini, telah memiliki momongan anak lelaki duduk di bangku kelas satu di SDN Parauna.
Naluri penulis terdorong menelusuri keberadaan keluarga mereka, ternyata benar “tetangga” satu Desa ini, tujuh tahun silam telah menikah menurut syariat Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Unaaha. Dimana malam itu “resmi” melaksanakan resepsi perkawinan sistim Mowindahako. Ironisnya pada malam resepsi tersebut, banyak pula hadir tamu undangan di luar etnis Tolaki. Pada umumnya mereka bertanya-tanya dan heran “aneh tapi nyata”. Kenapa yang duduk bersanding dipelaminan itu, ikut pula anak semata wayang mereka?.
Akhirnya para undangan paham dan mengerti bahwa demikianlah budaya dan adat-istiadat Suku Tolaki dalam sistim perkawinan atau Mowindahako.Dimana “pasangan lama” itu, belum “sah” menurut Masyarakat Hukum Adat Tolaki, bahkan belum resmi diakui masyarakat setempat. Karena selama ini belum “menggelar” Mowindahako. Intinya adalah membayar popolo (mahar) atau mas kawin kepada pihak keluarga besar wanita tersebut. Demikian uniknya sistim Mowindahako suku Tolaki.
Kelima. Satu lagi yang “unik” dalam sistim Mowindahako, ketika dalam suatu unit rumah tangga keluarga Tolaki, Tuhan YME menghendaki “memanggil” hamba-Nya si suami meninggal dunia. Ternyata si suami (almarhum) selama mereka berkeluarga belum menunaikan Niwindahako. Menurut O’sara, jasad Almarhum untuk “sementara waktu” belum bisa diantar ke peristirahatan terakhir. Kenapa? Semua keluarga menyaksikan prosesi Adat “mombesara secara kilat” yaitu acara Niwindahako sebagai kewajiban oleh pihak keluarga pria, kepada pihak keluarga besar wanita.
Karena ketika mombesara ornamen Kalosara adalah simbol penghargaan terhadap kemanusiaan. Sebagai penghargaan terhadap kemanusiaan, Kalosara digunakan pada segala sendi kehidupan manusia suku Tolaki yaitu mulai di dalam kandungan hingga sampai pengantaran ke liang lahat. Di sinilah keunikan sistem Mowindahako Suku Tolaki Tempo Doeloe, hal ini agar terhindar dari istilah toono matesara (orang mati adat).
Dari uraian singkat di atas, tentang “seluk beluk” keunikan sistem Mowindahako Suku Tolaki yang sudah berlangsung selama dekade 15 abad lalu dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa uniknya sistim perkawinan atau Mowindahako Suku Tolaki, ternyata sudah berlangsung cukup lama di daratan tanah Tolaki bekas kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga. Namun Sistim Mowindahako tetap eksis sampai sekarang yaitu, sejak “zaman Mokole More Wekoila” hingga memasuki globalisasi atau Zaman “instan” dewasa ini.
PENUTUP
Sebagai Kesimpulan dari uraian di atas, bahwa suku bangsa Tolaki yang mendiami bekas kerajaan Konawe dan bekas Kerajaan Mekongga atau secara administrasi tersebar di 8 wilayah Kabupaten/Kota se Sultra, ketika dalam melaksanakan prosesi perkawinan atau lebih dikenal sistim Mowindahako menerapkan sistim “Hukum Adat Pekawinan Tolaki” sebagai warisan leluhur, yang sampai sekarang masih amat relevan dengan perkembangan masyarakat memasuki globalisasi dewasa ini.
Namun, harus pula di akui terjadi akulturasi dengan budaya lain. walaupun memang tidak menyentuh sendi-sendi pokok. Sebagai contoh, jika tadinya 5 tahap untuk melaksanakan perkawinan Tolaki atau Mowindahako kini dapat “disubtitusikan” 2 tahap saja. Bahkan bisa satu tahap, disebut sistim Sara Morumbandaleeha atau jalan satu kali di acara Mowindahako namun tidak menghilangkan substansi sarano Tolaki tersebut.
Demi menjaga eksistensi sistim Hukum Adat Perkawinan Tolaki tersebut, Perlu ditanamkan dan terus disosialisasikan “Karakter nilai hukum adat Kalosara” dalam sistem Mowindahako, dari generasi hingga ke generasi berikut melalui pendidikan. Baik pendidikan formal maupun pendidikan informal yang mana seyogyanya dijadikan sebagai mata pelajaran muatan lokal (Mulok) di setiap jenjang pendidikan khusus di daerah suku Tolaki ini, Insya Allah.
Komentar