Oleh: Arif Rahman, S.Tr.Stat. (Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik di BPS Kabupaten Sekadau)
Pemuda merupakan aktor intelektual yang kehadirannya diharapkan mampu membawa suatu perubahan bangsa menuju arah yang lebih baik. Di Indonesia, keberadaan pemuda semakin bermakna seiring dengan semakin dekatnya peluang bonus demografi yang puncaknya terjadi pada periode 2020-2030.
Pada saat itu, jumlah penduduk yang produktif (15-64 tahun) diperkirakan mencapai dua kali lipat lebih besar daripada penduduk yang tidak produktif (dibawah 15 tahun dan diatas 64 tahun). Oleh karena itu, potensi pemuda yang besar seharusnya mampu membawa seluruh bangsa menikmati peluang tersebut.
Menurut Undang-Undang No. 40 tahun 2009, pemuda adalah penduduk berusia 16 hingga 30 tahun yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan. Dalam sudut pandang demografi penduduk, kelompok umur pemuda masuk sebagai usia produktif, yaitu usia yang dalam perhitungan beban ketergantungan memiliki posisi sebagai penanggung beban penduduk usia tidak produktif. Artinya, pemuda ibarat tulang punggung bangsa, penentu masa depan bangsa, bahkan sebagai ujung tombak dalam mengantarkan kemerdekaan bangsa.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), diperkirakan ada sekitar 655,6 ribu jiwa pemuda yang mengisi hampir seperempat penduduk Sultra (24,83 persen) pada tahun 2018. Hal tersebut berarti, satu dari empat penduduk di Sultra adalah seorang pemuda. Tentu saja angka tersebut bukanlah jumlah yang kecil dan akan sangat berarti jika diiringi dengan kualitas yang mumpuni, mengingat mereka adalah calon pemimpin yang akan menentukan nasib bangsa ini di masa depan. Melihat fakta tersebut, sudah selayaknya pemuda Sultra mampu berperan lebih sesuai dengan kualitas yang dimiliki, sehingga peran pemuda sebagai katalisator pembangunan semakin terlihat nyata.
Komposisi Pemuda Sultra
Menurut data BPS, pada tahun 2018, persentase pemuda laki-laki di Sultra (49,57 persen) lebih sedikit dibandingkan pemuda perempuan (50,43 persen). Kondisi ini juga yang menciptakan angka rasio jenis kelamin pemuda Sultra berada pada kisaran 96,63. Artinya, dari 100 orang pemuda perempuan terdapat 96 sampai 97 pemuda laki-laki. Terkait kontribusi mereka dalam pergerakan ekonomi daerah dan didukung dengan sebaran yang relatif seimbang antara pemuda laki-laki dan perempuan, maka diharapkan tidak terjadi ketimpangan akan kesempatan kerja bagi mereka.
Kemudian, menurut status daerah tempat tinggalnya, sekitar 276,6 ribu (42,19 persen) pemuda Sultra tinggal di daerah perkotaan. Sementara itu, pemuda yang tinggal di daerah perdesaan ada sebanyak 379 ribu (57,81 persen). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemuda Sultra lebih banyak tinggal di daerah perdesaan dibanding perkotaan.
Selanjutnya, menurut status perkawinan, kesenjangan paling tinggi justru terlihat antara pemuda laki-laki dan perempuan yang berstatus kawin. Persentase pemuda perempuan yang berstatus kawin mencapai 52,98 persen, sedangkan pemuda laki-laki hanya sekitar 32,42 persen. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemuda perempuan cenderung lebih awal menikah dibandingkan pemuda laki-laki. Fenomena tersebut tergambar dari Usia Kawin Pertama mereka yaitu persentase perempuan yang menikah lebih tinggi dibandingkan pemuda laki-laki (92,48 persen berbanding 77,37 persen).
Kemudian, sekitar 38,86 persen pemuda perempuan di Sultra menikah di bawah usia 19 tahun sedangkan pemuda laki-laki hanya 10,97 persen. Hal yang menyedihkan adalah, masih ada sekitar 0,71 persen pemuda laki-laki yang menikah di bawah usia 16 tahun sementara pemuda perempuan bahkan mencapai 7,91 persen. Hal ini cukup ironis, karena pada usia tersebut seharusnya mereka tengah mengenyam pendidikan di jenjang SD/sederajat atau SMP/sederajat.
Selanjutnya, persentase pemuda dengan usia kawin pertama kurang dari 16 tahun di perdesaan hampir tiga kali lebih besar dibandingkan di perkotaan (6,49 persen berbanding 2,57 persen). Tingkat pendidikan pemuda di perdesaan yang relatif rendah mengindikasikan bahwa masih banyak pemuda di perdesaan yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan dan lebih memilih untuk menikah.
Potret Pendidikan dan Kesehatan Pemuda Sultra
Kualitas pemuda dapat dilihat dari capaian pendidikan dan kesehatannya. Pendidikan merupakan kunci dari kesejahteraan suatu bangsa. Pernyataan tersebut tentu tidak berlebihan, mengingat investasi yang paling besar dalam pembangunan dan kemajuan negara adalah pendidikan sumber daya manusia yang ada di dalamnya.
