Thariqah Perjuangan Nabi dalam Konteks Dakwah Moderen

Opini2,885 views

Oleh: Indar Aprianto (Aktivis Dakwah Kampus)

Manusia, siapapun dia, dalam mengerjakan suatu hal, maka diwajibkan untuk selalu terikat dengan syariat Islam. Sebab itulah esensi penciptaan manusia, yaitu taat dan tunduk kepada Allah subhanahu wataala.

Sebagaimana firman-Nya:

“dan tidak aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (TQS azd zdariyat: 56)

Namun persoalannya adalah bagaimana cara untuk membuat umat manusia mau beribadah kepada Allah? Maka rasulullah melakukan syiar penyebaran islam atau yang lebih dikenal dengan istilah dakwah.

Karena dakwah-lah yang telah merubah sosiologis dan biologis kaum jahiliyyah, dakwah yang telah membuat Yatsrib menjadi islam seluruhnya. Karena dakwah, Islam pernah menguasai 2/3 dunia. Dan berbagai kegemilangan dan kejayaan umat, yang kesemuanya tidak bisa dilepas dari intervensi Allah selaku Tuhan alam semesta.

Oleh karena itu, diskursus dakwah membutuhkan perhatian khusus dan serius, sebanding dengan eksistensinya yang urgen bagi umat dan vital bagi agama. Terutama direa modernisasi saat ini. Jika demikian adanya, maka apa dan bagaimanakah dakwah itu semestinnya? Terkhusus dalam konteks era moderen!?

Secara etimologi, dakwah berasal dari bahasa arab Yad`u yang berarti mengajak atau menyeru. Dan secara terminologi, dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak, dan memanggil orang untuk  berimana kepada Allah sesuai garis aqidah, syari`at, dan akhlaq islam.

Mengajak atau menyeru yang dimaksud adalah menyiarkan Islam kepada umat manusia agar manusia mau tunduk dan taat kepada Allah yang kesemuanya telah dicontohkan oleh rasulullah sallallahu alaihi wasallam.

Setiap manusia yang mengaku sebagai umat Islam, maka telah diwajibkan oleh asy syarii`untuk meneladani rasulullah dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab rasulullah-lah satu-satunya manusia yang wajib untuk ditiru.

Dan Allah-pun telah membuat landasannya dalam firman-Nya:

“Telah ada pada diri rasulullah itu sebuah suri kedeladanan yang baik.” (TQS al Ahzab: 21)

Sebagai penegasan, Allah kembali berfirman:

“apa yang telah rasul berikan, ambillah. Dan apa yang rasul larang, tinggalkanlah.” (TQS al Hasyr:7)

Jika sedemikian rupa penekanan Allah untuk menjadikan rasulullah sebagai satu-sarunya suri tauladan, maka dapat dipastikan seluruh yang dibutuhkan umat manusia telah ada pada diri rasulullah. Mulai dari aqidah, akhlaq, dan mu`amalah, termasuk dakwah didalamnya.

Maka dari itu, sebagai umat Islam yang mengaku bagian dari umat rasulullah, tidak ada lagi alasan untuk menolak apa yang telah beliau gariskan untuk masa kedepan.

Seperti halnya salat, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah lain, dakwah juga harus diselenggarakan sesuai dengan tuntunan nabi.

Penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh para ulama yang ahli dibidang sirah, maka dapat menggariskan dakwah nabi.

Berdasarkan sirah juga, penentuan tahapan dakwah, aktifitas dakwah, pembedaan thariqah dan uslub, serta fokus dakwah pada setiap tahapan (marhalah).

Adapun thariqah dakwah nabi terbagi menjadi tiga marhalah. Yaitu, tahap penginternalisasian aqidah Islam, tahap mengenalkan Islam ditengah-tengah masyarakat, dan peralihan kekuasaan untuk menerapkan hukum syariat Islam.

