Oleh: Qiya Amaliah Syahidah (Muslimah Media Konawe)
Persoalan yang menyudutkan umat Islam, seperti sinetron berseri yang tak ada habis-habisnya. Baru sebulan lalu, Polri melaporkan 41 masjid terpapar radikalisme. Kini adegan-adegan penangkapan terhadap terduga pelaku teroris terus terjadi saat menjelang Natal dan tahun baru 2019.
Tim Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri menangkap sebanyak 21orang terduga teroris jelang hari raya Natal 2018 dan Tahun Baru 2019. Meskipun, kepolisian belum menemukan indikasi serangan teror di dua perayaan itu. Penangkapan tersebut dilakukan di sejumlah wilayah Indonesia dalam sebulan terakhir, sejak November hingga Desember 2018 (Cnnindonesia.com, 19/12/2018).
Polisi mulai mengawasi ‘sel tidur’ jaringan terorisme yang dianggap berpotensi menimbulkan serangan jelang penutupan tahun 2018. Kerja sama dengan sejumlah aparat penegak hukum digalang untuk mencegah potensi penyerangan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo menjelaskan Polri akan mengerahkan kemampuan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dan kepolisian daerah untuk mengawasi sel ini.
Beberapa dari terduga teroris itu, lanjut mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tersebut, merupakan anggota kelompok Jamaah Anshor Daulah (JAD).
Selain mengerahkan Densus dan kepolisian daerah, Polri menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mencegah paham radikalisme di masyarakat. Tokoh agama dan masyarakat turut dilibatkan mencegah bangunnya sel tidur itu.
Akar Masalah
Sikap penguasa yang terus mengusung isu terorisme setiap menjelang natal dan tahun baru justru merupakan upaya memojokkan Islam dan umat Islam sebagai sumber dan pelaku teror.
Perlu dipahami, setelah peristiwa penyerangan terhadap Gedung WTC, arogansi AS sebagai negara adikuasa telah nominasikan Islam menjadi musuh setelah robohnya Komunisme. Dalam pidatonya mantan Presiden AS, telah membagi dunia dalam dua kutub. Apakah mau bergabung bersama AS atau bersatu dengan terorisme.
Terhitung sejak pidato Bush tersebut, Amerika Serikat mulai menerjunkan pasukan militer dan anggota intelijen untuk menggempur Taliban di Afghanistan. Sejak itu juga, banyak negara yang memperketat Undang-Undang Anti-Terorisme. Maka negeri-negeri Islam menjadi wilayah terpenting yang kini menjadi sasaran Amerika dalam penerapan undang-undang terorisme.
Hingga kini, semua negeri-negeri Muslim telah menjadi sasaran kebijakan AS dalam memburu terorisme telah menjadi senjata pembunuh massal bagi AS. Tak terhitung berapa nyawa kaum Muslimin yang hilang di Afganistan untuk dalih menghancurkan “terorisme” Taliban, meruntuhkan kekuasaaan Saddam Husein di Irak, menghancurkan IS di Suriah.
Jika dicermati, semua agenda “busuk” melawan terorisme tujuannya adalah untuk mengokohkan cengkeraman Amerika di negeri-negeri Islam serta melestarikannya agar tetap ada di bawah hegemoni Amerika. Sebab, kaum muslimin memang telah mulai merintis jalan menuju kebangkitan untuk mengembalikan institusi politik Islam, yang telah dimengerti betul oleh Amerika dan negara-negara penjajah lainnya, bahwa institusi politik Islam itulah satu-satunya negara yang berkemampuan untuk meluluhlantakkan ideologi Kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika.
Oleh karena itu, hampir-hampir tak ada satu pun gerakan Islam yang ada saat ini, kecuali harus siap-siap dicap sebagai teroris oleh Amerika. Begitu pula cap ini pun bahkan tak dapat dihindarkan oleh gerakan-gerakan dan partai-partai Islam yang sama sekali tidak menggunakan kekerasan untuk mencapai target-targetnya. Sebab Amerika telah menganggap bahwa aktivitas tiap gerakan, partai atau negara yang menyerukan kembalinya Islam, adalah aksi teroris yang bertentangan dengan Undang-Undang Internasional.
Selanjutnya berdasarkan justifikasi ini dan berdasarkan ketentuan yang harus dijalankan oleh negara-negara penandatangan Undang-Undang Terorisme, Amerika dapat menghimpun kekuatan negara-negara tersebut di bawah kepemimpinannya untuk memukul gerakan, partai, atau negara tersebut. Maka wajar, negeri-negeri muslim pun akhirnya berada dalam satu barisan dengan negar-negara penjajah memusuhi saudaranya sendiri atas nama perang melawan terorisme. Sebut saja Turki, yang ikut dalam koalisi salibis melawan IS di Suriah.
Solusi Islam
Perang melawan terorisme adalah proyek barat untuk menjauhkan umat dari Islam dan menghadang kebangkitan Islam. Maka umat Islam tidak boleh terprovokasi oleh propaganda soal terorisme berlatar Islam.
Sebagaimana firman-Nya dalam Alquran surah Ash-Shaff ayat 8 yang artinya, “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.”
Maka kaum Muslimin tidak boleh berada dalam barisan orang kafir untuk memuluskan proyek mereka untuk membunuh kaum muslim. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati prinsip al-wala’ wal baro’ dengan ikatan keimanan paling kuat yang dimiliki oleh orang mukmin. “Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (Shohih Al-Jami’: 2539).
Kaum muslimin yang saat ini berjuang mengembalikan Institusi Islam, telah menjadi sasaran langsung dari langkah politik yang disebut dengan “perang melawan terorisme”, berkewajiban membentuk opini umum Dunia Islam dan opini internasional dengan membongkar hakikat dari apa yang dinamakan Undang-Undang Terorisme. Pun hakikat politik Amerika yang digunakan untuk menciptakan hegemoni atas dunia melalui undang-undang itu, serta membeberkan bahwa Amerikalah sebenarnya yang berada di balik aksi-aksi terorisme yang banyak terjadi di dunia, meskipun tuduhannya dilemparkan kepada orang-orang Islam.
Dengan demikian sejatinya perang melawan terorisme ala Barat adalah perang melawan umat Islam, serta alat legítimasi AS untuk membunuh massal umat Islam. Wallahu a’lam bishowab.
Komentar