Selanjutnya, pembangunan di bidang kesehatan juga merupakan bagian penting dari pembangunan nasional. Pemuda sebagai motor penggerak pembangunan, harus selalu berada dalam kondisi sehat. Hal tersebut diperlukan agar pemuda dapat secara proaktif mengembangkan diri dan mengelola berbagai sumber daya pembangunan untuk kepentingan masyarakat dan negara.
BPS mencatat bahwa angka buta huruf (ABH) pemuda Sultra hanya sekitar 0,26 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada 2 dari 1000 pemuda Sultra yang buta huruf. Walaupun angka ini terbilang kecil, namun berbagai usaha tetap harus dilakukan demi tercapainya bebas buta huruf bagi seluruh penduduk Sultra, khususnya pemuda.
Pada tahun 2018, Sultra didominasi oleh pemuda yang berpendidikan SMA/sederajat yaitu sebesar 37,22 persen. Kemudian, disusul oleh pemuda berpendidikan SMP/sederajat sebesar 28,67 persen, SD ke bawah 21,56 persen, dan hanya 12,54 persen pemuda di Sultra yang menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Sementara itu, rata-rata lama sekolah pemuda Sultra di daerah perdesaan (9,79 tahun) lebih rendah dibanding di perkotaan (11,51 tahun).
Kemudian, untuk mengukur status kesehatan pemuda, indikator yang digunakan angka kesakitan. Angka kesakitan merupakan keluhan atas suatu penyakit yang dirasakan oleh penderita yang menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari.
Berdasarkan data BPS, sekitar 19,55 persen pemuda Sultra pernah mengalami keluhan kesehatan pada tahun 2018. Selanjutnya, pada tahun yang sama angka kesakitan pemuda Sultra adalah sebesar 9,17 persen. Kondisi tersebut menjelaskan bahwa dari 100 orang pemuda di Sultra, ada sekitar 19 sampai 20 orang yang mengalami keluhan kesehatan dan 9 orang diantaranya mengalami sakit.
Kondisi Ketenagakerjaan Pemuda Sultra
Menurut BPS, pemuda Sultra yang bekerja ada sekitar 55,32 persen pada 2018. Persentase pemuda perdesaan yang bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan pemuda perkotaan (59,46 persen berbanding 48,52 persen). Hal tersebut diduga karena rendahnya capaian pendidikan di perdesaan. Dengan rendahnya rata-rata lama sekolah dan tingginya angka putus sekolah di perdesaan, secara otomatis akan mendorong pemuda perdesaan untuk masuk dalam pasar kerja lebih awal.
Berdasarkan jenis kelamin, persentase pemuda laki-laki yang bekerja jauh lebih tinggi daripada pemuda perempuan (70,88 persen berbanding 39,54 persen). Hal ini tidak lepas dari budaya umum masyarakat bahwa yang bekerja adalah laki-laki, sebagai pengayom dan sumber nafkah keluarga, sementara perempuan sebaiknya mengurus rumah tangga.
BPS mencatat bahwa pemuda yang bekerja didominasi oleh mereka yang berpendidikan SMA/sederajat (42,82 persen), lalu disusul oleh lulusan perguruan tinggi (21,19 persen). Kemudian, pemuda bekerja yang berpendidikan SMP/sederajat sekitar 17,29 persen, dan sisanya adalah yang berpendidikan SD ke bawah (18,70 persen).
Selanjutnya, BPS juga mencatat bahwa pemuda Sultra paling banyak bekerja di sektor jasa-jasa (52,33 persen), lalu disusul sektor pertanian (28,21 persen), kemudian diikuti oleh sektor manufaktur (19,46 persen). Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor pertanian bukan lagi sektor utama yang menyerap tenaga kerja paling banyak di Sultra.
Saran untuk Pemerintah Daerah
Pada bidang pendidikan, Sultra masih menghadapi tantangan yang cukup besar dalam menjamin akses dan pemerataan pendidikan untuk sekolah menengah dan perguruan tinggi. Oleh karena itu, permerintah perlu meningkatkan pembangunan dalam bidang pendidikan agar permasalahan tersebut dapat segera diatasi.
Kemudian pada sisi kesehatan, sudah seharusnya pemerintah terus berupaya untuk menekan angka kesakitan di Sultra. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan pembangunan dalam bidang kesehatan, terutama yang bertujuan agar semua lapisan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah, dan merata. Melalui upaya tersebut, diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Selanjutnya, dalam hal ketenagakerjaan, pemerintah daerah sebaiknya juga menyediakan lapangan usaha yang layak untuk pemuda di Sultra, karena sebagian besar pemuda di Sultra masih bekerja di sektor informal (53,30 persen). Mengingat pemuda Sultra lebih banyak tinggal di daerah perdesaan. Padahal, jenis lapangan usaha yang ada di daerah perdesaan sangatlah terbatas. Oleh karena itu, pemerintah daerah haruslah selalu berupaya untuk menciptakan lapangan usaha yang sebesar-besarnya untuk para pemuda, khususnya di daerah perdesaan.
Komentar