Pada awalnya, orang-orang Arab Quraisy bukanlah generasi dengan kepercayadirian setebal tembok Dzulkarnain. Mereka adalah para lelaki inferior yang menurut pengakuan Abu Sufyan setelah dia berislam “kita adalah para kaum yang jika bertemu dengan orang Roma di Syam saja sudah bisa bercerita bangga di kampung Mekkah”.
Lalu datanglah Muhammad Sang Nabi dengan seperangkat mentality tools. Dimulai dari membaca cakrawala, keluar dari zona nyaman yang disimbolkan dengan kehangatan selimut; hingga deklarasi misi manusia di bumi ini . Yaitu “inni ja’ilun fil ardhi khalifah” (Sesungguhnya aku akan jadikan (bani Adam) di muka bumi ini khalifah) dalam firman-Nya.
Generasi itu bertransformasi dari pengecut menjadi pemberani, dari pengharap jabatan kecil panglima pasukan umat, dari pemimpi mimpi-mimpi mungil menjadi perencana proyek peradaban raksasa.
Setiap sahabat mengalami tikungan jiwa yang mengubah seluruh persepsinya atas diri, hidup, Tuhan, dan semesta. Itulah mentalitas. Ia berupa ide-ide dan seperangkat arahan psikologis, tapi berfungsi seperti baju zirah yang melindungi tubuh. Ia membuat diri seorang manusia berbangga dengan apa yang dia yakini, tidak takut dengan ancaman, apalagi sekedar kritik-kritik manusia.
Kekuatan mental generasi sahabat adalah tauhidnya. Salah satu nilai sosial terpenting dalam syahadat adalah pembebasan manusia dari semua unsur ketundukan kepada selain Allah. Ketundukan atas materi, manusia, posisi strategis bahkan reputasi spiritual.
‘Ilah’ mempunyai berbagai wujud sesuai dengan konteks zaman dan geografis. Di zaman Nabi, persepsi ketundukan itu berbentuk materi yang megah, seperti keagungan angkatan militer Roma dan Persia, juga dengan bentangan teritori yang menghapit jazirab Arab yang kecil, yang dalam kehidupan modern padanannya seperti negara Ethiopia dibanding USA, Russia dan Cina. Maka dalam konteks peradaban bangsa Arab, mereka tidak mempunyai sejarah bertempur sengit dengan Persia ataupun Romawi karena saldo mentalitas mereka bahkan tidak cukup untuk berfikir menyaingi kedua imperium besar itu. Mentalitas yang terbangun adalah mentalitas budak yang seba takut dan khawatir.
Tapi Rasulullah membalik semua persepsi itu dari mulai arahan motivasional “kuntum khairu ummah” (kalian adalah umat terbaik), lalu strategi dan manajerial “betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar, dengan izin Allah, sesungguhnya Allah bersama kelompok yang sabar”, bahkan hingga visi masa depan “akan dibebaskan, Yaman, Persia…Konstatinopel…Roma…”.
Mentalitas seperti itu tertanam di kepala para sahabat saat mereka berinteraksi dengan berbagai budaya, bangsa dan agama. Ide-ide ekspansif mendrive gerak, langkah dan kebijakan para pemimpin muslim. Saat mata mereka menatap problematika dakwah, tantangan militer, masalah kesolidan internal, satu kata yang terngiang di benak mereka adalah ‘ekspansi’.
Maka di zaman Abu Bakar, Umar dan Ustman, tidak ada seharipun potensi umat Islam dibiarkan tergenang seperti air yang membusuk. Tapi kebijakan mereka adalah kebijakan yang ekspansif.
Mengapa? Agar potensi-potensi terbaik selalu mendapatkan salurannya yang tidak selalu mereka dapati di pusat pemerintahan Madinah yang padat.
Setiap zaman, umat akan diuji oleh masalah mental ini. Tantangannya tidaklah mulus, dan umat tidak selalu lulus. Dalam satu periode, umat di daerah Syam meyakini ketakutan ini “idza jaakum at-tataar fatarukuuh” (jika datang kepada kalian kaum Tatar maka kaburlah)”.
