Memisahkan Agama dari Politik, Praksis Nyata Sekulerisme

Opini669 views

Oleh: Sartinah (Pemerhati Umat dan Muslimah)

Jangan campur adukkan antara  politik dan agama, sebab politik itu kotor, sedang agama itu suci. Ungkapan di atas lazim digunakan oleh para pemangku kuasa negeri ini atau oleh mereka yang beranggapan bahwa agama dan politik tak boleh disatukan. Karena menurut mereka, agama hanya boleh dipakai untuk mengurusi hubungan antara individu dengan penciptanya, sementara urusan politik menjadi urusan dunia yang tidak ada sangkut-pautnya dengan agama atau tidak boleh membawa-bawa agama dalam urusan politik.

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti yang menghimbau agar masyarakat tidak terlalu fanatik terhadap pilpres. Menurutnya, pilpres bukanlah urusan ibadah sehingga masyarakat tidak perlu mencampur adukkan agama dengan politik, apalagi mengistilahkan dengan ‘perang’.

Istilah ‘perang’ disinggung kedua kubu pasangan calon presiden menjelang pilpres yang kurang dari dua bulan lagi. Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, Moeldoko, menggunakan istilah ‘perang total’, sedangkan Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandi  Neno Warisman mengutip doa nabi saat ‘perang badar’ dalam acara Munajat 212. Meskipun, belakangan Neno menyebut doa itu tak ada kaitannya dengan pilpres dan BPN Prabowo-Sandi.

Mu’ti menerangkan, pilpres merupakan agenda politik lima tahunan yang sudah berulangkali dilaksanakan di Indonesia. Oleh sebab itu, masyarakat seharusnya menyikapi dan berpartisipasi secara wajar serta tidak berlebihan. “Pemilihan presiden sebagai proses politik merupakan wilayah muamalah duniawiah, bukan masalah ibadah. Umat memiliki kebebasan untuk memilih sebagaimana mereka melaksanakan muamalah yang lainnya seperti bisnis, bertetangga, dan sebagainya,“ kata mu’ti saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (27/2).

Ekskalasi politik yang kian memanas  jelang pilpres 2019, tak pelak menorehkan beragam cerita  dikalangan masyarakat, baik dari pendukung paslon 01 yang juga sebagai petahana atau pendukung paslon 02. Hanya saja, ketika muncul argumen bahwa agama tidak boleh dicampur adukkan dengan urusan politik, dan mirisnya pemahaman ini telah menjadi keyakinan sebagian masyarakat negeri ini, menjadi keharusan untuk mencermatinya melalui kaca mata Islam. Sebab,  akibat pemahaman tersebut, muncul lah masyarakat yang apatis terhadap politik Islam, dimana mereka menganggap bahwa urusan politik adalah urusan duniawiah dan tidak ada sangkut-pautnya dengan agama.

Maka tidak mengherankan, jika masyarakat pun tak memiliki standar Islam dalam memilih calon pemimpin. Akhirnya terciptalah pemikiran bahwa tak masalah dengan pemimpin kafir, selama kinerja memuaskan, tidak jadi pertimbangan pemimpin yang amanah atau tidak, demikian juga tidak pernah peduli apakah pemimpin menerapkan hukum Allah SWT atau tidak. Semua terasa normal di bawah prinsip sekulerisme yang telah menjangkiti negeri-negeri kaum muslim termasuk negeri ini.

Sistem demokrasi kapitalisme sekuler yang tegak di atas asas sekulerisme menjadi musabab tersingkirnya aturan Allah SWT dalam mengatur urusan dunia, dan terpisahnya agama dari urusan politik. Memisahkan agama dari politik sama saja mengerdilkan peranan agama dalam kehidupan. Imbasnya, agama tak lagi jadi pertimbangan dalam mengerjakan urusan dunia, baik diranah pendidikan, ekonomi, termasuk politik.

Lihatlah bagaimana prinsip sekulerisme yang menjadi landasan dalam bernegara telah menimbulkan berbagai kerusakan. Misalkan, Berulang kali proses peralihan pemimpin terjadi, baik tingkat daerah maupun pusat, namun tak jua mampu menciptakan kesejahteraan hakiki bagi seluruh rakyat. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat rutin menghiasi wajah bumi pertiwi sebagai imbas diterapkannya sistem kapitalisme sekuler. Semua terjadi karena Islam dijauhkan dari politik.

