Oleh: Darmin, M. Pd (Opinion Maker Konawe)
Jalan Trans Sulawesi di Kelurahan Rawua, Kecamatan Sampara, Kabupaten Konawe, kembali terputus akibat abrasi Sungai Konaweha. Akibatnya, jalur transportasi kendaraan roda empat, dari arah Konawe Utara menuju Kota Kendari lumpuh total. Sedangkan untuk kendaraan roda dua, masih bisa melalui jalan tersebut. Namun harus ekstra hati-hati, karena kondisi jalan licin dan berlumpur (Kumparan.com, 02/07/2019).
Menurut informasi, jalan penghubung Kendari-Kolaka ini mulai retak sekitar pukul 07.00 WITA. Hingga pukul 10.00 WITA, kendaraan masih bisa melintasi wilayah tersebut. Namun pukul 11.45 WITA, jalan ambles sedalam setengah meter yang membuat jalur terputus. Jalan sempat ditimbun dengan alat berat, namun amblas kembali besok subuhnya akibat kebocoran pipa PDAM. Kondisi kebocoran ini sudah ditangani pihak terkait. Pun, jalan Trans Sulawesi ini sudah bisa dilewati oleh kendaraan.
Persoalan terkait infrastruktur di Indonesia merupakan kasus klasik yang senantiasa mencuat seiring bertambahnya usia dunia. Data Subdit Pengembangan Sistem dan Evaluasi Kinerja Direktorat Bina Program Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menampilkan kondisi jalan dengan status permukaan rusak berat mencapai 2,93 persen dari total panjang jalan nasional sepanjang 38 ribu km. Kondisi ini didasarkan pada survei Semester 2 pada 2014.
Indonesia memang masih mencatatkan jalan nasional dengan kondisi rusak berat sepanjang 1.130 kilometer. Mayoritas jalan nasional ini terdapat di Sumatera Utara, Papua Barat dan Papua. Penilaian ini didasarkan pada (International Roughness Index/IRI) atau penilaian terhadap kondisi kerataan permukaan jalan. IRI diukur berdasarkan survei menggunakan alat dan kendaraan khusus. Tidak heran jika penduduk di wilayah tersebut merasa kurang diperhatikan pemerintah. Indikatornya sangat sederhana, kondisi jalan yang tidak layak.
Fakta buruknya infrastruktur merupakan bukti bahwa pengurusan umat di sistem kapitalisme hanya berstandar pada untung dan rugi. Pemerintah seolah berlepas tangan dan menyerahkan sepenuhnya kepada kontraktor, dimana kontraktor tersebut seringkali mengambil keuntungan lebih tanpa mengedepankan kualitas demi kemaslahatan umat.
Mengurai Kisruh
Secara umum, permasalahan jalan tidak terlepas dari pembahasan tiga hal, yakni penganggaran dan perencanaan jalan, pelaksanaan peruntukan jalan, dan mekanisme kewenangan pengelolaan jalan. Pertama, perbaikan jalan tergantung anggarannya. Ada kalanya anggaran perbaikan jalan jauh dari harapan. Akibatnya, pengalokasian anggaran harus melalui proses panjang, sehingga perbaikan jalan terkesan lama. Namun, ada kalanya juga anggaran perbaikan jalan mencukupi tapi dikorupsi oleh oknum tertentu.
Kedua, kerusakan jalan terkait konsistensi pelaksanaan peraturan pemakaian jalan, dalam hal ini, jumlah muatan kendaraan maupun stratifikasi jalan patut diperhitungkan. Stratifikasi jalan tergantung pada kapasitas kendaraan, hal inilah yang sering dilanggar. Contohnya, truk kelebihan muatan tidak pernah diturunkan muatannya di pos penimbangan jalan. Demikian juga pada stratifikasi jalan yang berada di daerah perumahan tetapi masih saja dilewati truk dan bus, sehingga jalan tersebut cepat rusak. Kerusakan juga dipicu oleh bencana alam dahsyat, buruknya sistem pengendalian air (drainase), dan konstruksi jalan yang tidak memenuhi standar: baik menyangkut kepadatan tanah, beton, dan aspal.
