Oleh: Eka Dwi Novitasari
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Peribahasa ini sepertinya cocok untuk negeri kita tercinta, masalah datang bertubi tubi. Ibarat benang kusut, yang sulit untuk dipintal kembali. Belum kering sakitnya umat akibat penghinaan simbol islam, pengkriminalisasi ulama, kini bumi Indonesia diguncang dengan rusuh risi Papua. Kejadian bermula dari dugaan rasisme yang dilayangkan kepada mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, hingga buntutnya aksi anarkisme kini terus berlangsung di beberapa titik di wilayah Jayapura. Banyak gedung perkantoran dijadikan sasaran empuk para demostran (https://www.kompas.com, 29/08/19).
Perlu diketahui salah satu alasan kemarahan para demonstran adalah karena ketimpangan ekonomi. Rakyat papua merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Kekayaannya dikuras, namun hasilnya tak diberikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh mantan calon wakil presiden Sandiaga Uno kepada CNN Indonesia, bahwa wajar jika masyarakat Papua marah karena ketimpangan ekonomi yang ada tergolong memprihatinkan. Tingkat kemiskinan masyarakat Papua 8 kali lipat dibanding warga Jakarta. (cnnIndonesia.com, 22/08/19)
Beliau menambahkan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Papua meningkat hampir 60 ribu orang sejak tahun 2014 hingga 2018. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di Jakarta yang hanya 3,5 persen, jumlah penduduk miskin di Papua mencapai 28 persen. Sementara Papua Barat hampir 23 persen.
Masalah Papua, Masalah Indonesia
Kemiskinan, adalah satu dari sekian deret masalah yang dialami oleh rakyat papua. Padahal Papua kayak akan sumber daya alam, tanah mutiara hitam julukannya. Infrastruktur pengelolaan sumber daya alam berdiri megah di Papua. Sebenarnya eksploitasi Papua mulai terlihat dari abad ke-19 hingga kini. Papua masih berada dalam kontrol pemerintahan Belanda. Akibatnya seluruh ekspedisi yang dijalankan di seluruh wilayah Papua hanya untuk memberikan keuntungan kepada pihak Belanda. Dengan menggandeng Amerika dan Inggris (baca: kapitalis), kekayaan alam papua terus dikeruk. Atas skenario inilah yang membuat Papua serasa terjajah, dan ingin merdeka, sehingga referendum terus digaungkan.
Geramnya rakyat Papua sebab tidak berperannya negara dalam pengelolaan sumber daya alam di Papua, negara hanya sebagai wadah untuk melanggengkan eksistensi para kapitalis barat, agar terus mengkucurkan dana yang terus masuk di kantung-kantung para penguasa. PT. Freeport misalnya, kontrak kerja Indonesia-Amerika Serikat hingga kini masih terus diperpanjang, meskipun dengan dalih hampir 50% sahamnya dipegang oleh Indonesia. Simbiosis mutualisme penguasa-pengusaha kian erat, hingga cara-cara keji pun kan dilalui meski menyengsarakan rakyat. Semua itu disebabkan karena sistem kapitalisme-sekularisme, yang hanya berlandaskan asas manfaat, hanya berkutat pada persoalan untung-rugi, meskipun merugikan bagi rakyat, tapi menguntungkan bagi kapitalis maka terus dilakukan. Sebab sekat nasionalisme, terpaksa Papua mengurus wilayahnya sendiri.
Islam Solusi Tuntas
Padahal semestinya, seluruh kekayaan alam dikelola dan dikembalikan hanya untuk kepentingan rakyat. Dalam islam, manusia berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. Artinya sesuatu itu merupakan milik umum, tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, kelompok ataupun negara sekalipun. Namun, agar semua bisa mengakses dan mendapatkan manfaat dari ketiganya, negara mewakili rakyat mengatur pemanfaatannya, sehingga semua bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari harta-harta milik umum itu. Dalam negara yang menerapkan sistem Islam, pengelolaan sumber daya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak diatur, sehingga dapat didistribusikan kepada rakyat secara merata. Itulah peran negara. Bukan malah menyuruh rakyatnya saling memaafkan dan bersabar, tanpa melakukan aksi yang nyata.
Teringat kisah seorang khalifah Umar bin Abdul Aziz, di masa pemerintahannya kesejahtera meliputi seantero negeri. Harta Baitul mall yang berlimpah ruah. Rakyat pun dicari cari untuk menerima zakat. Namun, tak ada yang mau menerima. Hal ini menggambarkan kondisi saat itu sangat makmur. Pernah suatu ketika anaknya masuk ke dalam ruangan kerja khalifah membawa keluhan atas ibunya. Lampu lentera yang digunakan pun dimatikan, sebab minyak dalam lampu adalah harta milik rakyat yang tidak boleh ia gunakan untuk urusan pribadi. Belum lagi, saat menyelesaikan urusan dengan kaum non muslim, Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat non muslim. Pernah terjadi kasus antara seorang panglima perang kaum muslim, Qutaibah bin Muslim dengan para dukun di Samarkand. Qutaibah melakukan futuhat (pembebasan) di wilayah Samarkand dengan mengagetkan penduduknya, sehingga mereka tidak berdaya dan rela dengan penaklukan oleh kaum muslim. Bukan dengan jalan menyerukan islam, lalu membayarkan jizyah, jika tidak setuju maka diperangi. Sebenarnya maksud Qutaibah agar tidak membahayakan nyawa penduduk Samarkand dan juga kaum muslim, agar tidak terjadi perang yang menyebabkan banyak korban. Namun ternyata, para dukun Samarkand merasa keberatan karena mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan wilayah futuhat lainnya. Hingga sampailah masalah ini kepada khalifah. Konflik ini diselesaikan oleh Khalifah Umar dengan menunjuk seorang hakim dan menyuruh seluruh kaum muslim keluar dari wilayah Samarkand dan melakukan futuhat sebagaimana yang diperintakan Allah dan Rasul-Nya. Hal inilah yang membuat para dukun takjub dengan keadilan Islam, hingga membuat mereka berbondong-bondong masuk ke dalam Islam. Lembaran demi lembaran sejarah membuktikan keadilan Islam dalam segala situasi, baik terhadap sesama muslim maupun kepada selain muslim. Begitulah semestinya penguasa negeri ini berbuat, agar tercipta kesejahteraan bagi seluruh umat.
Wallahu a’lam bishowab
Komentar