Di masa penjajahan, umat merasa bangsa Eropa lebih modern, lebih cerdas, lebih mampu mengelola negeri-negeri muslim yang mulai berkeping. Padahal baru beberapa abad bangsa Eropa menerjemahkan Mukaddimah Ibnu Khaldun untuk mengembangkan ilmu sosial mereka atau menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab Ibnu Rusyd tentang Aristoteles untuk menggali budaya Yunani mereka yang terkubur kalaulah umat Islam tidak menggalinya.
Di Barat hari ini, beberapa Muslim mengharap perlakuan dan respek sosial dengan cara memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama barat dan bergaya hidup seperti umumnya di barat, bukan dengan prestasi, kontribusi dan bersaing keras menembus strata sosial di negera tempat mereka berpijak.
Semua itu masalah mental, bukanlah soal fakta ataupun kekuatan real. Di era digital dan internet, Imajinasi manusia lebih mudah lagi direkayasa dan mentalitas penduduk semakin gampang dibentuk.
Di masa perang US VS Vietnam & Uni Soviet, film Rambo hampir menjadi referensi penduduk dunia akan hasil perang. Dan beberapa tahun terakhir film-film dari komik anak-anak Marvel mengisi layar-layar orang dewasa. Film-film tersebut bukan hanya berbicara tentang kepahlawanan imajiner Iron Man, Hulk, Spiderman atau X-Man. Tapi ia adalah sarana paling elegan untuk memamerkan segala kecangginan teknologi militer Amerika di depan penduduk dunia untuk melakukan proses psikologis yang dalam Bahasa Qur’an “turhibuuna bihi” (menggentarkan).
Dalam skala yang lebih kecil, mentalitas itu bisa luar biasa tereduksi menjadi kepengecutan yang akut. Takut dengan berbagai resiko hidup, resiko ideologi, resiko pergerakan, hingga resiko gagasan.
‘Ilah-ilah’ dalam kehidupan sosial kita bisa jadi bertransformasi dengan berbagai bentuk, tidak selalu menjadi keagungan materil. Tapi ia bisa berupa posisi struktural yang mengebiri kebebasan berfikir dan menjegal semangat kritik konstruktif. ‘Ilah’ itu mungkin saja dengan ketakutan ilusif tentang sesuatu yang mengancam keberlangsungan eksistensi, yang dijejalkan orang luar ke dalam tubuh dan institusi kita.
Illusive fear adalah senjata umum dalam dunia intelijen atau bisnis senjata (arms industry) yang sering digunakan negara ataupun pemimpin otoriter untuk tujuan yang spesifik. Karena ketakutan adalah salah satu driving force terkuat dalam jiwa manusia untuk bergerak.
Daya rusak akibat mentalitas pengecut ini sangat akut bagi generasi muda muslim. Karena semua kecerdasan, kreativitas dan inisiatif prograsif akan tertutup dari dalam pikiran bawah sadarnya. Setiap embrio gagasan akan langsung hanyut oleh pikiran bahwa ‘idemu tidak punya tempat di alam nyata yang keras’.
Inilah berhala-berhala yang dikikis oleh Rasulullah di pikiran sahabat-sahabat mulia. Maka Bilal terus mengatakan Ahad saat yang lain ragu melantangkan tauhid di publik. Khalid bin Walid yang disebut oleh Abu Bakar “akan aku usir ketenangan pasukan Roma dengan pikiran yang menghantui, dengan kedatangan Khalid”.
Saat diuji oleh jebakan mentalitas ini, Rib’i bin Amir justru berkata lantang di depan Kisra Persia, sebuah statement yang menurut Dr. Raghid Sirjani mewakili misi tauhid dakwah Islam “li nakhrujal ‘ibad min ‘ibadatil ‘ibad ila ‘ibadati rabbil ‘ibaad” (untuk membebaskan manusia dari penghambaan sesama manusia menuju penghambaan Tuhannya manusia).
Oleh: Muhammad Elvandi, Lc. MA.
Global Policy Analyst, Manchester University
Komentar