Oleh: Dyah Tari Nur’aini, SST (Statistisi Pertama BPS Kabupaten Kolaka)
Berbicara neraca perdagangan sudah pasti kaitanya dengan ekspor dan impor. Apabila nilai ekspor lebih besar daripada nilai impor, maka terjadi surplus, sebaliknya apabila nilai ekspor lebih kecil daripada nilai impor maka terjadi defisit (Badan Pusat Statistik). Keadaan yang lebih baik sudah pasti ketika ekspor lebih tinggi dari impor, atau ketika neraca perdagangan mengalami surplus. Ekspor yang lebih tinggi dari impor menandakan adanya pemasukan yang lebih banyak ketimbang pengeluarannya. Keadaan tersebut akan meningkatkan pendapatan negara yang tercermin dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kondisi pada Juni 2019, nilai ekspor mencapai US$11,78 miliar atau menurun 20,54 persen dibanding ekspor Mei 2019. Penurunan ekspor Juni disebabkan oleh menurunya ekspor nonmigas 19,39 persen dan migas 34,36 persen. Juga secara kumulatif dalam periode semester pertama (Januari-Juni) 2019, ekspor Indonesia mencapai US$80,32 miliar atau menurun 8,57 persen dibanding periode yang sama tahun 2018.
Sementara nilai impor Juni 2019 mencapai US$11,58 miliar atau turun sebesar 20,70 persen dibandingkan Mei 2019, namun jika dibandingkan dengan Juni 2018 naik 2,80 persen. Penurunan impor Juni disebabkan karena penurunan impor nonmigas 20,55 persen dan migas 21,50 persen dibandingkan bulan Mei 2019. Kondisi tersebut membuat neraca perdagangan bulan Juni mengalami surplus sebesar US$196 juta.
Meskipun begitu, neraca perdagangan kumulatif periode Januari-Juni 2019 mengalami defisit sebesar US$1,93 miliar. Memiliki tren yang kurang baik, pada April dan Januari 2019 neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit yang cukup dalam. Bahkan Bulan April 2019 menjadi defisit neraca perdagangan terparah sepanjang sejarah BPS merilis data neraca perdagangan. Tercatat angka neraca perdagangan April 2019 defisit sebesar US$2,5 miliar. Hal ini terjadi karena laju ekspor Indonesia turun 10,8 persen dibanding Maret 2019, sementara impor naik 12,25 persen. Kinerja ini jauh mengalami penurunan dari bulan Maret 2019, dimana neraca perdagangan mengalami surplus US$40,2 juta.
Keadaan ini tentunya menunjukkan kondisi yang kurang baik, bahkan menjadi salah satu persoalan yang besar. Tak luput dari evaluasi, angka ekspor dan impor yang secara tahun ke tahun menurun menjadi kritik presiden Indonesia terhadap menteri terkait. Dalam rapat bersama jajaran menteri kabinet kerja jilid I, setidaknya ada dua nama menteri yang menjadi fokus teguran presiden, yakni menteri ESDM dan menteri BUMN. Hal ini dikarenakan ekspor yang turun, terutama ekspor dari sisi migas.
Untuk mengatasi neraca perdagangan ini tentunya kita harus meningkatkan produktivitas ekspor kita. Hal ini dapat dilakukan baik dalam segi peningkatan jumlah produksi maupun kualitas dan keragaman barang. Industrialisasi dan hilirisasi menjadi point penting dalam mewujudkannya. Sudah saatnya Indonesia tidak lagi hanya mengekspor barang mentah saja ke luar negeri, namun juga diperhatikan untuk nilai tambahnhya. Adanya proses produksi dari barang mentah menjadi barang jadi sudah tentu akan meningkatkan nilai tambah dari suatu barang. Hal ini dapat terealisasi jika sumber daya manusia (SDM) dalam negeri diberi keahlian dan permodalan yang baik.
Selain itu pentingnya memproduksi barang subtitusi impor di dalam negeri menjadi solusi yang tepat untuk mengurangi ketergantungan impor. Tercatat lebih dari separuh impor Indonesia didominasi oleh bahan baku dan barang modal. Hal ini tentunya menjadikan Indonesia sangat bergantung pada negara lain dalam menjalankan produksinya. Adanya substitusi impor diharapkan membuat Indonesia lebih mandiri dalam pemenuhan kebutuhan produksi.
Komentar