Mahasiswa UHO Gelar Dialog Kebangsaan Milenial

UHO759 views

Foto: Istimewa.

Kendari – Di tengah kesibukan menjalani Ujian Akhir Semester (UAS), tidak menyurutkan semangat mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) untuk tetap peduli soal kebangsaan.

Para mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Milenial Pancasila berkumpul dan berdialog mengurai masalah kebangsaan dalam acara Dialog Kebangsaan Milenial dengan tajuk “Mengelola Keberagaman, Memperkokoh ke-Indonesiaan” di Aula Akuntasi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHO, Sabtu (21/12/2019). Uniknya, dialog tersebut tersaji dalam dalam dwi-bahasa yaitu bahasa Inggris dan Indonesia.

Solusi terbaik untuk merawat NKRI dan sebagai jalan keluar atas gejolak kebangsaan saat ini adalah memperkuat narasi kebangsaan dengan dialog terutama di kalangan generasi milenial sebagai ujung tombak pertahanan identitas bangsa.

Hal itu disampaikan Darmani, S.Pd., M.Sos, penggagas beberapa komunitas kebangsaan di UHO pada saat membuka acara dialog tersebut.

“Oleh karena itu, dialog seperti ini harus secara konsisten dan reguler kalian lakukan,” kata Darmani.

Pria yang pernah menjadi duta bangsa mewakili Sulawesi Tenggara dan UHO dalam Pertukaran Pemuda Indonesia Autralia ini juga menyampaikan, tujuan dialog tersebut menggunakan bahasa inggris supaya kaum milenial termotivasi untuk terus meningkatkan kemampuan bahasa Inggris.

“Generasi milenial adalah generasi global dan bahasa inggris adalah jembatan menuju kompetisi global sehingga kelak bisa bersaing dalam berbagai bidang seperti teknologi, pendidikan, politik, dan lain lain,” ujarnya.

Menyinggung soal tema, pria yang juga merupakan perwakalian Sulawesi Tenggara untuk Pendidikan Ketahanan Nasional Pemuda (TANNASDA) 2010 ini menyampaikan bahwa, kebhinekaan sebagai identitas bangsa Indonesia adalah bagaikan dua sisi mata pisau. Di satu sisi, keberagaman tersebut bisa menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang ‘cantik’ di mata dunia, pada sisi yang lain ia bisa mengarah pada segregasi dan disintegrasi bangsa kalau elemen bangsa ini tidak memahami hakikat kebhinekaan dan tidak mampu mengelolannya dengan baik.

Lebih lanjut ia mengatakan, pemuda atau milenial adalah ujung tombak “perubahan” bangsa. Perubahannya bisa positif dan konstruktif kalau generasinya cerdas dan tercerahkan, dan bisa negatif dan kontra produktif jika milenialnya terbelakang karena ujian ke-Indonesiaan saat ini semakin berat dan kompleks dengan mengemukanya sensitifitas SARA yang diperparah dengan buruknya literasi digital masyarakat kita.

“Olehnya itu, kalian harus banyak membaca, meningkatkan daya literasi, dan banyak berdialog supaya tidak terjebak dalam praktek segragasi dan isu disintegrasi bangsa apalagi saat ini adalah era post-truth, dimana orang orang tidak lagi bicara atau menyebarkan sesuatu berdasarkan kebenaran objektif namun lebih mengikuti “syahwat” atau pembenaran melalui instrumen utama post-truth saai ini, yaitu media sosial, sehingga hoax, fakenews, falsnews begitu mudah menjalar dan diterima masyarakat,” tuturnya.

Dihadapan sekitar 130 peserta dialog yang datang dari berbagai komunitas, ia berharap kegiatan tersebut bisa menaikan level ‘sense of nationality’ para milenial.

Ia juga mengingatkan seluruh peserta dialog untuk selalu berhati hati dan tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu transnasional yang hingga kini terus menjajal ke-Indonesian karena disamping menimbulkan perpecahan di internal bangsa, hal tersebut juga akan memuluskan dan menguntungkan agenda atau kepentingan asing.

Dalam dialog tersebut para pemateri menyajikan berbagai pandangan dan argumentasinya terkait dengan tema dialog.

Salah satu pemateri mengungkapkan beberapa hal strategis yang dapat meningkatkan kesadaran nasionalisme diantaranya adalah bahwa Pancasila tidak seharusnya hanya menjadi motto tapi harus menjadi laku atau praktek sehari-hari, prestasi olahraga dan seni anak bangsa di dunia internasional, pembuatan dan penyebaran musik dan lagu-lagu bertema kebangsaan, dan sebagainya.

Pemateri yang lain menegaskan keberagaman SARA harus menjadi kekuatan untuk bersatu dengan menengok kembali dan mengambil pelajaran dari berbagai konflik yang terjadi mulai dari kasus Ambon, Poso, Aceh dan yang terbaru Wamena Papua.

Ada lagi pemateri yang memaparkan argumentasinya tentang istilah mayoritas dan minoritas yang menurutnya sangat menyimpang ketika dikaitkan dengan agama, suku, budaya, dan status sosial karena seluruh warga negara adalah satu komponen sistem yang bekerja saling mendukung satu dengan yang lain tanpa harus melihat kuantitasnya, mayoritas atau minoritas.

Untuk diketahui, pada minggu sebelumnya, Sabtu (14/12), dialog serupa juga diselenggarakan di tempat yang sama dengan mengangkat tema ‘Radikalisme dan Terorisme dalam Perspektive Milenial’ oleh Komunitas Pecinta Tanah Air.

rls/bni

Komentar