Ketiga, mekanisme kewenangan pengelolaan merupakan hal penting bagi efektifitas pengelolaan jalan. Di Indonesia persoalan kewenangan memperbaiki jalan terkotak-kotak. Dalam satu wilayah atau kota, penyelenggara dan penanggungjawab perawatan dan perbaikan jalan bisa berbeda-beda tergantung status jalan. Pembagian jalan mengikuti status jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota inilah yang sering membuat nasib jalan terkatung-katung karena lemahnya koordinasi dan beban anggaran yang diluar kemampuan penyelenggara jalan. Alhasil, ketika ada pengaduan jalan rusak dari warga, pihak-pihak terkait malah saling lempar tanggung jawab.
Edukasi Sistemik
Mengingat permasalahan jalan rusak ini adalah persoalan sistemik, maka solusinya juga harus sistemik. Dalam Islam, pemerintah seyogianya memberlakukan sistem transportasi yang terintegrasi. Jalan-jalan dibangun secara terencana, dimana jalan tersebut menghubungkan ibu kota dengan kota-kota lain. Selain itu, jalan juga berfungsi pula menopang kegiatan komersial, sosial, administratif, militer, dan sejumlah hal lainnya.
Dalam hal pengemban amanah kenegaraan, penguasa dan aparat dituntut memiliki tanggung-jawab dan empati yang tinggi terhadap persoalan masyarakat, dan bersikap antisipatif dalam segala hal yang akan memudharatkan masyarakat. Hal ini tidak sulit ditemukan dalam diri muslim kala itu, sebab mereka memang dididik untuk memiliki pola sikap dan pola pikir islami sejak dini. Sehingga, tatkala mereka mengemban amanah, amanah tersebut dijalankan sebaik-baiknya. Hal ini terlihat dari ungkapan khalifah Umar Bin Khatab. “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah SWT, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’ MasyaAllah!.”
Dalam menyediakan layanan publik, khususnya infrastruktur jalan, ditetapkan lima indikator: aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, kecepatan dan kenyamanan. Langkah yang ditempuh oleh Khalifah ada tiga. Pertama, terkait dengan anggaran, APBN Khilafah tidak dibuat dan disahkan setiap tahun karena pos pendapatan dan pengeluarannya telah ditetapkan oleh syariah. Sebagai contoh, pada pengeluaran terdapat pos pembiayaan untuk kemaslahatan dan perlindungan umat yang apabila pos tersebut tidak ditunaikan dapat menimbulkan dhahar (bahaya), termasuk di dalam pos pembiayaan kemaslahatan ini adalah perbaikan jalan umum.
Kedua, terkait kewenangan pengelolaan jalan, infrastruktur jalan Khilafah tidak terkotak-kotak sebagaimana jalan nasional-provinsi-kabupaten yang ada saat ini. Satu wilayah diurus oleh satu penanggungjawab, sehingga publik tidak ‘dipingpong’ ketika melakukan pengaduan maupun meminta pertanggungjawaban penguasa tatkala ada jalan yang rusak. Penyelenggara jalan hanyalah satu, yakni Wali/Amil Wilayah yang diangkat oleh Khalifah. Wali/Amil dalam melaksanakan kemashlahatan umat dibantu secara teknis oleh dewan kemashlahatan umum.
Ketiga, terkait peraturan mengenai pemakaian jalan, Khalifah memiliki hak untuk mengatur urusan rakyat. Khalifah berhak melegislasi hal-hal mubah yang diperlukan untuk memudahkan pengaturan urusan rakyat. Hal-hal yang ditetapkan oleh penguasa otomatis menjadi undang-undang yang wajib secara syar’i dijalankan dan ditaati semua pihak terkait. Misalnya, mengenai pembagian pengaturan stratifikasi jalan, tergantung dari kapasitas kendaraan. Disamping karena faktor keimanan rakyat dan aparat untuk menaati ketetapan hukum penguasa, keberadaan Al-Muhtasib atau qadhi hisbah memeriksa dalam perkara yang termasuk hak umum tanpa menunggu adanya tuntutan termasuk perkara yang menjamin dijalankannya ketetapan tersebut. Sehingga penggunaan jalan sesuai peruntukkannya akan menjaga keawetan jalan tersebut.
Oleh karena itu, permasalahan jalan rusak sudah sepatutnya menjadi bahan renungan bersama. Pinggirkan ego duniawi dalam mengejar hal-hal yang berlawanan dengan kemaslahatan umat. Sebab, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang imam (kepala negara/Khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam bisshawab.
Komentar