Al Imam Abu Muhammad Khudri Bik menyampaikan dalam kitab Shirohnya bahwa thariqah dakwah nabi terdiri dari tiga tahapan (marhalah). Yaitu:

“thariqah dakwah nabi terdiri dari tiga marhalah. Yaitu marhalah at tatsqif (tahap pembinaan), marhalah tafa`u ma`a al ummah (tahapan berinteraksi dengan umat), dan tholabun nushroh” [al imam Abu Muhammad Khudri Bik/Nurul Yaqin Fiy Shiroh As Sayyidin Mursalin]

al `alamah ays syeikh Taqiyuddin an Nabhani menjadikan thariqah dakwah nabi sebagai standarisasi keberhasilan dakwah. Sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam salah satu kitab mu`tamadah:

“partai ideologis akan menempuh 3 (tiga) marhalah, sampai dia dapat menerapkan ideologinya ditengah-tengah masyarakat. Pertama, tahap pengkajian dan belajar untuk mendapatkan tsaqofah partai, kedua, tahap interaksi (tafa`ul) dengan masyarakat tempat partai itu hidup, sampai ideologinya menjadi kebiasaan umum, dan ketiga,  tahap menerima kekuasaan secara menyeluruh melalui dukungan umat.” [al `alamah asy syeikh Taqiyuddin an Nabhani/at takattul al hizbiy, point ke-9, hal 50]

Tahapan pertama dimulai sejak beliau sallallahu alaihi wasallam diutus menjadi rasul dan diperintahkan untuk menyampaikan dakwah Islam.

Beliau mulai mengajak masyarakat untuk memeluk Islam ketika turun firman Allah:

”hai orang yang berselimut!, bangunlah! dan berilah peringatan!.” (TQS al Muzammil:1-2)

Beliau mengumpulkan orang-orang yang beriman kepada beliau, mengajari mereka Al quran, membentuk kepribadian mereka, serta mengutus beberapa sahabat yang dianggap sudah mumpuni untuk membantu menyebarkan Islam dikalangan keluarga mereka masing-masing. Dan semua itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Sembari menunggu instruksi Allah untuk langkah kedepan.

Tahapan kedua mulai digencarkan oleh rasulullah dan para sahabat tatkala turun firman Allah:

“maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik! ” (TQS al Hijr: 94)

Maka sejak saat itu beliau beralih dari fase sembunyi-sembunyi menuju fase terang-terangan, yaitu langsung menyeru masyarakat seluruhnya. Pada fase kedua ini mulailah terjadi interaksi dan pergolakan ditengah-tengah masyarakat (tafa`ul wa al kifaah).

Rasulullah dan para sahabat hasil didikan beliau mulai mengkritik dan menyerang adat istiadat jahiliyyah mereka, keyakinan-keyakinan kufur, serta tradisi jahiliyyah yang rusak. Maka terjadilah pertarungan dan pergolakan pemikiran antara Islam dengan kesyirikan.

Pada fase kedua dalam marhalah ini, Allah banyak menurunkan hujjah untuk rasulullah dari berbagai bidang kehidupan. Aqidah, sosial, ekonomi, adat istiadat, dan lain sebagainya untuk mengkritik dan menyerang kebiasaan orang-orang jahiliyyah.

Mulai dari situlah intimidasi, boikot, penghinaan, terjadi kepada rasulullah dan para sahabat.

Akan tetapi, setelah diutusnya diplomat pertama umat Islam, Mus`ab Bin Umair radhiaLlahu `anhu di Yatsrib dan berinteraksi dengan masyarakat, menyebarkan Islam, dan sukses, maka semenjak itu beliau langsung mengabarkan kepada rasulullah bahwa tidak ada satupun rumah di Yatsrib yang tidak disebutkan nama rasulullah dan Islam. Maka terjadilah baiat aqobah yang pertama. Kemudian pada saat tahun 622 M atau tahun ke-12 kenabian, terjadilah baiat aqobah yang kedua, selepas itu, rasulullah menunggu instruksi dari Allah, barulah beliau hijrah ke Yatsrib yang kini berubah menjadi Madinah, guna melakukan memasuki tahap ketiga marhalah dakwah, yaitu tholabun Nusroh.

