Rezim Penyanyi Mitos Kembali Berkuasa!

Opini211 views

Oleh: Meto Elfath (Founder Forum Dakwah Intelektual Muda Islam Sabulakoa)

Fix. Tak ada duanya. Indonesia akan kembali hidup dalam bayang-bayang mitos perubahan, mitos keadilan dan mitos kesejahteraan. Hal ini adalah konsekuensi logis dari dimenangkannya rezim pengemban gagasan mitos. Bagaimana mungkin perubahan akan terwujud, jika yang akan diwujudkan itu adalah mitos? Salah satu mitos yang diemban rezim terpilih adalah Mitos Ekonomi Pancasila.

Sebagaimana diberitakan republika.co.id (01/09/2018), Cawapres (baca: Wapres terpilih) KH. Ma’ruf Amin, menilai bahwa Sistem Ekonomi liberal yang selama ini diterapkan di Indonesia sebatas menguntungkan kelompok konglomerasi dan tak berdampak bagi masyarakat terbawah. Karena itu, Ma’ruf Amin bertekad ingin mengganti sistem ekonomi berdasarkan Pancasila. “Kita akan siapkan landasan ekonomi yang kuat ketimbang sistem lama yang liberal”, ungkap Ma’ruf Amin kepada wartawan di Menteng, Jakarta Pusat. (https://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/09/01/pedd4l366-kh-maruf-ingin-ganti-sistem-ekonomi-berlandaskan-pancasila).

Setidaknya, pernyataan KH. Ma’ruf Amin tersebut adalah bentuk pengakuan tentang beberapa hal dalam masalah ekonomi:

(1) Pengakuan bahwa sistem ekonomi yang selama ini diterapkan di Indonesia adalah sistem ekonomi liberal. (2) Pengakuan bahwa penerapan sistem ekonomi liberal telah menciptakan disparitas ditengah-tengah masyarakat antara kelompok Konglomerat dengan masyarakat bawah yang melarat. (3) Pengakuan akan pentingnya sistem ekonomi pengganti, dalam hal ini sistem ekonomi Pancasila adalah alternatif pilihan yang disebutkan oleh Kyai Ma’ruf.

Pengakuan yang pertama dan kedua merupakan fakta objektif yang tak terbantahkan. Tetapi, pengakuan yang ketiga hanyalah rekomendasi subjektif dari seorang Ma’ruf Amin dan orang-orang dungu yang bersamanya.

Terhadap kenyataan bahwa selama ini yang diterapkan bukan sistem ekonomi Pancasila, melainkan sistem ekonomi liberal beserta semua prestasi negatifnya merupakan kenyataan yang sangat aneh. Sebab, bagaimana mungkin negara ini berteriak berdasar Pancasila, tetapi dijalankan dengan sistem lain yang bertentangan dengan Pancasila?

Sementara itu, wacana tentang istilah sistem ekonomi Pancasila bukanlah hal yang baru, bahkan lagu lama yang telah ada sejak awal kemerdekaan. Moh Hatta disebut-sebut sebagai penggagas awal konsep demokrasi ekonomi yang kemudian diterjemahkan sebagai Ekonomi Pancasila. Wacana ini terus dinyanyikan sepanjang sejarah bangsa oleh para ekonom semisal Emil Salim, Mubyarto, Sri Edy, dkk. Mereka semua mewacanakan sistem ekonomi Pancasila dan keharusan untuk mengaplikasikan dalam ranah praktis.

Sebagai sebuah wacana, sistem ekonomi Pancasila wajib untuk ditelaah secara kritis untuk menguji apakah benar-benar suatu sistem yang wujud dalam realitas atau hanya sekedar mitos yang selalu didongengkan sepanjang sejarah bangsa ini. Setidaknya, harus ditinjau dengan dua pendekatan sederhana, yaitu pendekatan Normatif-Ilmiah dan Politis-Praktis.

Pertama. Secara Normatif, wacana ekonomi pancasila didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar ’45. Para penggagasnya menyebutkan bahwa sistem ekonomi Pancasila merupakan terjemahan dari setiap sila Pancasila dalam aspek ekonomi, khususnya sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terjemahan itu kemudian diformulasikan pada Preambule dan Batang tubuh UUD ’45 serta berbagai Undang-Undang derivatnya.

Diantara tujuan negara yang disebutkan dalam Preambule UUD ’45 adalah untuk Memajukan Kesejahteraan Umum dan Keadilan Sosial. Inilah yang menjiwai batang tubuh UUD ’45 yang berkaitan dengan urusan ekonomi, seperti pasal 27 ayat (2), 28H ayat (4), serta pasal 33 dan 34 UUD ’45. Ini pulalah yang disebut ekonomi pancasila.

