Oleh: Susiyanti, SE (Pemerhati Sosial Asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara)
Bukan suatu hal yang baru lagi di tengah masyarakat kita saat ini, kasus penggunaan narkoba terus saja bertambah setiap tahunnya. Kondisi negeri ini pun telah cukup mengkhawatirkan, khususnya dalam hal penggunaan dan penyebaran narkoba.
Hal ini diperkuat, dari ungkapan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Irjen Pol Arman Depari menyatakan bahwa dari angka prevalensinya, sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Kurang lebih 4 sampai 4,5 juta itu besar sekali angkanya. Bahkan berdasarkan hasil survei prevalensi penyalahgunaan narkoba, jumlah kematian akibat mengkonsumsi narkoba, lebih dari 30 orang sampai 37 orang setiap harinya (Kompas.com, 09/02/2019).
Seperti belum lama ini penangkapan seorang wanita berinisial HS alias Ria (29) di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan dengan barang bukti berupa 10 butir ekstasi dan 2,4 gram sabu. Adapun menurut Kepala Subdirektorat II Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Dony Alexander mengatakan bahwa barang bukti yang ditemukan adalah 1.300 butir ekstasi berat 3,8 gram, sabu seberat 5 gram, satu buah bong atau alat hisap, satu buah timbangan, dan 10 buah kantong plastik kosong (Cnnindonesia.com, 15/06/2019).
Jika ditelisik permasalahan narkoba terus saja bertambah setiap tahunnya dan kini sudah masuk dalam tahap yang kritis dan mengkhawatirkan. Sebab, apabila berhasil ditemukan kasus besar peredaran dan jaringan narkoba, maka tidak berselang lama, juga akan ditemukan lagi peredaran dan jaringan narkoba kelas kakap. Tapi anehnya, hal itu tidak menyelesaikan masalah. Namun, malah membentuk berbagai ‘sel-sel’ yang senantiasa tumbuh kembali dan cepat berkembang dan tak ada matinya.
Bahkan hingga saat ini, sanksi yang diberikan kepada para pengedar dan pengguna narkoba masih sangat ringan, karena belum dapat memberikan efek jera. Sehingga tak mengherankan hampir sebagian besar nama yang pernah mendekam dalam jeruji besi karena kasus narkoba secara berulang keluar masuk penjara dengan kasus yang sama yaitu narkoba.
Kalau pun diberikan hukuman dan dimasukkan ke dalam bui, tetap saja tidak memberikan efek jera. Hingga setelah keluar dari penjara bukannya malah bertobat, tetapi justru ‘statusnya meningkat’. Misalnya saja sebelum masuk bui hanya sebatas pengguna, tetapi setelah bebas malah menjadi pengedar kelas teri. Bahkan, ada pula yang sebelumnya pengedar kelas teri meningkat menjadi pengedar kelas kakap, demikian seterusnya.
Tidak hanya itu, penyebab tingginya penyalahgunaan narkoba hingga level darurat ini bukan hanya karena faktor individu yang ingin coba-coba dan tawaran dari pengedarnya, tapi mencakup berbagai aspek berskala sistemik. Bahkan, lingkungan masyarakat dan penerapan aturan dari negara pula yang menjadi faktor terbesar yang memperparah kasus ini. Semua itu tak lepas, dari sistem liberal kapitalisme yang diadopsi negeri ini.
Sementara itu, dalam fikih Islam, narkoba disebut sebagai al mukhaddirat, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keharamannya. Sebab, narkoba diharamkan karena dua hal yaitu: Pertama, nas yang mengharamkan narkoba adalah hadis dari Ummu Salamah ra. bahwa Rasulullah saw. telah melarang dari segala sesuatu yang memabukkan (muskir) dan melemahkan (mufattir) (HR Ahmad, Abu Dawud). Yang dimaksud mufattir adalah zat yang menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan malas (tatsaqul) pada tubuh manusia.
Kedua, karena menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia. Dalam fikih, dikenal kaidah Al ashlu fi al madhaar at tahrim (hukum asal benda yang berbahaya/mudarat adalah haram).
Karena keharamannya maka solusi Islam dalam mencegah dan memberantas narkoba di antaranya: Pertama, dengan cara meningkatkan ketakwaan setiap individu dan masyarakat kepada Allah. Inilah yang kemudian akan menjadi pengontrol bagi diri sendiri dan masyarakat. Sehingga seseorang tidak akan menggunakan narkoba lagi, mengedarkan bahkan memproduksinya.
Kedua, penerapan sistem hukum pidana yang menimbulkan efek jera. Karena sistem pidana Islam, selain bernuansa ruhiah juga bersumber dari Allah swt. Sehingga dapat memberikan efek jera. Bagi para pengguna narkoba yaitu dipenjara sampai 15 tahun atau dikenakan denda yang besarnya diserahkan kepada qâdhi (hakim). Adapun bagi yang mengedarkannya atau bahkan pembuatnya; maka bisa dijatuhi hukuman mati, sesuai dengan keputusan qâdhi (hakim).
Ketiga, mempekerjakan aparat penegak hukum yang bertakwa. Dengan sistem hukum pidana Islam yang tegas yang bersumber dari Alquran dan sunah. Sehingga hukum tidak akan diperjual belikan lagi.
Dengan demikian, semua hal itu tidak mungkin diwujudkan dalam sistem yang liberal. Karena hal itu hanya dapat terlaksana, apabila diterapkan aturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Sehingga akan menghasikan aparat penegak hukum yang bertakwa, bahkan mereka akan melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin. Sebab, mereka sadar betul bahwa mereka sedang menegakkan hukum Allah dan akan diminta pertanggung jawaban terkait apa yang mereka lakukan yang berimplementasi pada pahala dan siksa. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Komentar