Muhasabah atas Musibah Sultra

Opini415 views

Oleh: Siti Maisaroh

Sulawesi Tenggara (Sultra) tengah berduka. Banjir bandang melanda sebagian daerahnya. Sekitar 4.198 jiwa mengungsi. Bencana ini mendapat sorotan publik nasional karena dampaknya yang mengerikan, merendam banyak pemukiman penduduk dan merusak fasilitas umum daerah itu.

Sejak Sabtu, 1 Juni 2019 hingga hari ini, banjir masih melanda daerah Konawe Utara (Konut) (tirto.id). Bahkan berita dari Sindonews.com Kamis, 13 Juni 2019 belum ada bantuan logistik, korban banjir menilai pemerintah pusat tidak peduli bencana.

Sembari para dermawan dan relawan memberi bantuan semampunya kepada saudara-saudara di Konut, selayaknya juga kita melakuan evaluasi, intropeksi, atau muhasabah atas musibah yang menimpa daerah tersebut.

Menaggapi pernyataan Direktur eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Sultra yang angkat bicara soal hal ini, Saharuddin kepada detik Sultra.com menduga terulangnya bencana banjir dibeberapa daerah di Sultra karena tidak terkontrolnya pembukaan kawasan lahan hutan yang terus di obok-obok oleh aktifitas pertambangan dan pembukaan lahan untuk area perkebunan. Khususnya yang terjadi di Konut.

WAHLI mencatat setiap tahun ada 8,8 persen wilayah hutan di Konut, hilang dan ini terjadi sejak tahun 2000 sampai 2019 (sekarang). Akibatnya saat musim hujan tiba, sangat berpotensi banjir bandang karena hilangnya sumber utama resapan air (akar pepohonan). (detik Sultra.com).

Nampak jelas bahwa kekayaan alam di daerah Konut telah dijadikan sebagai ‘jualan’ bagi sebagian pejabat kepada para pengusaha untuk memenuhi nafsu serakahnya, sedangkan rakyat yang tidak menikmati hasilnya, harus dengan terpaksa serta merta menerima dampak kerusakannya.

Kita memang kerap dipertontonkan dengan pemandangan demikian. Konut adalah bagian contoh kecil yang terampok kekayaannya oleh para Kapital yang tersebar diseluruh wilayah pelosok negeri ini.

Sungguh tidak mengherankan, karena ini adalah masalah lumrah yang terkondisikan akibat diterapkannya system Kapitalis oleh negeri ini. Dimana Negara memberi kebebasan kepemilikan kepada siapapun. Sehingga, sumber daya alam yang seharusnya dikelola oleh Negara dengan memanfaatkan tenaga rakyat sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh rakyat, kini justru dikelola dan dinikmati oleh segelintir pemilik modal dengan keluasan dari penguasa yang bersangkutan.

Tiada jalan keluar jika kita masih mempertahankan system Kapitalis untuk mengatur kehidupan bernegara kita. Justru yang ada kian hari kian bertambah korban yang berjatuhan. Bagi sistem Kapitalis, mengorbankan rakyat kecil, bahkan ‘menumbalkan’ nyawanya adalah hal biasa. Tentunya untuk kepuasan segelintir kelas elit yang mempermainkan kebijakan dan permodalan yang dimiliki.

Tiada tempat kembali dan berlari mencari solusi, kecuali pada system kehidupan yang hakiki. Sistem yang dirancang oleh sang Khalik yang menciptakan bumi beserta isinya. Inilah sistem Islam yang segala syari’atnya mampu ditegakan secara sempurna dalam naungan khilafah.

Bukankah Allah Swt telah menegur kita dalam kitab suciNya? “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar Rum: 41) .

Ini jugalah salah satu sebab mengapa Allah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar demi kelangsungan hidup manusia. Karena apabila kita hanya diam melihat kemungkaran yang terjadi disekitar kita tanpa saling menasehati untuk menepati kebenaran, maka kerusakan yang ditimbukan dari kemungkaran itu bukan hanya mengenai orang-orang yang dzolim atau pelaku maksiat saja, namun ‘menyapu’ bersih siapapun yang berada disekitaran kemungkaran itu. Contohnya seperti kemungkaran yang dilakukan oleh segelintir orang tak bertanggung jawab di Konut, namun dampaknya dirasakan oleh siapapun juga yang berada disana. Semoga muhasabah atau evaluasi demikian cukup membuat kita berfikir bahwa hanya aturan Islamlah yang layak dijadikan sebagai system dalam kehidupan ini. Waallahu a’lamu bishowab.

Komentar