Andaikan seorang pelukis menggoreskan kuas di atas kanvas kehidupan bernegara, niscaya akan terpampang di situ wajah politik yang bopeng, tampak bekas luka-luka, hitam kelam, ganas, dan menakutkan. Potret politik seperti itulah yang ditangkap oleh mayoritas kita, sehingga banyak orang yang takut padanya dan berusaha menjauh sejauh-jauhnya dari politik dan bahkan berusaha melupakannya.
Disangkanya dengan menjauh dan melupakan politik, maka ia akan terbebas darinya, lalu akan muncul kehidupan damai dan sejahtera. Kallaaa ‘tidak, sekali-kali tidak’. Justru ketika kita berlepas diri dari politik, maka kita akan menjadi mangsa politik yg akhirnya menjadi korban politik.
Ada apakah dengan politik, sehingga mendapat potret dan gambaran buruk seperti itu? Ada dua kemungkinan, pertama, yang tampak di hadapan masyarakat selama ini adalah peristiwa politik yang menakutkan, jahat, tragis, ganas, tipu daya, saling memangsa, dan sebagainya; kedua, dampak ghozwul fikri ‘invasi pemikiran’ yang “memaksa” masyarakat menjauhi politik agar “mereka” bebas memanfaatkan politik sesuai keinginan dan syahwat politiknya. Faktor pertama melahirkan trauma politik, sedangkan faktor kedua melumpuhkan kecerdasan politik masyarakat.
[irp posts=”1832″ name=”Oh Sang Merah-Putih, Tuapa Lele”, “Apa Kareba”?”]
Jika dicermati secara objektif dengan pendekatan saintifik, maka kita dapat memahami bahwa politik merupakan bawaan lahir dari kehidupan manusia itu sendiri yang secara psikologis berbasis pada rasa harap dan rasa cemas.Rasa haraplah yang memberikan optimsme dan rasa cemaslah yang menghadirkan kecenderungan protektif manusia dari berbagai bahaya.
Akibatnya, manusia selaku khalifatullah fil ardi ‘wakil Allah di bumi’ berusaha untuk mencegah dan menjauhkan diri dari segala marabahaya, pada saat yang sama berusaha untuk meraih berbagai kebaikan atau kemaslahatan. Segala strategi meraih kemaslahatan dan menjauhkan segala marabahaya itulah yg disebut POLITIK atau SIYASAT.
Adakalanya untuk meraih kemaslahatan, kita harus menaklukkan tantangan dan ancaman dari berbagai pihak, maka secara otomatis proses konflik sudah dimulai. Pada saat lain, kita pun harus menolak segala mudharat dari berbagai sumber, maka perlawanan pun harus dilakukan.
Dalam situasi dan kondisi ini, pertarungan dan perlawanan tidak bisa lagi dihindari, sehingga sejak awalnya, tabiat politik adalah PERTARUNGAN dan PERLAWANAN, yakni pertarungan antara kubu kebaikan dengan kubu keburukan, antara golongan kebenaran dengan golongan kebatilan, antara partai kemaslahatan dengan partai kemudharatan.
[irp posts=”2966″ name=”Kekasih Romantis Untuk para pasangan halal””]
Dalam rangka memenangkan kebaikan dan kebenaran, dibutuhkan strategi jitu, stamina kuat, keberanian memadai, dan napas panjang. Dari sini, maka seorang yang terjun dalam dunia politik, sejatinya adalah petarung dan pemberani.
Oleh karena itu, siapa pun yang memasuki arena ini, maka hendaklah ia mempersiapkan segala kekuatan yg dimilikinya untuk mencapai tujuannya, terlepas dari hitam putihnya tujuan itu. Ini pun seharusnya menjadi “warning” bagi kaum muslimin dan politisi muslim yg selama ini cenderung alergi dan menjauhi politik. Bukankah menjauhi politik sama dengan memberi kemenangan WO kepada politisi hitam dan jahat?
Ada jargon politik yg mengatakan, “Tiada kawan abadi atau musuh abadi dalam politik. Yang ada adalah kepentingan”. Itu benar adanya. Seharusnya memang begitu! Kita berkawan atau berlawan karena akar kepentingan. Yang baik akan berdinamika, sebagaimana yang buruk jg berdinamika. Siapa yg buruk, lalu tobat dan menjadi baik, maka seharusnya dia menyeberang kepada para pendukung kebaikan, dalam hal ini politisi muslim.
Sebaliknya, jika ada dari kalangan orang baik lalu berubah menjadi jahat, maka tidak layak lagi ia berada di shaf orang-orang baik. Jadi, yang menentukan keberpihakan adalah kepentingan. Oleh karena itu, jika suatu saat ada kepentingan yang sama, makan politisi muslim dapat berkoalisi atau bergabung sementara dengan politisi kubu lain dalam kepentingan yang dimaksud. Sesudah itu, putuslah tali yg mengikat mereka. Dalam hal ini, kita di Indonesia bisa berkaca pada Koalisi Merah Putih yang kemudian sakarat tak berbentuk lagi.
Akhirnya, siapa pun yang konsen dan “ihtimam” dengan nasib umat, tidak seharusnya ia alergi politik dan siapa pun yang terjun dalam kancah politik, hendaknya ia sadar sejak awal bahwa tabiat politik adalah PERTARUNGAN dan PERLAWANAN. Oleh karena itu, siap-siagalah!
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” (Al Anfaal 8:60).
Oleh : Dr. Amirudin Rahim, M.Hum
Dosen Pascasarjana Universitas Halu Oleo
Komentar