Perdagangan Perempuan, Bukti Kerusakan Kapitalisme

Opini475 views

Oleh: Saniawati (Mahasiswi UHO)

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa pelecehan terhadap perempuan semakin menjadi. Perempuan yang seharusnya dimuliakan malah diperlakukan sebaliknya. Sehingga begitu marak terjadi insiden mengenaskan yang terjadi pada mereka, seperti kasus perdagangan terhadap perempuan.

Dikutip dari halaman www.voaindonesia.com, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat ada 29 perempuan jadi korban pengantin pesanan di China selama 2016-2019. Para perempuan dibawa ke China, dinikahkan dengan lelaki di negara tersebut, dengan iming-iming  diberi nafkah besar. Namun, sekjen SBMI, Bobi Anmar Maarif, perempuan ini malah ‘dieksploitasi’ dengan bekerja di pabrik tanpa upah.

Pernikahan diduga untuk menutupi perdagangan manusia. Perempuan-perempuan ini berasal dari Jawa Barat (16 orang) dan Kalimantan Barat (13 orang). Sindikat perdagangan manusia ini akibat keadaan ekonomi sehingga perempuan mau menikahi lelaki asal China dengan berharap kesuksesan di Negeri China. Perempuan pun dipesan 400 juta rupiah, dari uang itu 20 juta rupiah diberikan kepada keluarganya dan sisanya diberikan kepada perekrut lapangan.

Alih-alih hidup bahagia namun fakta berkata tidak. Perempuan dipaksa bekerja siang dan malam tanpa diberi upah. Uang yang dihasilkan diberikan kepada suami dan mertua. Tidak hanya disitu, perempuan dianiaya dan dipaksa berhubungan seksual meski dalam keadaan sakit. Perempuan pun dilarang untuk berhubungan dengan keluarga di Indonesia.

Benar saja ini merupakan tindak perdagangan perempuan berkedok pernikahan. Selama Indonesia masih menjadikan Kapitalisme sebagai pandangan hidup, kasus terhadap perempuan akan terus berlanjut. Meskipun kesetaraan gender dianggap sebagai solusi bagi kaum wanita.

Kaum feminis tidak menyadari bahwa kesetaraan gender ini akan menjadikan wanita semakin terhina, dipandang sebagai obyek dan komoditas yang dapat dicicipi layaknya sebuah barang. Jika ini terus berlanjut dan Kapitalisme masih dijadikan pijakan dalam menentukan kebijakan dan aturan maka akan membahayakan dan mengancam generasi perempuan selanjutnya.

Kasus terhadap perempuan tidak akan terjadi jika Islam dijadikan sebagai pandangan hidup dan mengambilnya sebagai aturan. Akidah melekat dalam diri setiap individu. Disisi lain ini merupakan masalah faktor ekonomi yang dialami oleh rakyat sehingga pemerintah mempunyai kuasa memberi solusi atas persoalan kaum perempuan.

Di dalam Islam perempuan yang tidak lagi memiliki wali dalam memberi nafkah, maka menjadi tugas negara untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Negara dalam hal ini pemerintah juga bersedia memberi pekerjaan bagi lelaki yang tidak memiliki pekerjaan. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi rakyat untuk menjual atau melakukan praktik perdagangan manusia seperti saat ini.

Begitu pula yang terjadi di zaman Rasulullah dan para sahabat ketika mengelola negara. Negara menjamin kebutuhan rakyatnya, menyamaratakan antara kafir dan muslim baik dalam hal kebutuhan hidup maupun hukum. Begitu pula yang terjadi ketika Khalifah Umar Bin Khatab secara diam-diam memberi gandum pada rakyatnya di malam hari. Sungguh besar tanggung jawab seorang pemimpin sehingga Rasulullah dan Sahabat tidak ingin melalaikan tugas mereka.

Sudah saatnya untuk menghidupkan kembali aturan Islam agar kemuliaan dan kehormatan perempuan dijaga dengan bercontoh pada Rasulullah dan para sahabat.

Komentar