Oleh: Wa Ode Asnalita (Mahasiswi UHO)
Sudah menjadi rahasia umum masalah pendidikan di negeri ini seakan tidak pernah selesai dari tahun ke tahun. Pengelolaan pendidikan di Indonesia selalu menjadikan siswa didik sebagai “kelinci percobaan”. Kebijakan pendidikan ini sering berganti dan seringkali menyulut kontroversi. Contoh nyata persoalan pendidikan yang banyak mendapat sorotan publik belakangan ini adalah diterapkannya sistem zonasi dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018.
Meski sudah diluncurkan sejak 2017 dan disempurnakan tahun 2018 melalui Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi-penerimaan siswa baru di sekolah negeri berdasarkan jarak terdekat dari rumah ke sekolah masih menuai polemik.
Kebijakan sistem zonasi menuai protes dari sejumlah masyarakat, terutama orangtua siswa yang merasa dirugikan.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, sistem zonasi diterapkan sebagai upaya mempercepat pemerataan di sektor pendidikan, menghilangkan ”kasta” dalam sistem pendidikan, sehingga tidak akan ada sekolah favorit dan sekolah tidak favorit.
Mencermati hal di atas, tujuan ini terlihat baik. Hanya saja, alih-alih sebagai solusi mengatasi persoalan ketimpangan dalam dunia pendidikan, sistem ini justru berbuntut masalah menimbulkan berbagai kegaduhan dan kegalauan di seluruh penjuru negeri. Setidaknya ada beberapa laporan berita dengan beragam fakta miris akibat penerapan sistem zonasi ini.
Jokowi mengatakan melalui media kompas.com (21/6/2019), permasalahan dari penerapan sistem zonasi di PPDB pada tahun ajaran kali ini lebih banyak dibanding dengan sebelumnya. Heri Nurdianto, Ketua Dewan Pendidikan Kota Kediri mengungkap, “Kuat dugaan warga yang punya anak masih SMP, setahun atau dua tahun sebelum masuk SMA/SMK titip KK pada keluarga kerabat yang domisilinya dekat dengan sekolah.” (kompas.com, 22/6/2019).
Dilansir dari kompas.com, Kepala Seksi Kurikulum dan Peserta Didik Pendidikan Indramayu, Pendi Susanto mengatakan lokasi SD tersebut berada di daerah perbatasan antara Kecamatan arahan dan Kecamatan Lobhener. “SD ini sebenarnya lebih dekat ke SMPN 1 Lohbener, tapi posisinya di Kecamatan Arahan, ketika mau mendaftar ke SMP terdekat di Kecamatan Arahan yang masuk zona tapi tidak diterima karena jauh,“ ujar dia, Kamis (27/6/2019).
Lebih lanjut, Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana mengatakan, sebenarnya Kota Bandung belum siap menjalankan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB). “Jujur, (pendidikan) Kota Bandung sebetulnya belum merata,” ujar Yana kepada Kompas.com di sela-sela Big Bad Wolf di Kota Baru Parahyangan, Kamis (20/6/2019). Yana menambahkan, tidak semua kecamatan atau kelurahan di Kota Bandung memiliki sekolah baik SD, SMP, maupun SMA. Begitupun dengan kualitas pengajarnya, belum merata.
Sistem Zonasi Tak Menyentuh Akar Masalah Pendidikan
Penerapan sistem zonasi ini yang dinilai sangat baik agar tidak ada lagi dikotomi sekolah favorit-unfavorit, ternyata tidak dapat menutupi keburukan pengelolaan pendidikan dalam sistem sekulerisme-kapitalisme.
Fakta-fakta yang dipertontonkan tersebut di atas membuktikan bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan bukan solusi yang bijak karena tak menyentuh akar masalah kesenjangan bidang pendidikan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan tujuan yang tepat, penguasa harus terbuka dalam melihat permasalahan yang ada di lapangan.
Menyamakan semua sekolah tanpa memperhatikan berbagai aspek yang berkenaan dengan kesiapan serta mutu sekolah justru akibatnya bisa runyam. Ada syarat dan ketentuan yang perlu diperhatikan agar kebijakan sebagaimana banyak ditempuh, bukan hanya zonasinya saja yang diambil.
Sejatinya persoalan kesenjangan sekolah berawal dari kesalahan paradigma pendidikan dan sistem pendidikan yang diimplemetasikan. Di luar persoalan kurikulum yang tidak jelas berikut SDM-nya (guru) tidak memadai, akar persoalan pendidikan adalah pemerataan pembangunan bidang infrastruktur dan suprastruktur pendidikan. Seperti yang diketahui hal ini menandakan bahwa system pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan.
