Oh Sang Merah-Putih, “Tuapa Lele”, “Apa Kareba”?

Opini465 views
Dr. Amirudin Rahim, M.Hum

Bendera Merah-Putih, bagi saya ketika kanak-kanak dulu, adalah darah dan kesucian. Merah adalah darahnya para syuhada yg habis-habis berjuang merebut kemerdekaan dari penjajah. Putih adalah kesucian hati para pejuang itu yg ikhlas berjuang tanpa mengharap imbalan apa pun. Mereka hanya punya dua pilihan: Merdeka atau Mati! ‘Isy Kariman aw Mut Syahidan! (Alhamdulillah, ada bahasa Arab-nya sedikit). Begitulah penjelasan para orang-orang tua zaman saya kanak-kanak dulu.

Masih pengalaman kanak-kanak dulu, ketika itu di kampung ada seorang Kepala Kampung yang sangat cinta Indonesia. Yang namanya bendera Merah-Putih tidak boleh dikibarkan asal-asalan, misalnya ikatannya yang tidak kuat, tiangnya yang tidak tegak lurus, apalagi kalau saat pengikatan bendera ke tiangnya sampai menyentuh tanah, pasti Sang Kepala Kampung akan marah dan berteriak-teriak, “Darah Darah”.

Ketika mahasiswa, saya jadi peserta Cerdas-Cermat P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Kami bangga jadi pembela Pancasila. Sang Merah-Putih wajib tetap berkibar di bumi pertiwi. Namun, yang sangat mengganggu saat itu adalah rasa penasaran yg timbul akibat menyaksikan sikap dan kebijakan Presiden yang sangat represif, sehingga siapa pun yang dituduh subversif pasti akan “diamankan” oleh polisi. Ditambah lagi dengan tindakan tak terpuji dari kebanyakan pejabat berupa KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme), maka hilanglah kebanggaan itu. Sang Merah-Putih berkibar tanpa tenaga, lesu tanpa gairah. Dari realitas ini, lahirlah Gerakan Reformasi.

Kini, bendera Merah-Putih jadi objek perdebatan. Apakah boleh ditulisi huruf Arab atau tidak, karena tulisan huruf latin atau gambar dan simbol di Merah-Putih tidak dipermasalahkan. Sayang seribu sayang, ketika ada bendera China yang berkibar-kibar di bumi pertiwi, malah tutup mata, sama sekali tak ada protes atau marah oleh Presiden, Gubernur, Bupati, atau Walikota, Camat, Lurah, Kepala Desa, Kepala Kampung, seperti marahnya Kepala Kampung saya dulu itu. “Darah Darah!” Tidak ada lagi kata-kata itu, karena Kepala Kampung sudah lama wafat. Yang ada, kata-kata “bertuah” yang menyengsarakan bangsa, “Utang Utang!” ke China.

Sang Merah-Putih, apa kabarmu? Masihkah kibaran merahmu pertanda darah pengorbanan dari anak bangsa yang inginkan Indonesia berdaulat penuh? Ataukah merahmu telah berubah tafsir menjadi nafsu angkara murka yang haus darah anak bangsa sendiri? Apakah putihmu telah meninggalkan raga bangsa ini, sehingga berubah makna menjadi putih pucat pasi akibat anak negeri kehabisan darah dan hilang ketulusan hati? Oh Sang Merah-Putih, “tuapa lele”, “apa kareba”?

Oleh : Dr. Amirudin Rahim, M.Hum
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO

Komentar