Tahapan ketiga bermula pada saat baiat aqobah yang kedua, yaitu baiat perang. Dimana pada baiat ini telah mengukuhkan rasulullah sebagai pemimpin negara Islam (daulah Islamiyyah) yang berpusat di Madinah.

Teknis pelaksanaan tholabun nushron cukup sulit dimengerti oleh akal orang-orang yang tidak memiliki aqidah Islam yang mantap. Sebab meminta nushroh tanpa imbalan sama sekali bagaikan mencari pekerjaan tapi langsung jadi bos tanpa melewati prosedur yang ada. Makanya itu banyak yang menolak mentah-mentah ajuan rasulullah pada saat itu.

Beda halnya dengan Yatsrib atau Madinah. Sebelum meminta nushroh, terlebih dahulu pengokohan kesadaran yang diikuti dengan aqidah yang dipermantap menjadikan penduduk Madinah ridho akan kepemimpinan rasulullah sallallahu alaihi wasallam.

Ketiga marhalah dakwah yang rasulullah lakukan dahulu adalah sebuah hukum syara` yang wajib diikuti oleh siapapun dan kapanpun. Sebab tujuan dakwah adalah menyebarluaskan Islam dan meninggikan kalimatul Muslimin, agar umat manusia meninggalkan kehidupan jahiliyyah dan bergegas menuju sistem Islam.

Akan tetapi, dalam konteks dakwah moderen, ketiga tahapan ini pasti dan semestinya mempunyai ciri khas yang berbeda dengan yang rasulullah lakukan. Dalam hal uslub/washilah. Sedang esensinya tidak boleh berubah.

Dalam hal pembinaan, tidak memerlukan terlalu banyak uslub. Sebab hal yang lakukan adalah penginternalisasian aqidah dan tsaqofah Islam kedalam jama`ah dakwah.

Dalam marhalah kedua, jamaah dakwah atau partai diperbolehkan mengimprovisasi uslub. Jika rasulullah dahulu uslubnya hanya pada saat haji, maka untuk saat ini jamaah dakwah atau partai bisa menggunakan setiap momen yang ada untuk mendakwahkan kesadaran ditengah-tengah umat mengenai bobroknya kehidupan saat ini, dari sisi pergaulan, politik, sosial, budaya, dan lain-lain.

Media sosial, aksi, dan lain sebagainya adalah salah satu uslub berinteraksi dengan umat

Mengontak umat dengan cara yang berbeda dari rasulullah yang substansinya adalah penyadaran bisa dilakukan pada saat ini terhadap kaum milenial yang selanjutnya akan diperkokoh dari sisi aqidah dan tsaqofah untuk mantap ikut bergabung dan mengemban dakwah Islam dan memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk maju kepada marhalah ketiga.

Dari sisi tholabun nushroh. Hal yang mempengaruhi keberhasilan marhalah ini sangat bergantung pada tahap kedua yaitu tahap interaksi dengan umat.

Syeikh Ahmad Athiyyah mengemukakan dalam kitabnya bahwa:

“Untuk merubah suatu keadaan, maka diperlukan setidaknya dua hal. Pertama, kesadaran tentang fakta kehidupan yang rusak, dimana kita berada dalam kehidupan tersebut, dan yang kedua kesadaran tentang fakta solusi yang bakal menggantikan fakta yang rusak” [Syeikh Ahmad Athiyyah/At Taghyir. Hal 21-22]

Maka deskripsi tentang dua fakta itulah yang bakal menjadi tolok ukur keberhasilan dakwah jamaah atau partai. Dan keberhasilan memasukan  kesadaran tersebut sangat tergantung pada keberhasilan tahap kedua.

Sekali lagi untuk penegasan, uslub dakwah boleh diimprovisasi. Akan tetapi esensi thariqah dakwah nabi tidak boleh berubah.

Mengubah sistem dari sistem bukanlah thariqah nabi. Itu adalah salah satu contoh penyimpangan thariqah dari thariqah dakwah nabi.

Ketiga marhalah dakwah tersebut saling berkaitan. Sehingga syarat untuk melakukan marhalah kedua haruslah terlebih dahulu berhasil pada marhalah pertama, dan seterusnya.

Komentar