Realitas Demokrasi

Opini203 views

Oleh : Fatmawaty (Pemerhati Sosial)

Pesta Demokrasi yang diwujudkan dalam bentuk Pemilu 2019 menimbulkan banyak polemik, dari sebelum pelaksanaan hingga hari ini. Dimulai dari kecurangan-kecurangan yang terjadi pada saat pemilu dan perhitungan suara yang dinilai tidak sesuai, hadirnya oknum-oknum yang melakukan kecurangan untuk melanggengkan nama paslon tertentu namun tak ada dari mereka yang mendapatkan sanksi atas kecurangan tersebut. Hal ini  membuat geram masyarakat.

Selain itu, banyaknya petugas KPU yang menjadi korban keganasan pemilu dalam sistem Demokrasi, bahkan mencapai 700 orang, dinilai penuh dengan kejanggalan dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Sehingga masyarakat mulai mempertanyakan dan meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah atas kisruh pemilu yang terjadi di tahun 2019 ini dengan membuat suatu gerakan yaitu Gerakan Kedaulatan Rakyat (GKR). Gerakan ini yang merupakan aspirasi dari masyarakat yang ingin menyampaikan kebenaran dan menentang kecurangan. Selanjutnya GKR akan menggelar aksi besar-besaran pada tanggal 22 Mei 2019 bertepatan dengan jadwal pengumuman presiden dan wakil presiden periode mendatang yang telah disepakati.

Namun tak sesuai dengan dugaan ternyata tanggal 21 Mei 2019 dini hari pengumuman telah terlaksana dan memenangkan paslon 01, tentu hal ini sangat disayangkan karena tidak sesuai dengan jadwal yang telah di tetapkan dan menolak hasil keputusan tersebut dikarenakan banyaknya praktik dugaan kecurangan yang terjadi selama pemilu. Jelas masyarakat sangat kecewa dibuatnya, bahkan ada yang mengaitkan pengumuman yang dilakukan tengah malam dan secara diam-diam ada hubungannya dengan aksi yang akan digelar pada tanggal 22 Mei 2019.

Dikutip dari suara.com dugaan Tengku Zulkarnain bahwa pengumuman yang dipercepat sengaja dilakukan agar aksi 22 Mei dikategorikan sebagai aksi makar terlebih pada aksi tersebut banyak tokoh-tokoh yang akan hadir dengan begitu akan ada alasan untuk melakukan penangkapan terhadap para peserta aksi. Aksi GKR yang berlangsung di depan BAWASLU awalnya tertib dan damai namun selanjutnya terjadi kericuhan dan bentrok dengan aparat kepolisian. Dilaporkan oleh Anies Baswedan jumlah korban tewas 8 orang dan luka-luka 730 orang yang terdiri dari peserta aksi dan warga sipil termasuk petugas medis dan anak dibawah umur. Hal ini pula menuai banyak perhatian salah satunya dari kelompok Relawan Kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committe (MER-C) akan dugaan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang dinilai sangat kelewatan dan melanggar aturan karena menggunakan senjata peluru tajam dalam mengamankan aksi yang ditemukan pada tubuh korban (viva.com).

Pada saat yang sama pula Kominfo atas izin pemerintah menutup media sosial selama beberapa hari untuk mencegah penyebaran hoaks. Yang menjadi pertanyaan, tindakan tersebut untuk mencegah penyebaran hoaks ataukah menutup akses untuk menyampaikan kebenaran fakta yang terjadi?

Sungguh, begitu banyak kejanggalan dan permasalahan dalam sistem Demokrasi saat ini. Proses untuk memilih pemimpin saja memakan banyak korban jiwa dan penuh dengan kecurangan. Demokrasi yang katanya merupakan sistem dengan slogan ‘Kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’, faktanya justru bersebrangan.

Demokrasi dengan ciri khas Kapitalisme-Sekularismenya melahirkan sistem pemerintahan yang hanya membebek di bawah ketiak para pemilik modal, represif terhadap rakyat dan membungkam siapa saja yang ingin menyampaikan kebenaran dengan isu radikal dan terorisme. Kekuasaan seakan hanya menjadi tameng untuk melanggengkan kekuasaan para kapitalis di negeri ini dan sangat otoriter terhadap masyarakatnya.

Situasi berbeda akan terjadi ketika Islam menjadi ideologi negara. Dalam Islam, tugas negara adalah sebagai perisai yang menjaga kaum muslimin termasuk ketakwaan individu dan masyarakat bahkan nyawa umat.

Islam menetapkan kedaulatan itu ditangan syara’ yakni semua aturan bersumber dari Sang Pencipta. Khalifah (kepala negara) yang melegalisasi dan umat sebagai pelaksananya. Namun tidak menjadikan kekuasaan dalam sistem Islam terkesan otoriter dan dzolim terhadap rakyat. Dengan adanya struktur khusus yaitu Majelis Umat, maka umat bisa menyampaikan aspirasinya jika terdapat kedzoliman dalam proses penerapan sistem ini.

Tidak seperti sekarang, dimana berbagai elemen masyarakat dibungkam ketika ingin mengadukan kecurangan maupun ketidak adilan yang mereka dapati. Menelisik realitas rusak tersebut, sudah sepantasnya aturan Demokrasi diganti dengan yang lebih baik. Karena tidak mungkin berharap pada Sosialisme (Bersumber dari manusia juga), maka Islam menjadi satu-satunya ideologi yang pantas untuk menggantinya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Komentar