Oleh: Fitriani, S.Pd (Pengajar)
Bukan sesuatu hal yang baru jika asing aseng selalu mendominasi perekonomian di negeri yang katanya kaya akan sumber daya alam ini. Bagaimana tidak, setelah menggunungnya utang ribawi negeri dan nyaris 100 persen kekayaan alam mereka kuasai. Kini bisnis online negeri pun tak tanggung-tanggung juga kuasai. Fakta ini sebenarnya sudah lama ada, namun baru menyeruak dan menjadi perbincangan, ketika debat pilpres usai digelar. Saat itu capres petahana Joko Widodo (Jokowi) melontarkan pertanyaan kepada capres Prabowo Subianto soal infrastruktur apa yang akan dibangun dalam pengembangan perusahaan-perusahaan rintisan (start-up) di Indonesia. Istilah unicorn-pun seketika menjadi perbincangan hangat dimana-mana.
Apa itu Unicorn?
Seperti yang dikutip dari teknologi.co.id, unicorn adalah sebutan bagi start-up alias perusahaan rintisan yang bernilai di atas 1 miliar dolar AS atau setara Rp 13,5 triliun (kurs Rp 13.500 per dolar AS). Saat ini ada empat perusahaan startup berstatus unicorn yang berasal dari Indonesia, yaitu GoJek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia. Go-Jek dan Traveloka berbasis transportasi, sedangkan Bukalapak dan Tokopedia merupakan marketplace e-commerce yang merajai pasar Indonesia.
Sayangnya, keempat perusahaan bisnis online ini sahamnya dikuasai asing. Meski pendirinya orang Indonesia, modal usahanya kini dikuasai investor dari luar negeri. Hal ini sudah sering terjadi karena investor dalam negeri masih sulit memberikan suntikan dananya. Butuh banyak pertimbangan sebelum mereka bersedia menanam saham ke startup. Sementara bagi investor asing, Indonesia adalah pasar yang menggairahkan karena transformasi negara ini ke digital begitu pesat, dengan pasar yang juga besar.
Hal ini terlihat dari Go-Jek yang mendapatkan suntikan dana 9,5 miliar dolar (Rp.133 Triliun) dari Google yang berasal dari Amerika Serikat, JD.com, dan Tencent asal China. Bukalapak belum lama ini juga mendapat injeksi dana asing sebesar 1 miliar (Rp. 14 Triliun) dolar dari Mirae Asset Daewoo-Naver Asia Growth Fund, perusahaan investasi asal Korea Selatan. Sementara Tokopedia disokong sebesar 7 miliar dolar (Rp 98 triliun) antara lain dari Alibaba Group, Softbank Group, dan Sequoia Capital yang masing-masing berasal dari China, Jepang, dan India. Adapun deretan investor Traveloka adalah 4,1 miliar dolar (Rp 57,4 triliun) dari Expedia, GFC dan Sequoia Capital dari AS, Hillhouse Capital dan JD.com dari China. (Sindonews.com dan tirto.id, 20/02/2019 )
Bahaya Laten Menanti
Sepintas, adanya perusahaan bisnis online ini mungkin begitu menguntungkan Indonesia. Salah satunya mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Keberadaan unicorn juga memudahkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Seperti teknologi yang dimiliki Tokopedia dan Bukalapak, misalnya, menjembatani produk UMKM dengan para konsumen. Melalui e-commerce, konsumen bisa membeli produk UMKM yang diinginkan di mana pun berada. Begitu pun dengan Go-Jek melalui layanan Go-Food. Konsumen bisa memesan makanan dari warung atau toko makanan UMKM hanya melalui aplikasi ponsel.
Hal ini tentu kemajuan yang cukup membanggakan di tengah era digital yang kian berkembang pesat, jika saja keempat perusahaan bisnis online ini difasilitasi oleh negara dan bukan oleh asing. Sayangnya, kepiluan menghujam kalbu ketika semua itu hanyalah fiktif belaka. Sebab, kenyataannya asing aseng sebagai pemilik saham terbesar menjadi penguasanya. Ini membuat kepemilikan mayoritas saham tak lagi dipegang para founder. Hal ini maklum terjadi, sebab negeri ini masih setia dengan sistem sekularisme kapitalisme. Sistem ini nyatanya telah membuat negeri ini tak bisa mandiri dan bahkan bergantung kepada asing aseng yang selalu haus akan sumber daya alam, serta selalu tergiur dengan peluang bisnis menggiurkan di suatu negeri. Sehingga menjadi wajar, semua seolah berada di genggaman mereka, asing aseng yang begitu mudahnya memberikan investasi besar-besaran.
Kemudian,
tentu kita semua juga sadari bersama bahwa tidak ada makan siang gratis.
Apalagi untuk asing aseng yang memang tujuan hidupnya adalah untuk memperkaya
diri dan menumpuk materi. Terlebih perusahaan online ini dapat merekap data
para pelanggannya. Sehingga rentan dengan soal potensi penyalahgunaan data.
Karena menguasai modal, investor asing bisa seenaknya menguasai dan
menyalahgunakan data pengguna yang dikumpulkan oleh startup unicorn tersebut.
Data-data pengguna ini kemudian bisa diolah untuk banyak kepentingan, termasuk
menggempur pasar Indonesia. Perwakilan investor di manajemen bisa saja melakukan
ini untuk kepentingan jangka panjang pemilik modal. Jika itu terjadi, Indonesia
harus siap-siap hanya jadi pasar untuk produk asing yang membanjiri.
Masyarakat akhirnya hanya akan menjadi konsumen yang disetir sesuai dengan
kampanye dan propaganda yang dibuat perusahaan yang dikuasai oleh asing aseng.
Apalagi, kita semua mafhum bahwa dalam bisnis digital urusan data adalah
segalanya. Terlebih, kita termasuk negara yang belum cukup baik dalam mengelola
dan melindungi data warganya.
Dari sini kita juga bisa menyimpulkan bahwa betapa mandulnya peran negara dalam melindungi data masyarakat, serta selalu memberikan peluang besar kepada asing aseng untuk menguasai aset-aset penting negeri, hanya karena mereka memiliki modal jumbo. Unicorn terbukti memfasilitasi kendali asing atas karya intelektual anak bangsa yang berprestasi dan kreatif. Tentu saja, ini bukan yang terjadi pertama kali, melainkan telah berkali-kali. Negara selalu berpangku tangan mengapresiasi karya anak bangsa, dan justru menyerahkan kepada asing untuk memfasilitasinya. Inilah konsekuensi logis ketika ilmu dijadikan faktor produksi (dikomersialkan) dan sayangnya negara malah abai terhadap fungsinya. Sehingga tak mengherankan jika negeri ini pada akhirnya akan di setir dan di cengkeram oleh asing aseng, sang investor miliaran dolar tersebut. Inilah dampak dari bercokolnya sistem sekularisme kapitalisme. Memporak-porandakan negeri yang mayoritas kaum muslim terbesar di dunia ini.
Maka satu-satunya cara agar Indonesia bisa terlepas dari segala bentuk cengkeraman asing aseng ialah dengan mengambil Islam sebagai sistem yang mengatur seluruh tatanan kehidupan. Semua sumber daya alam negeri akan dikelola langsung oleh negara, dan hasilnya dikembalikan ke umat. Kemajuan sains dan teknologi akan menjadikan bangsa bermartabat, mandiri dan kuat, yang tidak lain adalah dengan mengembalikan fungsi ilmu dan negara, yakni hanya dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Sehingga tak ada lagi cengkeraman asing dalam bentuk investasi. Wallahu A’lam Bissawab.
Komentar