Pun demikian dalam urusan pilpres. Pesta demokrasi lima tahunan ini seolah hanya terkait masalah memilih dan dipilih. Tak ada standarisasi layak atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin berdasarkan sudut pandang agama. Sekali lagi, semua seakan sah-sah saja tanpa rasa bersalah dari sebagian kalangan karena turut melanggengkan sekulerisme yang telah nyata mengamputasi ajaran Islam dan memisahkannya dari politik. Akibatnya, pemimpin dipilih bukan lantaran keimanan, kejujuran, dan kemampuannya memimpin. Mahalnya mahar menuju kursi panas kekuasaan  pun menjadi jalan tol bagi suburnya korupsi yang kian menggurita dan tak pernah  memiliki solusi nyata, lantaran para pemangku tahta menjadikan iming-iming kesejahteraan rakyat jadi taruhan demi menjajal kursi kekuasaan.

Masalah klasik tersebut akan terus berulang selama sekulerisme masih diagungkan dan dilanggengkan. Berharap dalam memilih pemimpin (yang termasuk urusan politik) melekat dengan agama adalah sesuatu yang muskil terjadi. Sebab, sekulerisme memang memposisikan agama hanya boleh bertengger di ranah privat, tanpa turut campur di area publik. Alhasil, tersingkirlah hukum Allah SWT yang  mengatur urusan negara. Saatnya kaum muslim merubah paradigma terhadap masalah kehidupan, untuk senantiasa melekatkan Allah SWT dalam semua urusannya termasuk masalah politik.

Islam adalah agama yang kamil dan syamil  yang sangat piawai mengatur segala urusan, baik perkara keduniawian maupun perkara akhirat.  Pun demikian dalam mengatur urusan politik. Sebab, politik menurut Islam adalah mengurusi urusan rakyat baik dalam maupun luar negeri. Politik Islam tak seperti politik yang dipahami sebagian orang hari ini, yang cenderung kotor dan menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Islam dan politik adalah satu kesatuan yang integral dan tidak bisa dipisahkan.

Tanpa peran agama, politik hanya jadi alat kekuasaan yang cenderung berpihak pada yang kaya, menindas yang lemah, membungkam yang tak sepaham, dan melanggengkan kekuasaan tanpa bisa terkontrol. Sebaliknya, Islam tanpa politik hanya akan menempatkan agama pada urusan ibadah saja yang tidak akan memberi pengaruh yang signifikan pada urusan bernegara, dan menafikan urusan kaum muslim secara umum, baik di dalam maupun luar negeri. Kesejahteraan, keadilan, dan keberkahan hanya mungkin terjadi bila politik dan agama saling bersinergi dan tak di petak-petakkan seperti hari ini.

Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa khalifah Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Bukhari: Dari Abu Hurairah, ia berkata : Setelah Nabi SAW wafat dan Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, dan orang-orang bangsa ‘Arab kembali kafir, maka ‘Umar (bin Khaththab) berkata kepada Abu Bakar, “Hai Abu Bakar, mengapa engkau akan memerangi mereka? padahal Rasulullah SA bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan “Laa ilaaha illallooh (tidak ada Tuhan selain Allah), maka barangsiapa telah mengucapkan Laa ilaaha illallaah, berarti dia telah menjaga hartanya dan dirinya dariku, melainkan dengan haknya, sedangkan urusannya terserah kepada Allah”.

Maka Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah hak harta. Demi Allah, seandainya mereka enggan untuk menyerahkan anak unta yang dahulu mereka biasa menyerahkannya kepada Rasulullah SAW, pastilah akan kuperangi mereka. Karenanya Lalu ‘Umar berkata, “Demi Allah, tidaklah yang demikian itu melainkan aku melihat bahwa Allah telah melapangkan hati Abu Bakar untuk memerangi mereka, dan aku mengerti bahwa itulah yang benar”. [HR. Bukhari].

Olehnya itu, Islam tidak memisahkan antara agama dan politik atau agama dan negara, sebagaimana Islam tidak memisahkan antara shalat dan zakat. Sebab, Islam adalah ideologi yang yang di dalamnya melahirkan peraturan. Aturannya menjadi solusi atas setiap problematika yang terjadi dalam kehidupan. Semua diatur secara sempurna oleh Islam, tak terkecuali dalam urusan memilih pemimpin yang semuanya di sandarkan pada syariat Islam. Kaum muslim sama sekali tak boleh menghilangkan peran agama dalam menentukan kriteria seseorang untuk menjadi pemimpin sesuai aturan Islam.

Islam menjadikan urusan politik dan agama sebagai satu kesatuan, hingga tercipta keselarasan antara urusan dunia dan akhirat. Yang semuanya berasas pada satu sumber yakni syariat Islam, baik itu perkara agama maupun negara. Saatnya umat bangkit dari tidur panjang yang melalaikan, dengan kembali pada Islam dan syariahnya sebagai pengatur urusan individu maupun publik, dengan menerapkannya secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, demi menggapai keridhaan Allah SWT dan menjadi jalan terciptanya Rahmatan lil’alamin. Wallahu a’lam bish shawwwab.

Komentar