Pasca Hari Guru Nasional, Bagaimana Nasib Guru Honorer? 

Opini464 views

Oleh: Yusriani Rini Lapeo, S.Pd (Pemerhati Pendidikan Konawe, Sulawesi Tenggara)

Tugas dan fungsi guru sebagai pendidik. Pendidik merupakan tenaga profesional yang berfungsi untuk merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Ya, “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.”

Meski tugas sebagai tenaga pendidik tidak ada perbedaan antara guru honorer dan aparatur sipil negara, namun sangat jauh berbeda dengan komisi yang diberikan antara keduanya. Pun untuk mendapatkan gaji tetap dan tunjangan yang lebih, kudu berbondong-bondong mendaftar dan mempersiapkan mental serta skill untuk menjadi ASN.

Nasib Guru Honorer dalam Sistem Sekuler

Sebagian mengira bahwa menjadi seorang guru itu mudah. Memang, profesi sebagai seorang guru itu amat mulia karena berfungsi untuk mencerdaskan anak bangsa, tetapi siapa yang peduli dengan nasib guru honor di Indonesia? Upah yang diterimanya pun harus menunggu per 3 bulan.

Jika komisi yang diberikan kepada para Menteri dan anggota DPR sampai mencapai puluhan juta rupiah bahkan ratusan, maka tidak dengan guru honor. Kalau di kalkulasikan upah yang diterima guru honorer saat ini, paling tinggi Rp.432.000/tiga bulan, bahkan ada yang hanya digaji dengan upah Rp.150.000/tiga bulan (Bukitgagasan.com). Horor bukan?

Dalam sistem sekuler, nasib guru honor tergolong sangat memprihatinkan. Pahlawan tanpa tanda jasa, hanya dihargai dengan upah yang sangat jauh berbeda dengan profesinya. Padahal, abadinya terhadap negara dalam mencerdaskan anak bangsa tidak dapat dipungkiri. Tanpa mereka, apa jadinya putra putri kita kelak.

Kita khawatir, jangan sampai dunia pendidikan kita hanya dijadikan sebagai ladang bisnis oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Sistem sekuler hanya memandang sebelah mata para guru honorer, hingga pemberian upah yang sangat sedikit terhadap mereka dianggap sah-sah saja. Padahal, guru honor adalah sebagian dari masyarakat yang disisi lain mempunyai tanggung jawab terhadap keluarganya.

Jelas bahwa, Pemerintah gagal total memberikan kesejahteraan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa. Yang seyogyanya menjamin kehidupan mereka dengan memberikan tunjangan yang lebih, dan sesuai dengan kinerjanya. Bagaimanapun, status antara guru honorer dan guru ASN dalam profesi itu sama, sama-sama menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik.

Guru Sejahtera dalam Sistem Islam

Jauh sebelum ditetapkannya perundang-undangan tentang tugas dan fungsi guru, Islam sudah lebih dulu mempunyai aturan baku dalam hal dunia pendidikan. Bahkan, kedudukan guru sangat dihargai dan dimuliakan.

Guru dalam Islam, memiliki banyak keutamaan seperti menurut sebuah hadis yang menyebutkan, “Sesungguhnya Allah, para malaikat dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar, semuanya bershalawat kepada muallim (orang yang berilmu dan mengajarkannya) yang mengajarkan kebaikan kepada manusia (HR. Tirmidzi).

Sedangkan gaji guru di masa kejayaan Islam, Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 30.000.000. Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut ASN pun honorer. Apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya guru.

Demikian pula pada masa Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi Rahimahullah, guru begitu dihormati dan dimuliakan. Syekh Najmuddin Al-Khabusyani Rahimahullah misalnya, yang menjadi guru di Madrasah al-Shalāhiyyah setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar (1 dinar hari ini setara dengan Rp. 2.200,000 jadi setara Rp 110,000,000) untuk mengawasi waqaf madrasah. Di samping itu juga 60 liter roti tiap harinya dan air minum segar dari Sungai Nil.

Dari sini bisa kita cermati, bahwa dalam Islam guru tidak saja dihargai dan dimuliakan, tetapi juga disejahterakan dengan gaji yang cukup besar. Penguasa-penguasa muslim pun begitu menghormati jasa seorang guru, maka sangat wajar di era kejayaan Islam peserta didik cukup cerdas dan intelektual.

Penguasa negeri Islam pun saat itu tak tanggung-tanggung memfasilitasi seseorang yang berprofesi sebagai guru. Jika dibandingkan dengan penguasa negeri sekuler saat ini, sangatlah jauh berbeda bak langit dan bumi. Olehnya, jika kita ingin anak-anak kita dididik menjadi anak yang cerdas spritual dan intelektualnya, maka sejahterakanlah nasib guru honorer. Wallahu’alam.

Komentar