Mencari Sosok Pemimpin yang Tak Ingkar Janji

Opini485 views

Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S.Kom (Aktivis Pergerakan Muslimah)

Kamu selalu mengobral 
Janji janji surga
Membual mimpi indah 
Omong kosong saja
Mana janjinya, bohong belaka
Mana janjinya, janjimu palsu
Kami bosan di belai janji janji surga
Muak dibuai mimpi omong kosong saja

Lirik lagu Janji Palsu yang dibawakan oleh Netral di atas, sungguh nyata terjadi di negeri demokrasi ini. Setiap 5 tahun sekali, para Capres mengumbar janji manis untuk meraih simpati masyarakat dan memenangkan kontestasi. Namun begitu berkuasa, mereka seakan lupa dengan janjinya. Bahkan ada yang merasa tidak pernah berjanji apa-apa.

Rupanya, program-program yang ditawarkan di masa kampanye, tidak dianggap sebagai janji yang harus ditunaikan. Tetapi hanya sekedar pemanis bibir yang tidak ada konsekuensinya di kemudian hari. Buktinya, sang petahana merasa telah melakukan segalanya, bahkan berani mempertaruhkan jabatan dan reputasinya demi perbaikan bangsa.

Setidaknya itu tercermin dari closing statement yang diberikan oleh paslon 01 pada acara debat pertama Pilpres 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019) lalu. “Kami tidak ingin banyak bicara, kami sudah paham persoalan bangsa ini dan tahu apa yang harus kami lakukan,” ujar Jokowi. “Kami tidak punya potongan diktaktor atau otoriter. Kami tidak punya rekam jejak melanggar HAM, kami tidak punya rekam jejak melakukan kekerasan, kami juga tidak punya rekam jejak melakukan korupsi,” kata Jokowi. “Jokowi-Amin akan pertaruhkan jabatan dan reputasi dan akan kami gunakan semua kewenangan yang kami miliki untuk perbaikan bangsa,” tambah Jokowi.

Janji-janji Kosong

Nyatanya, selama 5 tahun pemerintahannya, kondisi bangsa ini tidak banyak berubah. Bahkan bisa dikatakan lebih buruk. Inilah beberapa di antara janji-janji kampanye  yang belum terealisasi:

  1. Janji tidak menambah hutang, namun nyatanya hutang luar negeri Indonesia terus bertambah. Kementerian Keuangan mencatat per 31 Agustus 2018 posisi utang pemerintah pusat mencapai Rp 4.363,19 triliun. Angka ini naik Rp 110,19 triliun atau 2,59 persen dibandingkan bulan sebelumnya sebesar Rp 4.253 triliun.
  2. Janji menciptakan lapangan pekerjaan baru, namun nyatanya pengangguran bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis jumlah pengangguran pada Agustus 2018 bertambah 130 ribu jiwa menjadi 7 juta jiwa. Alhasil, tingkat pengangguran pada semester kedua 2018 meningkat menjadi 5,34% dari total angkatan kerja sebanyak 124 juta jiwa.
  3. Janji mewujudkan kedaulatan pangan, namun nyatanya impor bahan pangan terus dilakukan.  Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, nilai impor barang konsumsi sepanjang Januari—Juni 2018 mencapai US$8,18 miliar, naik 21,64% secara year on year (yoy). Menurutnya, komoditas pangan menjadi penyumbang terbesar kenaikan impor barang konsumsi tersebut.
  4. Janji membuka 3 juta lahan pertanian baru, namun nyatanya lahan pertanian terus berkurang. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut luas lahan baku sawah terus menurun. Catatan mereka pada 2018 ini, luas lahan tinggal 7,1 juta hektare, turun dibanding 2017 yang masih 7,75 juta hektare.
  5. Janji memberantas korupsi, namun nyatanya korupsi semakin menggurita. Pada tahun 2014, menurut catatan ICW, KPK melakukan 14 operasi tangkap tangan. Angka itu menciut menjadi empat OTT saja di tahun 2015. Lalu, jumlahnya meningkat sedikit menjadi sembilan dan delapan, masing-masing di tahun 2016 dan 2017. Barulah di tahun 2018, OTT mencapai puncaknya, dengan 28 kasus, setidaknya hingga 13 Desember.

