Setiap tanggal 15 Mei, diperingati sebagai hari keluarga internasional. Majelis Umum PBB pada tahun 1993, memproklamasikan hari tersebut lewat resolusi A/RES/47/237 dan mempertimbangkan kepentingan hubungan komunitas internasional dengan keluarganya. Pada hari tersebut, perayaan diperingati dengan mempromosikan kesadaran pentingnya berhubungan dengan keluarga dan meningkatkan pengetahuan terhadap proses sosial, ekonomi, dan demografi terhadap keluarga.(palembang.tribunnews.com, 15/5/2019)
Di Indonesia sendiri, hari keluarga juga diperingati. Tanggal 29 Juni mendatang bangsa Indonesia akan kembali memperingati Hari Keluarga Nasional atau Harganas. Ini merupakan peringatan yang ke-26 kali sejak Harganas diselenggarakan pertama kali tahun 1993. Mengambil lokasi di Kota Banjarbaru, puncak peringatan Harganas XXVI Tahun 2019 secara nasional akan digelar pada awal Juli 2019. Tema Harganas 2019 adalah “Hari Keluarga, Hari Kita Semua”, dengan slogan “Cinta Keluarga, Cinta Terencana”. (Fajar.co.id, 5/2/2019)
Waspada Liberalisasi Keluarga
Peringatan hari keluarga baik nasional maupun internasional seringkali dijadikan sebagai momentum untuk menderaskan ide kesetaraan gender. Dalam situs theconversaton.com (15/5/2017) disebutkan: “International Day of Families is a good moment to reflect on this question and consider how families might change to become agents of gender equality and female empowerment”. Berbagai persoalan keluarga yang berujung pada keretakkan dalam keluarga, selalu memunculkan alasan bahwa pemicunya adalah karena ketidaksetaraan gender antara suami dan istri. Persoalan seperti rentannya seorang istri mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual digambarkan sebagai akibat karena seorang istri tergantung secara ekonomi kepada suami atau tidak mandiri secara finansial, sehingga istri tidak punya posis tawar dalam keluarga.
Selama puluhan tahun terakhir PBB telah menyelenggarakan konferensi untuk kemajuan wanita, mulai dari yang pertama di Mexico City tahun 1975 hingga yang keempat tahun 1995. Konferensi PBB keempat kalinya tentang perempuan 1995 di Beijing sangat besar pengaruhnya terhadap derasnya arus liberalisasi melalui ide feminisme. Pelaksanaan hasil konferensi tersebut diimplementasikan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah (semisal Tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan) maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)/NGOs (Non Goverment Organization-Organisasi Non Pemerintah).
Dalam laporan tentang pelaksanaan konvensi, para feminis menyebutkan bahwa kekerasan dan adanya diskriminasi terhadap perempuan merupakan hambatan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Mereka menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah manifestasi dari hubungan kekuasaan antara pria dan wanita yang tidak seimbang sepanjang sejarah sehingga menyebabkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan serta menghalangi kemajuan perempuan.
Dalam mencari penyebab timbulnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, mereka melihat adanya pola-pola budaya, khususnya efek yang merugikan dari praktik-praktik tradisionil atau adat serta semua tindakan ekstrimis yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama yang telah mengabadikan kedudukan perempuan lebih rendah dalam keluarga, kelompok kerja, dan masyarakat (kepemimpinan ada pada pihak laki-laki).
Mereka mengemukakan fakta kepemimpinan dalam masyarakat yang menerapkan ajaran Islam ada pada pihak laki-laki, hukum-hukum agama (Islam) telah memasung kebebasan perempuan yang telah membuat perempuan tidak maju karena hanya beraktivitas pada sektor domestik (rumah tangga). Disebabkan posisi tersubordinasi inilah perempuan rentan mengalami kekerasan. Dari sinilah mereka mulai menggugat hukum Islam dan berusaha mengubahnya dengan dalih bias gender. Menurut mereka harus ada rekontruksi dan reinterpretasi hukum-hukum Islam yang dinilai bias gender.