Sayangnya, di dalam sistem ekonomi kapitalistik dan sistem politik sekuler yang diterapkan hari ini akan sulit mewujudkan pendidikan yang ideal. Sistem kapitalisme akan meminimalkan peran tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pelayanan pendidikan tersebut. Eksploitasi dan privatisasi dengan nafas kebebasan (liberaslisme) didukung penuh oleh sistem politik sekuler. Sementara untuk pembangunan negeri seperti pendidikan menjadikan sektor pajak sebagai pemasukan terbesar penerimaan negara, atau dari pinjaman atau utang luar negeri.
Tentu saja sudah bisa ditebak kepedulian masa depan anak bangsa akan sangat sulit terealisasi. Karenanya, tidak akan pernah terwujud pemerataan pendidikan yang akan menghasilkan generasi emas jika masih tersandera oleh kapitalisasi.
Islam sebagai Solusi
Islam adalah agama yang khas. Ia memiliki sistem hidup yang paripurna dalam mengurusi seluruh aspek kehidupan. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diakses rakyat dengan merata dan berkualittas. Hal ini karena Islam menjadikan menuntut ilmu adalah kewajiban, dan menjadikan pelayanan pendidikan sebagai kebutuhan rakyat yang dijamin langsung oleh negara.
Rasulullah saw telah memberikan teladan bagaimana seorang pemimpin negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk dunia pendidikan. Beliau pernah menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Menurut pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Hal ini berarti Rasulullah saw telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal.
Rasulullah saw bersabda;
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya,” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, dalam konteks ini negara wajib membuka dan membangun sekolah sesuai dengan jumlah peserta didik yang ada dan menyelenggarakan pendidikan yang mudah diakses untuk semua kalangan secara merata. Semua pembiayaan (fasilitas sarana dan prasarana pendidikan, berikut gaji guru) ditanggung oleh negara yang diambil dananya dari Baitul Mal tanpa pajak dan hutang seperti sistem kapitalisme hari ini.
Sebab rahasianya adalah pengelolaan kepemilikan sumber daya alam dan industri berjalan sesuai dengan syariat Islam. Di dalam sistem Islam, kepemilikan sumber daya dibagi menjadi tiga: milik individu, milik umum, dan milik Negara. Kekayaan alam, seperti hasil tambang, hutan, laut dan sebagainya merupakan kepemilikan umum. Adalah milik rakyat dan dikelola untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu, Negara memberikan hak kepemilikan bisa dalam bentuk pelayanan publik, termasuk segala bentuk dalam pelayanan pendidikan yang dapat dinikmati rakyat tanpa terkecuali.
Tercatat pada masa kekhilafahan Islam Bani Abbasiyah, negara sangat peduli dan bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan dunia pendiddikan. Negara mendirikan sekolah-sekolah di berbagai tempat yang berbeda-beda. Hingga ada yang mengatakan pembangunan sekolah-sekolah memenuhi sudut-sudut kota negeri khilafah. Sekolah-sekolah ini kemudian berkembang sampai di tempat yang terpencil. Tentang sekolah di Mesir, Ibnu Bathuthah menceritakan, “sekolah-sekolah di Mesir tidak ada yang mengetahui secara pasti jumlahnya lantaran begitu banyaknya.”
Fakta tersebut di atas merupakan fragmen kecil dari deretan kegemilangan negara khilafah terhadap pelayanan pendidikan. Bahkan, ketika di sebuah negeri didapati seorang alim yang hebat dan unggul dalam ilmu, maka didirikanlah sekolah. Sekolah itu diberikan kepadanya sebagai wakaf. Di sekolah tersebut dibangun perpustakaan, para murid belajar gratis terutama bagi yang kurang mampu.
Di antara fakta yang tak terelakkan perhatian yang begitu besar, sampai Sultan Ibrahim bin Muhammad bin Mas’ud Sultan Ghaznah, tidak membangun untuk dirinya sebuah rumah, kecuali telah mendahuluinya dengan pembangunan sekolah dan meningkatkan kualitasnya.
Alhasil, hanya dengan penerapan Islam kaffah yang mampu mewujudkan pendidikan yang adil dan berkualitas. Di sinilah urgensinya hadirnya Negara pelaksana sistem pendidikan dengan Islam dibawah kepemimpinan Khilafah.
Wallahu ‘alam bi ash-shawwab.
Komentar