Jika dicermati konsep ekonomi Pancasila yang disebutkan dalam konstitusi, maka konsep itu sangatlah tidak ilmiah jika dianggap sebagai sistem khas yang berdiri sendiri, dengan dua alasan:

(1) Basis ideologi yang melahirkan sistem ini adalah ideologi kapitalisme-demokrasi yang bertumpu pada akidah sekulerisme [Baca: UUD ’45 Pasal 1 ayat (2)]. Diantara prinsip dasar demokrasi adalah adanya Freedom/Kebebasan individu (Kebebasan berkeyakinan, berpendapat, berekspresi dan kepemilikan).

Dari kebebasan kepemilikan, lahir ekonomi kapitalisme liberal yang menerjemahkan Distribusi Keadilan Ekonomi pada mekanisme Pasar Bebas. Kenyataan ini merupakan konsekuensi atas eksistensi Pancasila yang bukan sebagai ideologi tersendiri, melainkan bagian yang melekat pada Kapitalisme.

(2) Konsep ekonomi Pancasila yang menjanjikan hadirnya peran serta negara dalam pelayanan ekonomi rakyat, sesungguhnya hanyalah upaya untuk meng-Indonesiakan sistem ekonomi Kapitalisme Liberal agar lebih mudah diterima oleh rakyat. Inilah yang disebut solusi tambal sulam Kapitalisme, yaitu berusaha menjembatani kesenjangan ekonomi ditengah masyarakat, sembari membiarkan disparitas itu tetap terjadi. Suatu harapan palsu.

Jadi, pada dasarnya negara hanyalah subjek yang dihadirkan untuk menjamin terciptanya persaingan bebas kepemilikan, seraya menghibur dengan jaminan-jaminan sosial bagi rakyat yang kalah dalam persaingan itu agar tetap survive menikmati kekalahannya, setelah dimasukkan dan dibiarkan tanpa ampun bertarung di Ring Pasar Bebas yang tak mengenal kelas berat atau ringan.

Kedua. Secara Politis-Praktis, sepanjang sejarah perjalanan negeri ini, setiap rezim yang berkuasa selalu menyebut dirinya paling Pancasilais atau sedang mengamalkan dan menjaga Pancasila. Tetapi lihatlah apa yang terjadi disemua rezim itu, baik Orde Lama (ORLA), Orde Baru (ORBA) maupun Orde Reformasi yang kini menjadi Orde Hoax!

Rezim ORLA oleh Ir. Soekarno (1945 – 1967) dengan konsep NASAKOM cenderung berpijak pada ideologi Sosialisme-Komunisme. Rezim ORBA (1967-1998) oleh Jend. Soeharto dengan gelar Bapak Pembangunan Nasional telah mengarahkan Indonesia kepada Kapitalisme Liberal. Demikian juga, semakin masuk dikedalaman Kapitalisme Liberal pada masa Orde Reformasi oleh B.J Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wachid (1999-2001), Megawati Soekarno putri (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) serta Joko Widodo (2014-Sekarang).

Meski demikian, masing-masing rezim menyebut dirinya sebagai pengamal dan penjaga Pancasila sesuai dengan amanah konstitusi. Pertanyaannya, mana yang benar-benar Pancasilais? Apakah ORLA yang cenderung Sosialisme? Atau ORBA yang Kapitalisme-Liberal? Ataukah Orde Reformasi yang lebih Kapitalisme-Liberal? Artinya, konsep Pancasila (termasuk bidang ekonomi) adalah konsep abstrak yang elastis sehingga praktik konkritnya mengikuti tafsiran perut rezim yang berkuasa berdasar pada Ideologi yang dianutnya.

Karena itu, perlu dipertanyakan kepada Ma’ruf Amin tentang tafsir Sistem Ekonomi Pancasila yang ia maksud. Bagaimana wajah sistem ekonomi Pancasila ala Ma’ruf Amin dan bagaimana pula cara meraihnya? Apakah akan menggunakan tafsiran Sosialisme-Komunisme atau tetap istiqomah dengan Kapitalisme-Liberal?

Akhirnya, kami tegaskan bahwa wacana ekonomi Pancasila merupakan nyanyian mitos yang menipu, berisi fatamorgana perubahan, baik secara Normatif-Ilmiah maupun Politis-Praktis. Terlebih lagi ketika wacana ini ternyata dinyanyikan dalam kampanye oleh CaWaPres dari CaPres yang selama ini berkuasa dengan semangat Liberalisme Ekonominya menipu rakyat atas nama rakyat itu sendiri. Sungguh penipuan yang sangat kejam.

Tidak layak seorang Mukmin jatuh terperosot kedalam lubang yang sama dua kali, maka bersuaralah dengan suara lantang membongkar kebusukan sistem dan ideologi diluar Islam yang senantiasa dipropagandakan oleh para penganutnya yang tiada malu menipu rakyat!

Wallahu a’lam bi ash-Showab

Komentar