Pada akhirnya mereka berupaya menyeret sedikit demi sedikit kaum Muslimah untuk meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ummu wa rabah al-bayt (sebagai ibu dan pengatur rumah tangga), lalu menjadi feminis sejati yang betul-betul membebaskan diri dari hukum Islam dengan sukarela. Satu hal yang perlu dipahami dan disadari oleh kaum Muslimah bahwa jika ide kesetaraan gender ini adalah suatu ide yang benar dan baik untuk diterapkan, maka tentulah kita akan melihat hasil yang baik pada negara liberal semacam Amerika yang sudah lebih dulu menerapkannya. Kenyataannya tidak seperti itu. Kehancuran keluarga justru yang marak terjadi di sana. Seperti: rentannya perceraian, maraknya sex bebas, penelantaran anak karena ibunya harus bekerja di luar rumah dan pelecehan.
Mewujudkan Keharmonisan Keluarga
Kekacauan tatanan keluarga di negara-negara Barat saat ini turut memberikan kontribusi besar bagi kehancuran peradaban Kapitalisme Barat. Semua itu bermula dari rusaknya pola interaksi laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, peradaban emas kaum muslim yang terwujud ketika umat berada di bawah naungan Khilafah Islam juga disumbang oleh tata pergaulan islami yang luhur yang didukung oleh kerjasama bukan persaingan laki-laki dan perempuan untuk meraih keridhaan Allah SWT. Keluarga yang dilahirkan dari interaksi semacam ini terbukti menjadi benteng kokoh bagi pembangunan kepribadian masing-masing anggota keluarganya, yang membentengi dari segenap ancaman, ujian dan fitnah. Pada gilirannya, ia mampu mewujudkan masyarakat yang khas dan tentram.
Hukum-hukum terkait sistem pergaulan yang diimplementasikan dalam kebijakan negara hingga menghasilkan masa keemasan dalam peradaban manusia adalah sebagai berikut:
Pertama: Hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan ditentukan oleh Allah sesuai fitrah masing-masing, bukan berdasarkan konsep “kesetaraan jender” ala barat. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama meraih kedudukan yang tertinggi dengan jalan menaati aturan-aturan Allah.
Kedua: tanggung jawab utama kaum perempuan dalam masyarakat adalah di dalam rumah tangganya. Peran utamanya adalah menjadi seorang ibu dan istri. Peran ini tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Perwujudan keluarga harmonis dan pembentukan generasi unggulan meniscayakan peran ini. Perempuan harus menyadari bahwa mengatur urusan rumah tangga dan mengasuh serta mendidik anak-anak adalah tanggung jawab yang berat dan mulia. Namun demikian, perempuan dibolehkan bekerja selama tidak menganggu tanggung jawab utamanya.
Ketiga: Tanggung jawab menyediakan nafkah bagi seluruh anggota keluarga terletak di pundak suami. Jika karena alasan tertentu suami tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebut, maka tugasnya berpindah kepada kerabat terdekat yang mampu. Bila tidak ada, negara bertanggung jawab menyediakan nafkah bagi keluarga tersebut. Dalam syariah Islam, perempuan tidak akan terzalimi dengan kewajiban nafkah yang menjadikan dirinya menanggung beban ganda sebagaimana konsep “kesetaraan gender”. Bukankah tanggung jawab mengandung dan menyusui tidak bisa dipertukarkan dengan laki-laki?
Jika ada yang mengabaikan kewajiban memberi nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan ia mampu untuk itu, maka negara berhak memaksa dia untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya.
Keempat: Negara mengatur secara tegas batas interaksi antara laki-laki dan perempuan. Dalam masyarakat Islam, kehidupan laki-laki terpisah dari kehidupan perempuan. Semua pintu yang mengarah pada pergaulan bebas dan aktivitas campur baur laki-laki dan perempuan ditutup rapat-rapat. Perempuan dan laki-laki yang bukan mahram dilarang berduaan dan bersepi-sepi. Perempuan hanya dibolehkan keluar rumah dengan pakaian sempurna (jilbab dan khimar) dan dengan menaati tata pergaulan Islam. Namun demikian, laki-laki dan perempuan boleh bertemu dan berinteraksi dalam berbagai aktivitas saat ada kepentingan yang dibolehkan Syariah sepeeti urusan jual beli, kesehatan, pendidikan, perwakilan atau dalam rangka melaksanakan perintah Syariah semisal haji, zakat, menjenguk orang sakit dan sebagainya.
Wallah a’lam bi ash shawab
Komentar