Oleh: Safiatuz Zuhriyah (Aktivis Pergerakan Muslimah)
Diberi hati minta jantung. Itulah peribahasa yang tepat untuk OPM di Papua. Setelah pemerintah Indonesia cukup kooperatif dengan membiarkan mereka tetap ada dan hanya menyebutnya sebagai KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) pasca kejadian penembakan terhadap puluhan orang pekerja pembangunan jembatan pada awal Desember 2018 lalu, di akhir Februari kemarin organisasi tersebut kembali berulah.
Kondisi di Papua dibuat tak kondusif. Itu lantaran, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), mengeluarkan ultimatum. Isi ulitimatum adalah kepada warga sipil non-Papua, agar meninggalkan wilayah Kabupaten Nduga, per tanggal 23 Februari 2019. Ultimatum tersebut disampaikan pentolan TPNPB-OPM, Egianus Kogeya melalui media sosial Facebook TPNPB pada Sabtu (23/2/2019).
Setidaknya ada 7 poin ultimatum yang Egianus kepada pihak Indonesia. Satu di antara ultimatum berisi ancaman tembak kepada warga non-Papua yang masih ada di Nduga. Karena warga sipil non-Papua dianggap TPNPB sebagai anggota TNI/Polri yang menyamar. Selain itu, Egianus yang menyebut dirinya Panglima Kodap III Ndugama, menegaskan bahwa TPNPB tidak akan pernah berhenti perang sampai ada pengakuan kemerdekaan Papua dari RI (tribunnews.com)
Standar Ganda Penetapan Label Separatis
Tak diragukan lagi, ada pihak ketiga di balik keberanian OPM. Mereka sengaja memberi pasokan senjata agar tercipta rasa tidak aman dan memunculkan disintegrasi.
“Saya melihat sebenarnya ada orang ketiga dibalik keinginan OPM ingin memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” jelas Gaston Malindir, salah satu mahasiswa Papua saat diskusi santai di salah satu sekretariat organisasi mahasiswa di Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) Cimahi pada Senin, 18 Mei 2016.
Gaston mengatakan bahwa peran Barat, khususnya Amerika sangat besar dalam membantu persenjataan OPM. Ia menegaskan jika bukan Barat yang menyuplai persenjataan OPM siapa lagi. Menurut kesaksiannya, di salah satu wilayah Papua seringkali helikopter asing mendarat di sana untuk memberikan bantuan persenjataan. (Kiblat.net)
Pihak ketiga inilah yang membuat pemerintah Indonesia tidak berkutik. Bahkan untuk menyebut organisasi tersebut sebagai separatis pun terkesan setengah hati. Meski telah dengan terang-terangan menyatakan keinginannya untuk memisahkan diri dari NKRI.
Seharusnya, pemerintah segera membubarkan dan menangkap para pelakunya. Tidak sekedar mengecam dan mengutuk kebiadaban mereka.
Berbeda jauh dengan perlakuan terhadap organisasi Islam. Pemerintah bisa dengan sewenang-wenang membubarkannya hanya karena aktivitas mendakwahkan Islam. Meskipun tidak pernah terbukti melakukan kekerasan, apalagi separatisme. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto ketika membubarkan salah satu ormas Islam menyatakan, bahwa pembubaran tersebut didasari oleh ideologi khilafah yang didakwahkan mengancam kedaulatan politik negara yang berbentuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Ancaman apa yang bisa dilakukan secara langsung oleh sebuah ormas, sedangkan ia tak punya senjata, apalagi pasukan? Ormas tersebut hanya menyebarkan ajaran Islam (termasuk khilafah) secara damai dan tanpa kekerasan. Ia tidak pernah menyatakan diri ingin keluar dari NKRI. Bahkan cita-citanya adalah mempersatukan kaum muslimin di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tidak layak label radikal, teroris dan separatis disematkan kepada mereka.
Namun begitulah wajah asli sistem demokrasi-sekuler yang diterapkan di negeri ini. Sistem ini tidak akan memihak kepada Islam karena ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Sistem sekuler mengharuskan adanya pemisahan agama dari kehidupan, sedangkan sistem Islam mewajibkan pemeluknya untuk selalu terikat dengan hukum agama dalam seluruh segi kehidupan. Justru dengan selalu mengikatkan diri dengan hukum-hukum Allah inilah, kehidupan kita akan sejahtera. Karena Allah yang paling tahu hakekat manusia dan cara mengaturnya.
Pandangan Islam Tentang Separatisme
Islam memerintahkan kaum muslimin untuk selalu bersatu dalam jamaah dan tidak bercerai-berai. Allah swt. berfirman: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Q.S. Ali Imron: 103)
Di sisi lain, Islam melarang siapa pun warga negara melakukan pemberontakan. Nabi bersabda: “Siapa saja mencabut ketaatan (kepada imam/khalifah), maka dia akan menghadap Allah tanpa hujah (yang bisa mendukungnya).” (HR Muslim)
Apabila ada yang melanggar, maka negara menerapkan sanksi tegas berupa had. Sanksi had bagi pelaku makar adalah diperangi sebagai pelajaran (qitâl ta’dîb) bagi mereka, bukan diperangi untuk dihabisi (qitâl harb) (al-Mâliki, Nidzâm al-‘Uqûbât, hal. 79).
Rasulullah saw. bersabda: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” Maka, negara Islam akan selalu berusaha menjadi yang terbaik dalam segala bidang dan mewujudkan kemandirian untuk menutup celah intervensi asing.
Dengan demikian, segala bentuk separatisme akan segera teratasi dan kesejahteraan rakyat dapat segera terwujud. Hanya sistem Islam yang mampu melakukan hal ini. Maka, sudah selayaknya kita ikut berupaya mewujudkannya.
Komentar