OTT Romy Guncang, Elektabilitas Goyang

Opini276 views

Oleh: Risnawati, STP (Staf Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kolaka)

Korupsi di Indonesia ibarat sebuah wabah penyakit yang telah menyebar luas ke seantero negeri, seolah membenarkan ungkapan Prabowo tentang korupsi di Indonesia sudah memasuki stadium empat. Sampai saat ini, berita terkait korupsi di kalangan pejabat pemerintahan masih sering menghiasi media online atau akhir-akhir ini. Seolah tidak ada habisnya, korupsi yang dilakukan oleh pemilik wewenang di kalangan teras masih saja mengalir deras.  Kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang dilakukan oleh KPK terhadap Romy, yang diduga terkait suap jual beli jabatan, menambah catatan buruk praktek korupsi yang tak kunjung selesai.

Seperti dilansir dari Tribunnews.Com, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti Kementerian Agama (Kemenag) yang masuk dalam pusaran tindak pidana korupsi suap jual beli jabatan. Pasalnya, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhamad Muafaq Wirahadi dan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin baru saja ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Kemenag seharusnya jadi kementerian yang bebas dari segala macam tindak pidana korupsi.

“Kementerian Agama itu seharusnya kementerian yang paling bersih dan harus menjadi contoh, bahkan harus menjadi contoh dari KPK sendiri. Kita berharap ke Pak Menteri untuk memperbaiki sistem tata kelola di Kementerian Agama itu agar tidak terulang,” ucap Laode di Gedung Penunjang KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (18/3/2019).

Dikutip juga dalam Jakarta, Faktualnews.Co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus mendalami kasus korupsi jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag), yang menyeret Ketua Umum Partai Persantuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Romy sebagai tersangka. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, pihaknya masih akan terus melakukan pendalam terkait kasus tersebut. Termasuk mendalami peran-peran pihak-pihak lain yang diduga ikut terlibat dalam kasus korupsi ini. Oleh sebab itu, KPK bakal memperkaya penyelidikan terhadap pihak lain termasuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.

“Tentang keterlibatan pihak lain dalam kasus ini, pada kesempatan ini KPK masih berupaya untuk memperkaya semua informasi yang berhubungan dengan kasus ini,” ujar Laode saat menjawab pertanyaan wartawan tentang keterlibatan Menag Lukman saat konferensi pers di Jakarta, Sabtu (16/3/2019).

Menyusuri Akar Masalahnya

Korupsi yang ada di Indonesia seperti sebuah penyakit bawaan yang sulit disembuhkan. Sebenarnya faktor apa yang menjadi penyebab timbulnya korupsi di Indonesia?.Korupsi didefinisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus Hukum, hlm. 231).

Menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa korupsi pejabat dan kepala daerah masih saja terus terjadi? Padahal upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan? Ada beberapa faktor yang menjadi sebab maraknya kasus korupsi. Pertama, sistem sekulerisme dengan akidah pemisahan agama dari Negara dan kehidupan menyebabkan nilai-nilai ketaqwaan hilang dari politik dan pemerintahan. Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi.  Butuh biaya besar untuk membiayai kontentasi menjadi kepala daerah bahkan presiden, tidak mungkin tertutupi dengan gaji dan tunjangan selama menjabat. Begitu pula dalam sistem politik yang ada, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, bahkan kepentingan koruptor. Hal mendasar adalah sistem hukum. Sayangnya dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Disitulah kendali partai, kepentingan kelompok, pribadi, dan cukong pemberi modal politik amat berpengaruh. Kelima, sering terjadi ketidakpaduan antar lembaga dan aparat. Aroma pelemahan KPK yang disinyalir diantaranya melalui hak angket adalah sinyalemen hal itu. Di sisi lain, masyarakat merasakan KPK masih terkesan tebang pilih dan tersandera oleh kepentingan politik politisi dan parpol bahkan lembaga lain. 

Kemudian sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga ringan. Jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor pun tidak jera. Pemberantasan korupsi akan sangat sulit dilakukan jika sistem yang digunakan masih sistem kapitalisme-sekular, buktinya sampai saat ini masalah korupsi tidak pernah tuntas bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya,  Hal ini terjadi karena sistem sekuler yang sedang diberlakukan saat ini justru menjadi sebab maraknya korupsi. Oleh karena itu, diperlukan sistem yang mampu berantas masalah korupsi ini, dan sistem itu tidak lain adalah Islam, sistem yang mampu menyelesaikan korupsi hingga akarnya. 

Islam Punya Solusi

Dalam islam, korupsi merupakan perbuatan yang keji. Karena banyak mendzolimi masyarakat banyak. Secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut Syariah Islam diantaranya, Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi SAW pernah bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari). Umar bin Khaththab pernah berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari,”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk….”

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW,”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar,”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”

Ketiga, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan  kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).

Keempat, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Kelima, adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.

Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”

Karena itu dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi adalah di tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang secara sistemik. Pertama: pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok, dan ketiga, pengawasan oleh negara. Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi.

Kalau memang korupsi telah terjadi, Syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).

Alhasil, hanya Islam yang mampu memberantas korupsi, maka islam harus harus diterapkan secara menyeluruh, tidak sebagian-bagian demi sempurnanya kemaslahatan yang menyejahterakan semua masyarakatnya. Karenanya, sudah sangat mendesak untuk menerapkan Islam secara kaffah agar korupsi tidak menjadi penyakit kanker yang mengrogoti bahkan mematikan negeri ini.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah: 50). Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Komentar