Dan masih banyak lagi janji-janji kosong lain yang karena keterbatasan tempat, tidak bisa penulis sebutkan semua.

Inilah konsekuensi hidup di alam demokrasi. Karena pemenangnya adalah kontestan yang memperoleh suara terbanyak, maka janji manis pun diobral untuk mendapatkan suara pemilih. Realisasinya tidak perlu dipikirkan lagi. Toh, rakyat tidak akan punya kuasa menagih janji-janji itu. Meski telah bermalam 3 hari di depan istana (kasus guru honorer) maupun menyemen kakinya selama seminggu (kasus petani Kendeng memprotes pembangunan pabrik semen).

Memang, demokrasi berslogan bahwa ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’. Namun ini hanya berlaku di masa Pemilu. Setelah itu, suara rakyat selalu diabaikan. Yang diperhatikan hanya suara para kapitalis yang telah menggelontorkan modal besar untuk menaikkan para penguasa ke kursi kekuasaannya.

Pemimpin Islam Tak Pernah Ingkar Janji

Realitas ini sangat jauh berbeda dengan Islam. Dalam Islam, pemimpin diangkat untuk menerapkan hukum Islam dan menyejahterakan rakyat. Kesejahteraan rakyat adalah masalah yang tidak bisa ditawar karena pemimpin adalah raa’in (penanggung jawab urusan rakyatnya). Ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap seluruh kebijakan yang dibuat, apakah sudah menyejahterakan atau malah menyengsarakan rakyat banyak.

Karena itulah para pemimpin Islam selalu bekerja dengan sungguh-sungguh. Seperti kisah Khalifah Umar bin Abdul Azis yang menyerahkan semua hartanya dan harta istrinya ke Baitul Mal begitu diangkat sebagai khalifah. Ia juga sangat berhati-hati dalam menggunakan harta negara, sampai harus mematikan lampu ketika ditemui anaknya untuk urusan pribadi karena lampu tersebut dibiayai dengan uang rakyat. Terbukti, hanya dalam waktu kurang dari 3 tahun kekuasaannya, tidak ada satupun individu rakyat yang mau menerima zakat. Bukti bahwa seluruh rakyat telah sejahtera.

Para pemimpin Islam adalah orang-orang yang cakap dan amanah. Tidak sekedar berjanji namun tidak ditepati. Janji adalah hutang, yang akan ditagih hingga hari kiamat. Islam juga menetapkan bahwa ingkar janji adalah salah satu dari tanda kemunafikan.

Oleh karena itu, wajar bila MUI mengeluarkan fatwa untuk tidak memilih pemimpin yang ingkar janji. Dilansir dari detik.com edisi 12/6/2015, isi Fatwa MUI dari Keputusan Komisi A tentang Masalah Strategis Kebangsaan (Masail Asasiyah Wathaniyah) dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V tahun 2015 tentang Kedudukan Pemimpin yang Tidak Menepati Janjinya yang disampaikan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Shaleh dalam keterangan tertulis, adalah:

Pasal 4. Calon pemimpin yang berjanji untuk melaksanakan sesuatu kebijakan yang tidak dilarang oleh syariah, dan terdapat kemaslahatan, maka ia wajib menunaikannya. Mengingkari janji tersebut hukumnya haram. Pasal 9. Pemimpin publik yang tidak melaksanakan janji kampanyenya adalah berdosa, dan tidak boleh dipilih kembali.

Maka, sangat penting bagi kita selaku muslim untuk memilih pemimpin yang amanah dan tidak ingkar janji. Namun yang lebih penting lagi adalah mengusahakan sistem yang bisa melahirkan pemimpin-pemimpin sekaliber Umar bin Abdul Azis. Yaitu pemimpin yang tidak hanya menepati janji, tetapi juga menyejahterakan rakyatnya. Dengan penerapan Islam kaffah dalam Daulah Khilafah Rasyidah ala Minhajin Nubuwah.

Komentar