Tragedi Berdarah di Sistem Demokrasi

Opini501 views

Oleh: Rismawati (Mahasiswi UMK)

Akhir-akhir ini kita telah disajikan dengan berita yang sangat luar biasa menggemparkan sosmed hingga dunia nyata, berita tersebut tidak lain adalah terjadinya tragedi berdarah dalam sistem demokrasi yang selama ini di agung-agungkan banyak orang.

Demokrasi kembali memakan korban hingga merenggut ratusan nyawa di awal tahun 2019. Semua berawal dari pesta rakyat dimana setiap masyarakat kembali memberikan hak suaranya untuk memilih pemimpin selanjutnya, namun sayang seribu sayang pesta rakyat tersebut tidak berjalan sesuai keinginan rakyat bahkan disana terjadi tragedi yang memilukan yaitu selepas pemilihan tersebut banyak petugas KPPS yang diberitakan meninggal, bukan hanya itu, setelah keluarnya penentuan dari pemilihan tersebut banyak warga yang protes dengan hasil akhir pemilu, sehingga warga berbondong-bondong melakukan demonstrasi di depan Kantor Bawaslu RI, pada 21 dan 22 Mei yang lalu. Dalam aksi tersebut diperkirakan ada 8 orang yang meninggal terkena tembakan dari petugas.

Seperti yang di lansir dari TRIBUNWOW.COM bahwa Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon menyebutkan, masyarakat Indonesia kini sedang menghadapi sebuah tragedi didalam demokrasi Indonesia, hal tersebut disampaikan Fadli Zon saat menjadi narasumber di CNN Indonesia, Jumat (24/5/2019).

Fadli Zon menjelaskan, dirinya menyampaikan hal tersebut berdasarkan adanya ratusan korban yang gugur selama proses pemilu 2019 berlangsung.

“Kita menghadapi sebuah tragedi di dalam demokrasi kita. Sudah jatuh korban dari KPPS, lebih dari 600 orang meninggal yang tidak mendapatkan satu perhatian memadai, kemudian sekarang ada 8 orang, ada juga informasi yang menyebutkan 16 orang yang meninggal di dalam penanganan aksi demonstrasi 21-22 Mei,” ujar Fadli Zon.

Atas banyaknya korban tersebut, Fadli menilai nyawa di Indonesia seperti tidak dihargai sepadan.

“Nyawa di Indonesia sepertinya murah dan sambil lalu saja. Kemudian dibahas kemudian tidak ada pertanggungjawaban,” ungkap Fadli.

Ia lantas menyebutkan adanya sejumlah bukti yang memperlihatkan bahwa ada oknum aparat yang menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power).

“Video-video yang beredar di media sosial juga banyak bukti-bukti yang melihat, mempertunjukkan bahwa begitu banyak abuse of power yang terjadi menurut saya dilakukan oleh oknum-oknum, termasuk juga aparat keamanan. Saya melihat itu,” ujar Fadli.

Beliau juga  menceritakan soal dirinya yang mendatangi sejumlah korban kerusuhan, satu di antaranya adalah R, seorang remaja berusia 15 yang menurut Fadli terkena tembakan meski tak turut serta dalam aksi.

“Saya juga mendatangi korban-korban, saya mendatangi orang tua korban yang bernama R, usianya 15 tahun, dia sedang duduk-duduk di Petamburan kemudian meninggal dunia karena ada tembakan,”

“Saya juga diperlihatkan oleh masyarakat sebagai DPR saya tentu harus mengawasi juga apa yang sedang terjadi dalam kondisi politik kita.”

“Itu banyak peluru-peluru, peluru hampa, peluru karet, bahkan diduga juga ada peluru tajam.”

Fadli lantas menilai, demonstrasi yang terjadi sebenarnya cukup damai. Namun karena penanganan yang dilakukan berlebihan, maka kerusuhan menjadi tak terhindarkan.

“Dalam penanganan kerusuhan huru-hara atau sebenarnya itu kan demonstrasi yang cukup damai, itu yang menurut saya (penanganannya) berlebihan,” ujar Fadli.

“Jadi ini ada, kita lihat dari sisi korban, korban KPPS 600 orang meninggal, tidak ada satu pernyataan yang memadai dari pemerintah juga untuk meng-addressmasalah ini.”

“Kemudian dalam penanganan unjuk rasa itu juga kita melihat tidak profesional penanganan aparat.

“Dan menurut saya ini sangat berbahaya bagi demokrasi kita ke depan,” tandasnya.

Dari berita tersebut kita dapat melihat bahwa memang benar bahwa Negara kita kini telah mengalami tragedi berdarah yang terjadi di awal tahun 2019, dengan demikian tragedi tersebut kian menguatkan bukti bahwa Demokrasi adalah sistem kufur yang harus di campakkan, sebab dalam sistem demokrasi nyawa kaum Muslim bagai tak berharga bagi pemimpin negeri ini sebab beliau tidak memberi penanganan yang tuntas atas terjadinya tragedi berdarah yang memakan korban hingga ratusan orang.

Berbeda halnya dengan Sistem Islam (Khilafah) dimana pemimpin itu sangat mengutamakan kesejahteraan rakyatnya sebab dalam sistem islam salah satu tujuan ditegakkannya wilâyah (pemerintahan) adalah menyejahterakan rakyat. Seorang pemimpin bertugas menciptakan kesejahteraan rakyat melalui kebijaksanaan yang diambilnya. Dalam masalah ini peran sang pemimpin sangat besar, tanggung jawab ini berada di pundaknya. Kelak ia akan ditanya tentangnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya.”

Jangan sampai ada seorang rakyatnya yang terlantar apalagi mati kelaparan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafâur Râsyidîn sebagai pemimpin telah memberikan teladan yang baik dalam menyejahterakan rakyat.

Sebagai contoh, Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, pada masa paceklik dan kelaparan, ia Radhiyallahu ‘anhu hanya makan roti dan minyak sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.” Dilansir dari almanhaj.or.id.

Itulah satu kisah seorang pemimpin di zaman Khilafah, yang dimanah pemimpin tersebut selalu mengutamakan Rakyatnya tanpa mendahulukam kepentingan dirinya. Oleh sebab itu saat ini umat manusia membutukan Khilafah agar dapat melindunginya dari kezholiman sistem Demokrasi, sebab hanya Negara Khilafah lah yang mampu melindungi hak-hak Rakyatnya.

Wallahualambissawab.

Komentar