Oleh: Dyah Tari Nur’aini, SST (Statistisi Pertama BPS Kab. Kolaka)
Zaman dahulu dikenal istilah nomaden, atau bertahan hidup dengan cara berpindah-pindah tempat. Pada zaman sekarang ada istilah yang baru dinamakan migrasi. Sedikit berbeda dengan nomaden, Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan migrasi dengan perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari satu tempat ke tempat lain melewati batas administratif provinsi atau kabupaten/kota dengan batasan waktu 6 bulan.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia, Indonesia memiliki tantangan tersendiri terkait permasalahan kependudukan. Jumlah penduduk Indonesia saat ini berjumlah lebih dari 270 juta jiwa berdasarkan hasil proyeksi Sensus Penduduk (SP) 2010. Dengan jumlah yang besar tersebut sayangnya belum didukung dengan adanya persebaran penduduk yang baik. Lebih dari separuh penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Menurut data kependudukan BPS, penduduk di Pulau Jawa berjumlah sekitar 56,35 persen dari total penduduk yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan tiga urutan tertinggi yakni terkonsentrasi di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, kemudian Jawa Tengah.
Sementara dari segi kepadatan penduduk, wilayah paling padat penduduk adalah DKI Jakarta yakni sekitar 15.328 jiwa/km persegi. Artinya ada sebanyak 15 ribu jiwa penduduk dalam setiap satu kilometer persegi wilayah di Jakarta. Angka ini bahkan jauh melebihi kepadatan provinsi lainnya di Indonesia, dimana rentang kepadatan berada pada angka 9 hingga 1.320 jiwa/km persegi. Kepadatan penduduk inilah yang menjadi dasar kebijakan pemerintah guna terciptanya pemerataan penduduk.
Adanya ketimpangan penduduk yang terjadi ini sudah pasti akan menimbulkan banyak permasalahan baik dari segi sosial maupun ekonomi. Yang sudah nyata jelas terlihat adalah permasalahan terpusatnya penduduk pada kota metropolitan. Hal ini yang membuat keberadaan penduduk di Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia menjadi tidak terkendali. Belum lagi masalah beruntun sebagai dampak populasi yang tinggi seperti banyaknya tempat tinggal kumuh, tingkat kriminalitas yang tinggi, serta menjamurnya pengangguran.
Migrasi sebagai salah satu komponen demografi memiliki peranan yang penting. Dalam hal ini terutama untuk menunjang distribusi penduduk. Namun alih-alih pemerataan distribusi, nyatanya migrasi justru memperparah ketimpangan. Misalnya saja Jakarta yang hingga kini masih menjadi primadona tujuan migrasi, dengan jenis migrasi didominasi oleh migrasi seumur hidup. Hal ini membuat hampir separuh penduduk di Jakarta adalah warga migran, yakni sekitar 45 persen. Dimana tujuan dari migrasi tersebut didominasi oleh para pencari kerja dan pindah karna ikut suami/istri/orang tua/anak.
Sehingga pada kenyataannya, migrasi tanpa dibarengi dengan strategi dan perencanaan yang baik dari pemerintah bukannya menciptakan keselarasan justru akan memicu permasalahan. Tingkat distribusi penduduk yang tidak merata, kesenjangan yang semakin terlihat, serta tidak meratanya potensi dan produktivitas daerah akan semakin marak terjadi. Seperti dua bilah mata pisau, migrasi dapat menjadi solusi ataupun bencana bagi kependudukan.
Keragaman kondisi dan potensi antar wilayah di Indonesia merupakan hal yang perlu diperbaiki untuk mendukung terjadinya migrasi yang menguntungkan. Berbagai cara dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya penanggulangan migrasi, diantaranya pemerataan pembangunan, menciptakan lapangan kerja di daerah-daerah, serta peningkatan sarana dan prasarana transportasi serta komunikasi.
Pengoptimalan potensi desa juga agaknya menjadi solusi yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan beebagai cara, seperti halnya desentralisasi, modernisasi desa, peningkatan hasil pertanian, ataupun penciptaan sentra industri kecil di desa. Semua hal tersebut diharapkan mampu menjadi faktor penarik para pemigran untuk datang. Sehingga pada akhirnya tercipta pemerataan penduduk, potenasi, serta produktivitas daerah.
Komentar