Memutus Mata Rantai Korupsi dengan Islam

Opini735 views

Oleh: Hasrianti (Mahasiswi P. Kimia UHO)

Bagai bola api yang terus menggelinding, maka kekuasaan di alam demokrasi begitu mudah menggiring para pejabat untuk meneguk setitik demi setitik tetesan korupsi karena kekuatan kuasa. Korupsi hanya kata yang diperhalus, padahal sebenarnya perbuatan tersebut lebih pantas disebut sebagai “perampok harta rakyat”. Belakangan kasus korupsi kian marak dan sudah menjadi rahasia umum.

Para pelaku korupsi berasal dari aparatur daerah hingga pusat. Kejahatan tersebut sama sekali tidak menggambarkan sebagaimana Indonesia sangat akrab dengan sebutan negara hukum. Hukum Indonesia tidak membuat efek jera para pelaku, bahkan seringkali memperlihatkan ketidakadilannya.

Tak heran jika fakta yang terjadi hari ini hukum kalang kabut untuk menjerat dan menumpas mata rantai korupsi. Ironisnya lagi kebanyakan pelaku korupsi adalah mereka yang duduk di kursi-kursi pejabat negara, yang seharusnya dapat memberikan contoh yang baik.

Dilansir oleh www.tribunnews.com – Data Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang tahun 2018 terdapat 104 pejabat Negara terjerat korupsi dan dipidanakan KPK (19/12/2018).

Sistem Rusak Suburkan Korupsi

Meskipun KPK telah memberlakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), faktanya tidak juga memberikan efek jera terhadap para koruptor. Sulawesi Tenggara  dengan kasus korupsi Gubernur telah menjadi bukti OTT pejabat . Namun, tidak berhenti sampai disini, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Provinsi Sultra berinisial LD di salah satu hotel di Kendari. Dalam OTT itu, tim Kejati Sultra mengamankan uang tunai senilai Rp 425 juta (www.kompas.com, 28/11/2018).

Baru-baru ini kasus suap yang dilakukan oleh bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi kembali menyebar aroma kejahatan yang fenomenal. Bukan tanpa sebab, kader PDI Perjuangan itu diduga telah merugikan negara dengan angka yang fantastis dari praktik haramnya tersebut, yakni Rp 5,8 triliun (www.jawapos.com, 18/2/2019).

Sangat jelas terbukti memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Tindak korupsi yang dilakukan kader PDIP ini pun langsung menuai komentar dari Politikus Partai Demokrat (PD) Ferdinand Hutahean. Menurutnya, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Supian bisa dikategorikan sebagai mega korupsi. Sekaligus, kasus ini menjadi bukti bahwa jajaran pemerintahan Joko Widodo dinilai sangat koruptif.

KPK mengatakan kasus korupsi besar kemungkinan meningkat pada 2019. Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, mengatakan hal ini didasarkan pada perkiraan masih banyak korupsi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara nilai APBN pada 2019 lebih dari Rp 2.165 triliun. Saut mengatakan kalau proporsi yang dikorupsi 10%, berarti nilai kerugian negara sekitar Rp 200 triliun dalam satu tahun (www.bbc.com, 18/1/2019).

Selain itu, dalam sistem demokrasi  politik busuk bukan keniscayaan untuk menyuburkan praktik rasuah tersebut. Disinyalir ongkos  politik mahal menjadikan pejabat publik atau anggota badan legislatif menjadi salah satu faktor utama mengapa pejabat pemerintah dan anggota DPR atau DPRD melakukan korupsi.

Anggota DPR, Akbar Faizal, mengatakan kadang-kadang upaya untuk menjadi anggota badan legislatif dibiayai dengan cara menjual aset atau berutang kiri-kanan, yang ia gambarkan sebagai cara-cara yang berisiko. “Maka ketika ia kemudian mendapatkan jabatan itu, hampir dipastikan, yang pertama ada di kepalanya adalah, mengembalikan atau mencari uang agar biaya-biaya yang ia keluarkan bisa kembali,” kata Akbar kepada wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo.

Kepuasan seseorang seringkali memunculkan rasa tamak merugikan  diri sendiri dan orang lain. Negara juga memberikan kehidupan mewah terhadap para pejabatnya, sangat ampuh sebagai pendorong  gaya hidup konsumtif. Ini tentunya menuntut mereka untuk selalu bergaya hidup  glamour dan menciptakan manusia yang bersifat borjuis.

Faktor lain yaitu adanya sikap individualitas yang sangat tinggi dan daya saing antar individu menjadi sangat ketat. Orang yang tak punya kepribadian baik pasti menghalalkan segala cara, termasuk tindak korupsi agar menang dan duduk di kekuasaan yang tinggi. Lemahnya hukum menjadi pendukung utama korupsi, hingga menjadi catatan hitam yang permanen dalam sistem demokrasi.

Islam Mengatasi Korupsi

Islam agama yang sempurna dengan seperangkat aturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Hukum islam berlaku atas 2 hal, yaitu upaya pencegahan (preventif) dan sanksi (kuratif).

Di masa kepemimpinan Khulafaur rasyidin terdapat beberapa praktek ekonomi Islam yang menunjukan prestasi besar pada masanya. Diantaranya penarikan zakat yang tegas di zaman Abu Bakar, dan sumberdaya alam dikembangkan oleh Usman bin Affan.

Sedangkan Umar bin Khattab dalam mencegah korupsi memberikan penghargaan terhadap para pensiunan, serta gaji yang cukup  bagi pejabat. Akibatnya tidak ada cela untuk menyalah gunakan uang Negara, selain itu juga pemimpin memberikan fasilitas lengkap yaitu primer, sekunder, hingga tersier.

Tindakan selanjutnya yang di lakukan adalah menyusun konsep mencegah korupsi di kalangan aparat negara. Memerintahkan pemeriksa untuk meneliti berapa jumlah kekayaan para pejabat sebelum dan sesudah ia menduduki sebuah jabatan. Jika ada kelebihan, dari mana ia mendapatkannya. Jika terbukti bersalah maka akan dikenakan hukuman secara tegas.

Umar bin Khatab juga memiliki badan pengawas khusus Muhammad bin Masalamah, yang diberikan tugas untuk mengawasi kekayaan para pejabat. Beberapa Gubernur pada masa itu seperti Amru bin Ash Gubernur Mesir, Amr bin alkhuzai Gubernur Makkah dan lainnya, mendapatkan kekayaan dari hasil bagian berdasarakan laporan pengawas khalifah. Ada juga pembangunan Baitul mall yang dikhususkan untuk menampung pemasukan dan pengeluaran harta kaum muslimin saat itu.

Sedangkan dari segi sanksi untuk pejabat yang korupsi diberikan hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Sebagaimana tertuang dalam Alquran:

“Adapun seorang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya sebagia balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana (Qs. Al-maidah: 38)”.

Ayat di atas dalam pandangan Islam mengandung penjelasan bahwa para koruptor akan mendapatkan sanksi yang amat tegas dari pelaksana hukum Negara. Kepala Negara memutuskan untuk memotong tangan termasuk batasan potongan tangan sesuai jumlah harta yang diselewengkannya. Ada juga bentuk hukuman keras lain misalnya, cambuk, dibuang dari atas gedung, hukuman mati, dan penyitaan harta.

Pencegahan dan sanksi merupakan bentuk upaya Islam dalam menumpas kejahatan korupsi. Akan tetapi aturan tersebut dapat terlaksana hanya dalam naungan sistem Islam. Maka wajib bagi kita untuk memperjuangkannya agar hukum Negara sesuai Alquran. Wallahualam bishowab.

Komentar