Oleh: Siti Maisaroh, S.Pd (Pemerhati Sosial)
Potensi pariwisata Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dinilai sangat besar dan mampu menghidupkan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Sektor ini pula yang akan tetap menjaga kehidupan flora dan fauna, serta kultur budaya dan adat istiadat masyarakat Sultra. Sayangnya, pemerintah provinsi tidak melihat potensi ini untuk menjadi leading sector pembangunan daerah. Bahkan pemerintah pusat pun sudah menetapkan pariwisata sebagai salah satu sumber pendapatan Negara.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPD GIPI) Provinsi Sultra, Ir. Hugua, sektor pariwisata merupakan arah pembangunan paling ideal bagi daerah ini (Sultra). Sebab selain tidak merusak lingkungan dan menjaga kultur budaya, keunikan yang dimiliki Bumi Anoa tidak ada di belahan dunia lainnya. Sektor pariwisata juga dapat menggerakan ekonomi seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari petani jagung, ubi dan lain-lain, yang harus menyediakan bahan baku kuliner khas, pengelola rumah makan, pemilik hotel, hingga peyedia transportasi lokal (Sumber: Sultrakini, 1 Februari 2019).
Kita semua mengetahui, bahwa negeri ini tengah kerja keras untuk membangun sektor pariwisata. Arahan dari pemerintah pusat telah merambah dan dipatuhi oleh daerah-daerah. Jika kita melihat, sekilas memang terkesan baik dimana negeri ini mengejar ketertinggalan laju globalisasi. Juga sebagai alasan utama, penggerakan roda perekonomiannya. Dengan banyaknya para pengunjung baik lokal maupun mancanegara dianggap mampu memberi pemasukan pada daerah. Termasuk untuk daerah di Sultra. Seakan tak mau ketinggalan dengan Bali, Sultra juga digadang-gadang sangat ideal untuk bisnis ‘bernafas’ pariwisata.
Namun, jika kita melihat secara jeli dengan ‘kacamata’ Islam, tentu tidak berlebihan jika kita menemukan hal-hal yang kemudian menyebutnya dengan julukan ‘sisi gelap’. Padahal banyak pelajaran yang kita bisa petik, diantaranya berita yang mengejutkan sekaligus memprihatinkan yakni saat warga desa Pitulua, kecamatan Lasusua, kabupaten Kolaka Utara (Kolut) resah. Bagaimana tidak, pada dua tempat wisata di wilayah tersebut, pantai Berova dan kampung Kuliner kini dicemari banyaknya alat kontrasepsi (kondom) dan pakaian dalam wanita yang berhamburan (KendariPos, 7/11/2018 lalu). Ini karena Negara tidak memberikan aturan yang ketat atas hal demikian.
Seharusnya, kejadian demikian menjadi bahan evaluasi para pemimpin ketika akan membuat program serupa. Semua ini juga semakin memperjelas bahwa para penguasa rezim sekarang hanya fokus pada penghasilan materi semata. Tidak memperdulikan antara kebaikan dan kebathilan, atau halal dan haramnya. Penguasa hanya fokus bekerja sama dengan para pengusaha yang melibatkan diri pada proyek-proyek zona pariwisata. Hanya berfikir bagaimana caranya agar zona wisata senantiasa menarik para pengunjung lokal terlebih WNA. Tidak mengedepankan tindakan antisipasi akan terjadinya maksiat dan perzinahan (mesum). Semakin terlihat, bahwa perzinahan semakin bebas berkedok kegiatan pariwisata.
Demikian adalah konsekuensi dari diterapkannya sistem kapitalis sekular di negeri ini. Dimana aturan agama sama sekali tidak boleh mengatur kehidupan. Agama hanya boleh mengatur masalah sholat, zakat, haji dan puasa. Sedangkan pergaulan dan masalah publik lainnya menggunakan aturan manusia yang terbatas dan lemah sifatnya.
Bagaimana Islam Menanggapinya?
Bukan berarti Islam tidak memberi ruang untuk berwisata. Islam peduli pada kebutuhan akan keindahan. Sehingga Negara yang menjadikan Islam sebagai sumber aturan memberikan perhatian khusus pada sektor pariwisata. Pengelolaan pariwisata juga bukan dijadikan sebagai sumber pendapatan negara/daerah. Tetapi sebagai tempat ajang taqarrub ilallah, edukasi peninggalan sejarah Islam, agar umat bisa melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dari segala ciptaanNya, sehingga semakin menambah rasa takjub akan KeagunganNya.
Negara akan mengedukasi masyarakatnya agar bertakwa. Membentuk lingkungan masyarakat yang peduli dan mengutamakan amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga orang tidak akan nyaman untuk bermaksiat layaknya disistem Sekular sekarang ini. Negara juga telah menyiapkan hukuman yang menjerakan bagi pelaku zina (cambuk/rajam) yang sekaligus membuat ngeri para penirunya.
Pemerintahan dalam Negara yang menerapkan aturan Islam juga akan selalu menutup rapat ‘pintu-pintu maksiat’ yang terjadi di tempat pariwisata. Misalnya, pengunjung yang memperlihatkan auratnya, berkhalwat, campur-baur, terdapat miras, dan maksiat lainnya, tentunya disertai bimbingan yang mencerahkan.
Khususnya perzinahan, Islam menegaskan untuk tidak mendekatinya. Segala perbuatan yang mengarah pada perzina’an sama sekali tidak diberi ruang. Karena ini adalah jalan yang buruk lagi keji (Lihat Surah al Isra’: 32).
Tentunya kita bersama menginginkan Provinsi Sulawesi Tenggara maupun Indonesia umumnya agar menjadi daerah serta Negara yang penduduknya bertakwa dan jauh dari segala kemungkaran bukan? Oleh demikian, sesungguhnya, kita sangat merindukan dan membutuhkan terbentuknya sebuah negara yang menjadikan Islam kaffah sebagai sumber aturannya. Kembali pada kehidupan Islam secara utuh. Menerapkan aturan Allah secara kaffah tanpa kompromi. Juga yang pasti, ini adalah konsekuensi dari keimanan kita untuk selalu menjalankan segala sesuatu sesuai dengan hukum dan aturan-Nya. Waallahua’lam bishowab.
Komentar