Reminesensi Peran Muslimah di Hari Perempuan Sedunia

Opini453 views

Oleh: Rosmiati, S.Si

Peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, tetapi banyak orang Eropa yang percaya bahwa tanggal 8 Maret 1907 merupakan awal dari terbentuknya Hari Perempuan Internasional.” (Temma Kaplan)

Hari perempuan sedunia jatuh pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya. Peringatan itu pertama kala ditetapkan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1974. Namun siapa sangka, pergolakannya sudah terjadi jauh sebelumnya yakni pada tahun 1857. Cukup lama menunggu legalitas dari badan dunia untuk pengesahannya. Hingga kini reminesensi mendunia itu masih dilakukan dengan cara yang berbeda-beda ditiap negera.

Dibalik euforia dalam setiap perayaannya, ternyata peristiwa ini dilatarbelakangi oleh sejumlah insiden yang sungguh tragis. Pada saat itu sejumlah wanita di Kota New York Amerika Serikat mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dimana sering kali mereka dihantui dengan tindak kekerasan. Selain perlakuan fisik, sejumlah pekerja buruh perempuan yang kala itu bekerja di salah satu pabrik garmen merasa tidak puas dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pihak korporasi. (Wikipedia)

Para pekerja wanita  diintimidasi dan diperlakukan secara  tidak manusiawi oleh pihak pabrik. Hal ini terbukti dengan minimnya upah yang diterima oleh setiap pekerja dimana nominalnya tidaklah sepadan dengan tingginya jam kerja. Ketidakpuasan inilah akhirnya mendorong para kaum hawa kala itu turun ke jalan-jalan melakukan demonstrasi demi menuntut hak-haknya. Gaung kesetaraan gender pun mulai tercium sejak peristiwa ini. (Okezone, 08/03/2018)

Pernah Hidup Dalam Kelamnya Peradaban

Tak bisa dipungkiri bahwa perjalanan hidup kaum wanita pernah mengalami masa-masa tersuram sepanjang sejarah peradaban hidup manusia. Sebut saja pada masa Arab Jahiliyah,  wanita kala itu tak membawa arti apa-apa dalam kehidupan. Seorang anak perempuan dianggap aib yang sangat memalukan bagi ayah dan keluarga. Hak-hak hidup selayaknya manusia pada umumnya tidak ada baginya. Demi menjaga marwah nasab keluarga dan keturunannya bayi perempuan yang baru lahir pun langsung dikubur hidup-hidup.

Al-Qur;an bahkan sangat jelas merekam kisah ini dalam surah An-Nahl: “Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan ia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?Ketahuilah. Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS An-Nahl[16]:58-59).

Selain pada masyarakat Arab Jahiliyah, kegalauan juga melanda masyarakat Eropa di masanya. Beberapa ahli di Eropa kerap mendiskusikan perkara kaum wanita, apakah mereka mempunyai hak hidup sebagaimana kaum lelaki ataukah tak ubahnya ia seperti binatang, yang terlahir hanya sebagai alat pemuas nafsu lelaki dan tidak mempunyai hak hidup. Naudzubillah. Sungguh sangat rendahnya peradaban manusia kala itu. Bahkan sosok yang sejenis dengannya (manusia) pun masih ia pertanyakan.

Muliah dengan Perannya

Kehadiran Islam seakan mengangkat kembali marwah kaum wanita dari lembah kenistaan menuju mimbar kemuliaan. Al-Qur’an pun seakan membantah kebiasaan buruk yang tengah eksis ditengah-tengah kehidupan masyarakat Arab. “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami beri kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl [16]:97).

Senada dengan itu, wanita pun diberi peran penting dalam tonggak peradaban dunia. Dimana ia sebagai pencetak generasi-generasi emas penerus risalah perjuangan para nabi. Jika mengutip petuah dari Syekh Muhammad ibn Shalih Al-Utsaimin bahwa, “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, perbaikan secara zahir dimana hal ini kebanyakan dilakukan oleh para kaum lelaki yang lebih dominan dan biasanya perbaikan ini dilakukan di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya. Kedua, perbaikan yang dilakukan oleh para kaum perempuan di rumah-rumahnya.

Perbaikan yang dilakukan di rumah-rumah inilah peran penting seorang wanita. Di rumah ia adalah ibu bagi anak-anaknya, pemberi pendidikan pertama (madrasah ula’) bagi para buah hatinya. Membekali anak-anaknya dengan  ilmu agama (Islam) ialah menjadi sebuah keharusan baginya. Sebagaimana pesan Nabi Saw dalam sabda yang berbunyi “Setiap anak yang lahir keduanya pada fitrahnya muslim, orangtuanya-lah yang menjadikannya Nasrani, Yahudi dan Majusi.

Peran ibu pun semakin berat ditengah kehidupan yang sekuler seperti saat ini. Dimana segalah sesuatu yang ada tidaklah dibangun atas dasar nilai-nilai agama. Agama hanya dijadikan simbol semata dalam kehidupan yang tidak harus dipraktikan dalam kehidupan secara menyeluruh.  Alhasil generasi kian parah dan semakin jauh dari nilai-nilai islam. Ibu pun dituntut untuk peka dengan perkembangan sang anak. Membekali diri dengan sejumlah ilmu ialah menjadi sebuah keharusan baginya. Ia pun harus mampu meng-counter pemahaman anak yang diperolehnya dari luar rumah.

Olehnya itu, tepatlah ucapan salah satu ustad, bahwa diabad ini wanita ketika memutuskan untuk menikah, ia harus siap untuk menjadi Ibu tidak semata siap untuk menjadi seorang pengantin. Maknanya ia harus membekali diri dengan ilmu yang mempuni baik itu ilmu pengasuhan maupun pendidikan anak serta ilmu-ilmu berumah tangga lainnya yang tentunya bernafaskan Islam. Dikarenakan amanah menjadi ibu merupakan tugas terlama dalam bahtera rumah tangga dan kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT.

Tak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab rusaknya generasi hari ini juga disebabkan oleh lalainya seorang ibu dalam menghayati perannya ketika telah berumah tangga. Sangat jarang para Ibu  duduk bersama dengan sang buah hati, kemudian memberinya suplai nasehat dan motivasi. Hal ini pun disebabkan dari dangkalnya kadar keilmuan sang ibu yang memang sedari awal tidak dipahamkan oleh keadaan dimana ia dahulu menuntut ilmu. Sebab sangat jarang perkara kewajiban menjadi ibu ini dibahas dalam kurikulum pendidikan sekolah sebagaimana bidang ilmu lainnya.

Dari peliknya persoalan remaja dan generasi hari ini, menjadi ladang pahala bagi seorang wanita (ibu). Mendidik anak-anaknya mengenalkannya pada Islam dan menjaganya agar tidak terjerumus dalam lingkaran sesat pergaulan bebas, kelak akan berbalas surga. Sebab amanah ini sejak awal datang dari Allah Swt dan Dia juga yang akan membalasnya. Maka berbahagia dan berbanggalah seorang wanita yang telah mengemban amanah menjadi seorang pendidik generasi. Sungguh tak ada balasan terbaik di akhirat kelak selain mendapatkan Surga-Nya. Olehnya itu, berilah sumbangsi terbaik dalam mengawal lahirnya generasi-generasi hebat sang penyongsong peradaban mulia (Islam). Wallahu’alam.

 

Komentar